Romo J Sudrijanta, SJ memberikan penjelasan tentang Meditasi tanpa Objek |
Para peserta mengaku kesulitan
ketika mempraktikkan meditasi tanpa
obyek yang dipandu oleh Pastor J. Sudrijanta, SJ pada acara Temu Kebatinan (Tebat)
Katolik XXII di Gua Maria Kerep Ambarawa (20-21/10/2012).
Menurut Pastor Sudrijanta,
kesulitan itu terjadi karena selama ini peserta sudah terbiasa terdidik,
terlatih untuk melekat pada konsep-konsep dengan teknik dan metode yang bermacam-macam.
Konsep-konsep itu sangat memukau kita baik itu konsep-konsep tentang Kristus,
tentang Tuhan, tentang iman, tentang kebenaran-kebenaran dan kita merasa sudah
sampai dengan menghafal itu. Bisa jadi, kita tidak bertemu dengan
Tuhan. Namun bertemu dengan konsep tentang Tuhan.
Padahal menurut Pastor
Sudrijanta, meditasi itu sangat sederhana. ”Ini simple sekali. Se-simple
Anda menarik nafas dan menghembuskan nafas dengan penuh kesadaran diri,”
katanya.
Dalam mempraktikkan meditasi
ini, yang terpenting adalah meditator selalu berada dalam kesadaran penuh. Meditator
diharapkan menyadari semua gerak dan suasana batin maupun fisik yang terjadi. Dan untuk melakukan ini, meditator memang
diharapkan harus menanggalkan konsep-konsep yang selama ini ia bangun. "Masalahnya adalah ingin atau tidak
ingin. Itu saja. Kalau tidak
ingin, kita melekat pada konsep-konsep,” katanya.
Acara Tebat diisi dengan
praktek meditasi. Para
peserta mengikuti dengan antusias. Setidaknya, mereka melakukan meditasi duduk, meditasi berdiri, dan meditasi
berjalan.
Menurut Pastor
Sudrijanta, perjalanan spiritual hanya mungkin kalau ada awarness (kesadaran diri). Meditasi ini justru relevan dipraktikkan
di dalam kehidupan sehari-hari misalnya dalam relasi-relasi dengan orang lain.
“Justru praktis sekali.
Perhatikan ini di dalam relasi-relasi
Anda, satu dengan yang lain, bukan hanya Anda duduk 30 menit, satu jam. Setelah itu, Anda tidak aware lagi, tidak eling lagi dalam relasi-relasi,” katanya. Menurutnya, melalui relasi kita mengenal diri.
Dalam hal ini, pikiran
tidak senantiasa dipakai karena menurutnya, tidak setiap 24 jam, pikiran
dibutuhkan. Bisakah pikiran yang sungguh tidak diperlukan berhenti ketika awarness dipraktikkan? “Kalau itu
berhenti maka ada kejernihan, ada kecerdasan, atau welas asih, ada cinta, atau wisdom. Kalau ini ada, maka pikiran yang
sungguh kita butuhkan bekerja dalam praktek sehari-hari maka akan menjadi
sangat efektif,” imbuhnya.
Walking Meditation |
Maka, Pastor Sudri
mengajak para peserta belajar untuk menghentikan pikiran yang sungguh tidak
dibutuhkan sampai itu berhenti. Selain dipraktikkan dalam kesibukan berelasi, meditasi
dengan duduk diam 30 menit atau satu jam dibutuhkan karena itu lebih total. “Kalau
dalam bicara, dalam relasi (meditasi) tidak begitu total bukan? Kalau duduk
diam itu menjadi total, maka menjadi penting Anda memberikan waktu khusus untuk
meditasi,” ujarnya.
Sedangkan
Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang (Komisi
HAK KAS) Pastor Aloys Budi Purnomo, Pr mengatakan bahwa meditasi merupakan suatu
upaya untuk mengalami keheningan. “Namun keheningan bukan tujuan, melainkan sarana untuk
mengalami kehadiran Tuhan dengan segala kesadaran dan konsentrasi kita,”
katanya.
Menurutnya, dalam
tradisi Kristiani, meditasi merupakan salah satu tahapan dari proses
"Lectio Divina". Diawali dengan membaca firman Tuhan (lectio), kita
masuk dalam permenungan yang mendalam atas firman Tuhan dalam meditasi.
Meditasi yang kian mendalam membawa kita masuk ke dalam tahapan kontemplasi.
”Meditasi dan
kontemplasi laksana dua sisi sekeping mata uang, saling menopang. Meditasi yang
melaju ke arah kontemplasi tak lagi terfokus pada obyek tertentu selain
rasa-perasaan terpesona-terpikat pada wajah Tuhan yang penuh kasih dan
kerahiman,” imbuhnya.
Dengan model
ini, menurut Pastor Budi, keutamaan bermeditasi kenotis tanpa obyek, tak akan
membuat kita terninabobokan dalam kesalehan personal, tetapi juga membuat kita
terlibat secara sosial! Meditasi pun berbuah dalam aksi. Doa terwujud pula
dalam karya nyata!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar