Sabtu, 13 Februari 2010

“The Role of Religions in Establishing Peaceful Coexistence in the midst of Diversity”


Berikut adalah materi yang disampaikan Kardinal Jean-Louis Tauran dalam kuliah terbuka di Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 30 November 2009.

(Peran Agama-agama dalam membangun hidup berdampingan yang damai di tengah-tengah keragaman)
Oleh KARDINAL JEAN-LOUIS TAURAN*


Yang terhormat Rektor, Civitas Akademika Sunan Kalijaga, yang terhormat Bapak Ibu hadirin sekalian.
Pertama-tama saya ingin mengungkapkan rasa syukur saya kepada Tuhan Yang Mahapengasih dan Mahabesar yang telah memberikan rahmat bagi kita untuk dapat bertemu di negeri yang sanjavascript:void(0)gat ramah ini, yang kaya akan keanekaragaman suku, tradisi, budaya dan agama. Indonesia jelas merupakan contoh bahwa keselarasan dapat sejajar dengan keanekaragaman. Ijinkan saya untuk mengucapkan “Terima Kasih” untuk sambutan hangat Anda di Universitas Sunan Kalijaga ini.

Saya pun ingin mengungkapkan kegembiraan saya untuk berada di sini sebagai Presiden Dewan Kepausan Dialog Antar-agama (Pontifical Council for Interreligious Dialogue/PCID) di Vatikan untuk mengunjungi universitas ini dan untuk bersama dengan Anda, Rektor Prof. Dr.H.M.Amin Abdullah, para profesor dan juga mahasiswa serta sahabat-sahabat universitas ini.

Dalam kesempatan yang sangat berharga ini, saya ingin berbicara tentang basis dan pemahaman teologi Katolik mengenai peran agama-agama dalam membangun hidup berdampingan yang damai di tengah-tengah keragaman.

Kita semua sedang menghadapi realitas bahwa kita membangun tatanan masyarakat multikultural dan multiagama. Hal ini merupakan pernyataan yang jelas. Tidak ada masyarakat yang secara religi bersifat homogen. Di Eropa, sejak Taman Kanak-kanak dan seterusnya, anak-anak muda bahu-membahu bersama-sama dengan orang-orang dari berbagai asal-usul dan latar belakang agama yang berbeda-beda. Tidak ada yang mengejutkan tentang hal ini apabila orang kemudian merenungkan apa yang ditulis oleh Paul Tillich: “Agama merupakan substansi budaya” (dalam Théologie de la culture éd. Placet 1978 p.92; [Theology of Culture, 1959]. Sejarah tidak mengenal budaya-budaya yang tidak beragama.

Sehingga kita pun dipanggil pada sebuah dialog. Apakah dialog itu? Dialog merupakan upaya untuk mencari kesalingmengertian di antara dua orang dengan pandangan tentang sebuah interpretasi yang sama terhadap persetujuan mereka atau ketidaksetujuan mereka. Hal ini menyiratkan sebuah bahasa yang sama, kejujuran dalam pengutaraan posisi seseorang dan keinginan untuk melakukan yang terbaik untuk mengerti sudut pandang orang lain.

Dalam penerapan dialog antaragama, perkiraan maupun sangkaan-sangkaan ini dapat lebih mudah dipahami, bahwa dalam konteks agama bukan merupakan pertanyaan tentang menjadi “baik” kepada orang lain untuk menyenangkan hati mereka! Bukan juga merupakan sebuah negosiasi: Bahwa saya menemukan solusi untuk masalah-masalah yang ada dan kemudian pembicaraan ditutup. Dialog antar agama merupakan sebuah pertanyaan untuk mengambil suatu risiko, tidak menerima situasi dan menyerahkan keyakinan-keyakinan diri sendiri namun membiarkan diri untuk terpanggil ke dalam pertanyaan oleh keyakinan yang dimiliki orang lain dan menerimanya dalam pertimbangan argumentasi-argumentasi yang berbeda dari yang dimiliki atau yang berlaku dalam komunitas seseorang. Semua agama masing-masing di jalannya masing-masing berusaha untuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan mengenai kondisi manusia. Setiap agama memilki identitasnya masing-masing namun identitas ini memampukan saya untuk memasukkan agama yang lain ke dalam pertimbangan saya. Dari hal semacam inilah dialog kemudian lahir. Identitas, perbedaan dan dialog berjalan bersama.

