Sabtu, 13 Februari 2010
”Ngalap Berkah Tyas Dalem Sang Kristus”
Malam satu suro (18/12/09). Bau asap dupa menyengat di Gereja Hati Kudus Yesus Tanah Mas (HKYTM) Semarang. Di sana sudah tersedia tumpeng, jajan pasar, pisang dan ubi rebus, dan tidak ketingalan bubur suran yang gurih. Tentu tak ketinggalan kopi, teh, atau air minum dalam kemasan. Di antara keharuman dupa itu, doa-doa pun dilantunkan.
Ketika berbagai khalayak mengisi malam satu suro dengan aneka ritual seperti berendam, tapa bisu, menjamas pusaka, umat Katolik di Paroki HKYTM Semarang mengisi acara malam suro dengan ekaristi, adorasi dan sarasehan. Ekaristi dipimpin oleh Romo Aloys Budi Purnomo Pr dan Romo Aloysius Gonzaga Luhur Pribadi Pr.
Ekaristi dilaksanakan dalam bahasa Jawa. Romo serta beberapa umat lainnya mengenakan busana adat Jawa, beskap jangkep. Romo Aloys Budi Purnomo Pr mengenakan beskap ala Yogya dengan mondholan-nya. Lagu-lagu yang dilantunkan memakai bahasa Jawa yang diiringi dengan alat musik gamelan seperti Sumbering Karahayon dhawah Pangkur Pelog 6. Ada pula Dhandhanggula Palaran Pl 6. Bahkan, pembacaan ayat dari Injil Yohanes 14:1-7 dengan melantunkan Sekar Pocung Macapat Pl Barang. Uniknya, ekaristi ini juga dihadiri oleh umat Tionghoa. Mereka sangat antusias dalam mengikuti ekaristi satu suro itu.
Doa memasuki tahun baru 1 Sura 1943 Dal pun dilambungkan. Setelah ekaristi selesai, umat menikmati tumpeng, bubur suran, dan hidangan lain.
Acara yang tak kalah menarik adalah sarasehan yang bertema ”Ngalap Berkah Tyas Dalem Sang Kristus”. Dalam sarasehan itu, Romo Budi mengatakan bahwa bulan Sura dianggap sebagai bulan yang paling sakral oleh orang Jawa.
Peringatan Tahun Baru Jawa yang dikenal dengan “Malem 1 Suro” biasanya menjadi tradisi di Jawa dan Madura, terutama di bekas kekuasaan Mataram semasa pemerintahan Sultan Agung minus Jakarta, Banten, dan Banyuwangi (Blambangan).
Tahun Jawa yang dimulai 1 Suro ditetapkan oleh Sultan Agung, raja terbesar Mataram Islam yang berkuasa pada tahun 1613-1645. Sultan Agung menciptakan Kalender Jawa dengan memadukan Kalender Saka yang berasal dari India (penanggalan syamsiah-kamariah/candra-surya/luni-solar) dengan Kalender Hijriah asal Arab. Waktu itu Kalender Saka bertarikh tahun 1547 sementara Kalender Hijriyah bertarikh tahun 1035. Pada tahun 1625 Sultan Agung yang berusaha menyebarkan Agama Islam berusaha merangkul orang Jawa yang kala itu mayoritas memeluk agama Hindu-Budha yang menggunakan Kalender Saka.
Menurut tradisi dan kepercayaan Jawa, bulan Suro diwarnai oleh aura mistis dari alam gaib yang begitu kental melebihi bulan-bulan lainnya. Sama seperti dalam Tahun Masehi, setiap bulan memiliki keunikan dalam berbagai cara sudut pandang, demikian juga dalam Tahun Jawa.
Misteri 1 Sura terkait dengan salah satu pandangan dalam tradisi Jawa bahwa ada yang disebut dengan Sura Duraka. Disebut bulan Sura Duraka sebab pada bulan ini sering terjadi akumulasi kekuatan gaib yang bersifat negatif, sehingga melahirkan banyak korban bagi mereka yang tidak eling dan waspada. Akibatnya, muncul banyak musibah dan bencana melanda jagad manusia.