Iman Kristiani saya menyatakan bahwa Yesus adalah “terang sejati yang menerangi setiap orang yang datang ke dunia” (Yoh 1:9). Hal ini mengartikan bahwa di dalam setiap manusia terdapat terang Kristus. Sebagai konsekuensinya setiap hal positif yang terdapat di agama-agama hadir dengan ‘bayangan’. Semua hal positif memiliki kesamaan di dalam cahaya terang yang menerangi semuanya. Seseorang kemudian dapat mengerti dengan lebih baik mengenai prolog Nostra Aetate dan dokumen “Dialogue and Proclamation”: segala sesuatu yang benar dan kudus di setiap agama diterima, dikuatkan dan dituntun pada penyelesaiannya di dalam Kristus. Hal ini adalah penalaran dari inkarnasi yang menyucikan dan memuliakan manusia. Namun demikian, kita harus berhati-hati: kita tidak mengatakan bahwa “semua agama memiliki nilai yang sama”. Yang kita katakan adalah “Semua yang mencari Allah memiliki martabat yang sama”

Tujuan dari Dewan Kepausan Dialog Antar-agama yang didirikan oleh Paus Paulus VI pada hari Pentakosta tahun 1964 adalah untuk menerapkan visi yang muncul dari adanya Pernyataan Nostra Aetate (Deklarasi terpendek dari dokumen Konsili Vatikan II) yang memiliki tiga sasaran: Pertama, untuk meneruskan saling memahami, menghormati dan bekerjasama di antara umat Katolik dan umat-umat beragama non-Kristiani. Kedua, untuk mendorong dan bekerjasama dalam mempelajari agama-agama ini. Ketiga, untuk mendorong pendidikan bagi umat yang ditujukan bagi dialog antar agama.

Menjadi hal yang penting untuk menegaskan bahwa para pelaku dari dialog ini bukanlah orang-orang yang resmi dari konggregasi kami namun anggota-anggota dari para pastor gereja-gereja setempat. Kami hanya membantu mereka dalam hal memberikan pengetahuan doktrin yang benar dan bekerjasama di antara umat yang terpanggil untuk semakin dekat pada kehendak Allah. Jenis dialog yang dimaksud secara esensial merupakan kegiatan religius.

Dewan kami tersusun sebagai berikut. Pertama, kelompok peserta adalah para Kardinal dan Uskup dari berbagai negara yang bertemu di Sidang Pleno setiap dua/tiga tahun. Kedua, sebuah kelompok Konsultor yang tediri dari 30 tenaga ahli/spesialis dari mana pun. Ketiga, staf kongregasi.

Kesemuanya ini berusaha untuk mengikuti jalur yang telah ditandai oleh Bapa Paus Benediktus XVI: “untuk mempelajari misteri Allah dalam terang tradisi dan kebijaksanaan agama kita sehingga dapat melihat nilai-nilai yang menerangi laki-laki dan perempuan dari seluruh umat manusia di dunia, apapun budaya dan agama mereka. Bersama dengan semua orang yang berkehendak baik, kita mencita-citakan perdamaian. Itulah sebabnya mengapa saya menekankan sekali lagi bahwa penelitian antaragama dan budaya bukanlah sebuah pilihan, namun merupakan kebutuhan yang vital di jaman kita sekarang ini” (Sambutan kepada anggota-anggota Yayasan Penelitian dan Dialog Antaragama dan Antarbudaya, 1 Februari 2007).

Merupakan hal yang penting untuk selalu kembali kepada Nostra Aetate, terutama paragraf 2 dan 3 yang menyatakan bahwa Gereja Katolik tidak menolak apapun yang dianggap benar dan suci di dalam agama-agama ini. Gereja sangat menghormati tata kehidupan dan melakukan pengajaran dan doktrin yang meskipun berbeda dalam banyak hal dengan pengajarannya sendiri, namun demikian sering memancarkan cahaya kebenaran yang menerangi semua orang. Gereja pun menyatakan dan dalam tugasnya harus menyatakan tanpa keliru, Kristus yang merupakan “Jalan, Terang dan Hidup” (Yoh 1:6). Di dalam Dia, di dalam pribadi yang Allah telah menyatukan segala sesuatunya kepada diri-Nya (II Kor 5:18-19), manusia menemukan kepenuhan hidup religiusnya. Dan menjadi penting untuk menyebutkan hubungan khusus yang menyatukan umat Kristiani dan Muslim yang menyembah Allah yang satu, hidup dan menghidupi, pengampun dan mahabesar yang juga berbicara kepada manusia. Demikian halnya dengan hubungannya dengan bangsa Yahudi, yang darinya Gereja menerima pewahyuan Perjanjian Lama yang juga merupakan suku bangsa “yang secara badaniah” juga merupakan suku dari Kristus dan para pengikutnya.

Kemudian seseorang mengerti lebih baik sebagaimana dinyatakan dalam Ensiklik Redemptoris Missio (7 Desember 1990) bahwa dialog antaragama tidak didasari atas pertimbangan taktik maupun kepentingan pribadi, namun dituntut oleh penghormatan yang dalam untuk segala sesuatu yang telah dibawa dalam pribadi manusia oleh Roh yang ditiupkan dimana Ia berkehendak. Sehingga melalui dialog, Gereja mencoba untuk membuka “Benih-benih Sabda”, sebuah pancaran kebenaran yang menerangi seluruh umat manusia. Hal-hal ini ditemukan di dalam pribadi manusia dan di dalam tradisi antaragama umat manusia. Sebagai konsekuensinya, agama-agama menetapkan tantangan positif bagi Gereja sendiri: Mereka merangsangnya dengan menemukan dan mengakui tanda-tanda kehadiran Kristus dan karya Roh Kudus, dan juga melihat semakin dalam lagi mengenai identitas-Nya dan untuk menjadi saksi pada penggenapan Kitab Wahyu yang ia sendiri telah menerimanya untuk kebaikan semua orang yang telah diterima Gereja bagi kebaikan semua orang.

Seseorang dapat berkata bahwa dari akhir Konsili Vatikan hingga jaman sekarang ini, umat Katolik telah bergerak dari tatanan toleransi hingga tiba pada dialog saat berjumpa. Dialog akan hidup: hubungan baik dengan umat non-Kristiani yang mendorong untuk berbagi kegembiraan dan kesulitan-kesulitan. Dialog akan karya: kerjasama dengan pandangan harkat hidup dari kedua kelompok terutama mereka yang hidup sendiri dalam sakit dan kemiskinan. Dialog akan spiritualitas yang menyediakan kekayaan doa dari keduanya untuk seluruhnya di dalam kedua kelompok. Dialog antaragama, oleh sebab itu menggerakkan semua orang yang berada dalam jalan mereka menuju kepada Allah atau menuju pada sesuatu yang bersifat mutlak.

Mereka yang percaya, yang meneruskan dialog ini jangan sampai terlewatkan tanpa diketahui. Mereka adalah kekayaan yang dimiliki olah masyarakat. Sejak masyarakat berpegang teguh pada sebuah agama yang merupakan mayoritas, maka ada sebuah fakta religius yang esensial pada tingkat tertentu bahwa keyakinan agama dipraktikkan di tengah-tengah komunitas. Atas dasar jumlah, lama tradisi, keberwujudan yang tampak dari institusi-institusi dan tata cara ritual mereka, para penganut agama ini hadir dan dapat diketahui identitasnya. Mereka dihargai atau ditentang namun mereka tidak pernah tidak berbeda, yang membawa pemimpin-pemimpin mereka untuk berhubungan dengan komunitas penganut yang lain tanpa kehilangan identitas mereka dan untuk berjumpa satu dengan yang lain tanpa bersikap antagonis satu dengan yang lain. Pemerintah harus mencatat fakta religius ini, mengawasinya untuk menjamin terlaksananya penghormatan kebebasan pandangan dan agama mereka dan hanya melakukan intervensi apabila kebebasan ini mengganggu kebebasan penganut yang lain atau mengganggu tatanan dan kesehatan publik.

Namun menjadi hal yang lebih positif lagi, karena hal ini selalu menjadi perhatian para pemimpin masyarakat untuk mendorong dialog antaragama dan untuk menggambarkan warisan moral spiritual dari agama-agama untuk berbagai nilai yang memberikan sumbangan pada keselarasan mental, untuk mempertemukan budaya-budaya dan untuk konsolidasi akan kebaikan yang sama. Lebih lanjut lagi, semua agama dalam cara yang berbeda mendesak para pengikutnya untuk bekerjasama dengan semua pihak yang berusaha untuk, pertama, memastikan penghormatan terhadap martabat manusia dan hak-hak dasarnya. Kedua, mengembangkan sebuah semangat persaudaraan dan saling membantu. Ketiga, menggambarkan inspirasi dari “know-how” dari komunitas penganut yang setidaknya sekali dalam seminggu mengumpulkan jutaan orang dalam konteks penyembahan kepada Allah dalam kebersamaan spiritual yang otentik. Keempat, membantu pria dan wanita jaman sekarang ini untuk menghindari perbudakan oleh gaya hidup konsumerisme dan keuntungan semata-mata.