Pada umumnya, masyarakat melakukan ritual dengan kungkum, berebut air jamasan pusaka, tapa bisu, ziarah kubur, dan sejenisnya. Bagi umat Katolik, sebagai pengikut Yesus Kristus, semua tindakan itu tidak lagi diperlukan untuk menyambut 1 Suro. Kendati demikian, Gereja memberi ruang dan tempat yang selaras dengan iman Katolik bagi mereka yang masih menghayati tradisi Suran (menyambut 1 Suro). Maka, dilaksanakanlah inkulturasi iman Katolik. Salah satunya, melalui Perayaan Ekaristi. Perayaan Ekaristi adalah cara terbaik merajut inkulturasi iman Katolik dalam menyambut 1 Suro.
Titik temu antara ritual satu suro dengan ekaristi terletak pada pemahaman bahwa orang menyambut 1 Suro dengan berbagai ritual-kultural mereka pertama-tama demi memperoleh berkah! Bila “ngalap berkah” yang menjadi tujuan, maka, cara yang paling tepat dan benar bagi orang Katolik untuk “ngalap berkah” dalam menyambut 1 Suro adalah dengan mengikuti Perayaan Ekaristi.
Bahkan untuk ngalap berkah, adorasi pun dilangsungkan pada acara malam satu suro di Gereja HKYTM. Paus Benediktus XVI, juga menekankan makna Adorasi Ekaristi sebagai bagian hidup Gereja. “Hanya di dalam nafas sembah sujud melalui Adorasi, Perayaan Ekaristi sungguh menjadi hidup.... Komuni dan Adorasi tidak berada satu di samping yang lain, atau bahkan berlawanan, tetapi kesatuan yang tak terpisahkan.”
Dengan demikian umat Katolik yang masih merayakan tradisi Suran, bisa ngalap berkah Tyas Dalem Sang Kristus.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Entri Populer
-
Oleh Aloys Budi Purnomo Pr, M.Hum Saya dengan sengaja tidak menggunakan kata “kedamaian” sebagaimana dipakai panitia. Secara normatif unive...
-
Fiat Voluntas Tua! (Terjadilah padaku menurut kehendak-Mu) merupakan ungkapan terkenal dari Maria. Umat Katolik tentu sangat mengenal Mar...
-
Tanggapan Gereja-Gereja terhadap Pekan Doa Sedunia untuk Kesatuan Umat Kristiani (PDS KUK) 2013 sangat luar biasa. Selain mendoakan sela...
-
Oleh Aloys Budi Purnomo Pr ADA dua kisah naratif yang inspiratif untuk merawat kebhinnekaan. Mgr. Johannes Pujasumarta, Uskup Keuskupan Agun...
-
Malam satu suro (18/12/09). Bau asap dupa menyengat di Gereja Hati Kudus Yesus Tanah Mas (HKYTM) Semarang. Di sana sudah tersedia tumpeng, j...
-
Romo J Sudrijanta, SJ memberikan penjelasan tentang Meditasi tanpa Objek Para peserta mengaku kesulitan ketika mempraktikkan meditasi...
-
PROFIL KOMISI HUBUNGAN ANTARAGAMA DAN KEPERCAYAAN KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG Oleh Aloys Budi Purnomo Pr Ketua Komisi Hubungan Antaragama ...
-
Dengan berjalan pelan, para pendeta dan pastor me nuju altar Gereja Hati Kudus Yesus Tanah Mas Semarang. Sementara itu lagu Taize “Tinggalla...
-
“APA YANG TUHAN TUNTUT DARI KITA?’ ( Bdk . Mi k h a 6:6-8) Pekan Doa Sedunia untuk Kesatuan Umat Kristiani 18-25 Januari 20...
Online Casino | KadangPintar
BalasHapusOnline 인카지노 casino - Join KadangPintar งานออนไลน์ today and play slots, table games, bingo, casino games & live casino kadangpintar games.