Untuk menyimpulkannya kemudian, pada pertanyaan: “Dialog antaragama: sebuah risiko atau sebuah peluang? Saya jawab keduanya. Apabila memang demikian, Anda mungkin akan bertanya: ”Mengapa bisa terjadi bahwa agama-agama membuat khawatir orang-orang?”
Saya jawab bahwa kita seharusnya tidak perlu khawatir pada agama-agama. Agama-agama pada umumnya mengajarkan persaudaraan! Orang-orang yang mengikutinya yang perlu kita khawatirkan. Merekalah yang dapat membelokkan agama dengan menempatkan agama tersebut pada rancangan-rancangan yang jahat. Fanatisme agama misalnya, merupakan sebuah pembelokan agama, demikian juga denagn terorisme yang mengatasnamakan nilai-nilai agama. Para pemuka agama harus memiliki keberanian untuk mengutuk dan memangkas “tumor-tumor” ini.

Sayangnya, bagaimanapun faktor-faktor lain turut memberikan sumbangan pada kekhawatiran agama-agama ini, misalnya: pertama, kenyataan bahwa seringkali kita tidak peduli terhadap isi agama-agama lain. Kedua, kenyataan bahwa kita tidak pernah berjumpa dengan penganut agama-agama lain. Ketiga, sikap diam kita saat berhadapan dengan penganut lain dengan alasan sederhana bahwa kita tidak cukup jelas dengan pemikiran-pemikiran agama kita sendiri.

Lebih jauh lagi, kesulitan-kesulitan juga ditemui dalam menerapkan keyakinan oleh para penganut minoritas di negara-negara dimana agama mayoritas memiliki keistimewaan karena sejarah atau hukum yang berlaku.
Untuk memperbaiki situasi seperti ini, menjadi hal yang penting untuk, pertama, memiliki identitas yang jelas: mengetahui sesorang meyakini apa atau siapa. Kedua, mempertimbangkan bahwa penganut lain bukanlah pesaing, namun pencari Allah juga. Ketiga, menyetujui untuk berbicara tentang apa yang memisahkan dan nilai-nilai apa yang menyatukan kita.

Saya juga ingin menunjukkan beberapa wilayah yang konkret dimana umat Kristiani dan Muslim dapat bersama-sama secara aktif memberikan sumbangan bagi kebaikan bersama di dalam masyarakat.
Pertama, dengan bersaksi akan kehidupan doa baik secara individu maupun komunal yang akan mengingatkan bahwa “Manusia tidak dapat hidup hanya dengan makanan jasmani saja”. Di dunia kita sekarang ini, menjadi hal yang diperlukan untuk menekankan dan menunjukkan kebutuhan akan sebuah susunan interior hidup.

Kedua, umat Muslim, Kristiani dan pengikut-pengikut agama lain dapat membantu untuk memahami dengan lebih baik bahwa kebebasan beragama memiliki arti yang jauh lebih baik daripada sekedar menghapus sebuah bangunan gereja atau sebuah masjid (hal ini jelas dan sesuatu yang sukar dipertanyakan) dan juga memiliki kemungkinan untuk mengambil bagian dalam dialog publik melalui kebudayaan (di sekolah atau universitas-universitas) dan juga melalui tanggungjawab sosial politik dimana para penganut dapat menjadi model-modelnya.

Ketiga, bersama-sama umat Muslim dan Kristiani serta penganut agama lain tidak boleh ragu-ragu untuk membela kesucian hidup umat manusia dan martabat keluarga.
Keempat, mereka tidak boleh berdiam diri dalam upaya-upaya untuk memerangi kemiskinan, ketidakadilan sosial, ketidakmampuan dan sakit-penyakit.
Kelima, mereka memiliki tanggung jawab yang sama dalam menyediakan formasi moral bagi kaum muda.

Keenam, akhirnya, mereka harus menjadi penjaga perdamaian dan mengajarkan pendidikan tentang damai di dalam keluarga, gereja, masjid, sekolah-sekolah dan universitas-universitas.

Dalam Surat Terbuka dari 138 pemuka Muslim yang ditujukan kepada pemuka-pemuka Kristiani, menjadi kesempatan untuk menegaskan bahwa umat Kristiani dan Muslim mewakili 55% dari penduduk dunia dan konsekuensinya, apabila mereka soleh dan taat pada agamanya, mereka dapat melakukan banyak hal lagi untuk kebaikan bersama, perdamaian dan keselarasan di dalam masyarakat dimana mereka berperan sebagai anggota.

Konteks semacam ini sangat diharapkan untuk mengatasi dengan lembut mengenai topik lama yang dapat menjadi duri: pertanyaan tentang hak seseorang, prinsip kebebasan, hati nurani, agama, hubungan timbal balik dalam kaitannya dengan penyembahan kepada Allah.

Terakhir, yang menyebabkan kekhawatiran adalah kurangnya pengetahuan tentang agama lain. Menjadi hal yang penting bagi kita untuk pertama-tama mengenal satu dengan yang lain dan mengasihi satu sama lain. Hal ini merupakan kehendak Allah. Sebagaimana Paus Benediktus XVI mengatakannya di Turki: “Kita dipanggil untuk bekerja bersama sehingga dapat membantu masyarakat untuk membuka dirinya sendiri kepada Allah yang Mahakuasa, memberikan tempat kepada-Nya.”

Akhir kata, saya ingin sampaikan bahwa umat Kristiani dan Muslim merupakan pembawa dua pesan penting. Pertama, hanya Allah yang patut disembah. Sehingga semua berhala yang diciptakan oleh manusia (kekayaan, kekuatan, penampilan, hedonisme) merupakan bahaya bagi martabat pribadi manusia sebagai ciptaan Allah.
Kedua, dalam pandangan Allah, semua laki-laki dan perempuan merupakan bagian dari suku yang sama, keluarga yang sama. Mereka semua dipanggil kepada kebebasan dan berjumpa dengan-Nya setelah ajal.

Berdasarkan undang-undang, Indonesia merupakan sebuah negara yang meletakkan kesederhanaan falsafah bangsa: PANCASILA sebagaimana dinyatakan di dalam Undang-undang Dasar. Penerimaan yang sama terhadap Pancasila dalam pluralitas yang besar ini, meskipun ada upaya-upaya untuk mengerdilkan pengaruhnya, menunjukkan akar yang dalam akan pluralitas yang hidup dan di saat yang sama menunjukkan kehendak baik dari seluruh warga negara untuk menjaga kebersatuan dalam kebhinekaan ini. Di bawah Pancasila, seluruh pengikut dari agama-agama yang berbeda-beda, budaya dan suku yang ada menjadi setara, memiliki martabat dan hak yang sama dalam menikmati kekayaan negeri yang kaya dengan pluralitas ini, yang telah menjadi kehendak dari Allah sendiri.

Oleh sebab itu, saya tidak dapat berbuat lain selain berdoa agar Pancasila tetap menjadi landasan dan falsafah bagi Anda di negara ini, sekarang dan di masa yang akan datang.

Kalau saya boleh mengutarakan, penganut agama merupakan nabi-nabi harapan. Mereka tidak dapat hidup dalam nasib. Mereka tahu kalau dikaruniai oleh Allah hati dan akal budi. Dengan bantuan-Nya mereka dapat mengubah sejarah untuk menyelaraskan hidup sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Sang Pencipta: lebih jelas lagi untuk menjadikan peradaban ini sebagai keluarga otentik dimana seluruh manusia menjadi anggotanya. Kami sebagai umat Kristiani harus selalu ingat dengan Surat Paulus kepada umat di Roma: “Untuk itu, biarlah tujuan kita haruslah selalu untuk hal-hal yang menciptakan kerukunan dan saling membangun (Rom 14:19)”. Tentunya menjadi petunjuk yang indah bukan?

Namun seperti yang telah disinggung, kita haruslah tetap rendah hati. Kita belum menjelaskan Allah! Kita harus berhenti pada misteri, “Misteri Allah dimana manusia direngkuh, dan bukannya merengkuh, dimana manusia menyembah dan bukannya menjelaskan, dimana ia sendiri dikuasai, dan bukannya menguasai” (Karl Rahner). Terima kasih.

Diterjemahkan oleh Blasius Panditya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer