Minggu, 24 Juli 2011

Merajut Kebhinekaan

Oleh Aloys Budi Purnomo Pr


ADA dua kisah naratif yang inspiratif untuk merawat kebhinnekaan. Mgr. Johannes Pujasumarta, Uskup Keuskupan Agung Semarang menyampaikannya dalam berbagai kesempatan. Hemat saya, narasi itu sangat menarik untuk menumbuhkan sikap dasar dan komitmen merawat kebhinekaan demi membangun Indonesia yang damai.

Kisah naratif tersebut menyimpan kearifan lokal sekaligus kebijaksanaan global yang dewasa ini mestinya menjadi bahan permenungan setiap anak bangsa yang hidup di negeri Pancasila ini. Apalagi di saat kehidupan sosial kemasyarakatan kita yang mestinya dijiwai semangat kebhinnekaan namun belakangan ini seakan mengalami kemunduran karena berbagai friksi sosial yang terjadi.

Kearifan jari-jemari
Kisah ini sebetulnya merupakan narasi lisan turun-menurun yang dituturkan oleh sesepuh kepada generasi muda kita belajar menghargai perbedaan dan merawat kebhinnekaan. Perbedaan dan kebhinnekaan itu bahkan melekat dalam tubuh setiap manusia, sebagaimana tampak, antara lain pada keberadaan jari-jemari kita.
Jari-jemari kita ini berbeda-beda: letaknya, ukurannya, fungsinya, dan pendapatnya – kalaulah mereka dipersonifikasikan. Beginilah para leluhur kita bercerita tentang kearifan jari-jemari.

Konon, karena merasa diri terus-menerus dikalahkan, jari Telunjuk berencana untuk melenyapkan jari Temunggul (jari tengah). Ia pun membujuk jari Kelingking dan berkata, “Enthik-enthik, si Temunggul patenana! (Wahai jari Kelingking, bahasa Jawa: Jenthik, maka dipanggil “Enthik-enthik”, bunuhlah si Temunggul (= jari Tengah)!”). “Si Temunggul dosane apa, (Apakah dosa si Temunggul?)” tanya Kelingking. “Dosane ngungkul-ungkuli! (Dosanya, karena ia selalu tampil menonjol dan seakan-akan merasa diri unggul!) jawab Telunjuk.

Mendengar percakapan itu, jari Manis nimbrung, “Aja, Dhi! Aja, Dhi! Sedulur tuwa iku ala-ala malati! (Jangan adikku! Saudara tua itu meskipun jelek, bisa mendatangkan tuwah!) Meneguhkan pendapat arif si jari Manis itu, Ibu Jari membenarkan, dan berkata dalam canda jenaka, “Bener, bener, tahi laler enak seger!” (Betul, betul, kotoran lalat itu enak!). Serentak jari-jemari tangan bereaksi mengakhiri percakapan mereka dengan tertawa cekikikan!

Pesan dari kisah naratif percakapan jari-jemari tangan kita itu tidak lain adalah agar kita belajar arif melestarikan kehidupan dengan merawat kebhinnekaan dan menghargai perbedaan! Jangan membunuh atas nama perbedaan! Merawat kebhinnekaan berarti pula merawat, menjaga dan menghargai kehidupan yang berbeda dari diri kita!

Menerbitkan matahari
Kisah kedua ini lahir dari sebuah kerinduan dan mimpi atas kehidupan yang teduh, damai, sejahtera! Simbolismenya adalah terbitnya matahari pagi yang membawa pengharapan, fajar baru kehidupan harian dan kehangatan dalam kebersamaan dan keanekaragaman.

Adalah komunitas pondok pesantren yang mengajarkan dan mengedepankan persahabatan dan kehidupan yang rukun dan damai. Di pondok pesantren itu, Sang Kiai sedang berdialog dengan para santrinya. Kepada para santri Sang Kiai bertanya, “Kapan matahari terbit?”

“Saat ayam jago berkokok pada pagi hari,” jawab seorang santri.
“Tidak,” kata Sang Kiai.
“Lalu, kapan?” tanya santri itu.
“Pada waktu ada sinar merah terbit di ufuk timur setiap pagi,” jawab santri yang lebih senior. “Tidak juga”, kata Sang Kiai lagi.
“Lalu, kapan, matahari terbit, Kiai?” tanyanya.
“Matahari terbit, ketika ada kasih dalam hatimu, yang membuat kamu mampu melihat orang-orang di sekitarmu sebagai saudari dan saudaramu, kendati mereka berbeda darimu!” kata Sang Kiai.

Sekali lagi, Sang Kiai menegaskan, “Ketika kamu mampu melihat orang-orang itu adalah saudari dan saudaramu, tanpa pandang bulu, tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan, pada saat itulah matahari terbit bagi kehidupan kita dengan segala kehangatan dan pengharapan yang baru!”
Alangkah indahnya, bila kedua narasi itu bukan hanya menjadi sebuah kisah lisan, melainkah menjadi kisah kehidupan yang nyata dalam merawat kebhinnekaan yang menjadi keniscayaan bagi kehidupan kita!

Kebhinnekaan dan Kristianitas
Bagaimana membaca kebhinnekaan dalam perspektif Kristianitas, khususnya dalam konteks Gereja Katolik Roma?
Pertama, iman Kristiani, terutama Katolik, memiliki keterbukaan yang luar biasa terhadap fakta kebhinnekaan, atau sering kita kenal dengan sebutan pluralitas, pluralisme. Memang, terminologi pluralisme sendiri, dalam konteks sosial-keagamaan di Indonesia, menjadi bahan perdebatan. Terutama dari kalangan tokoh agama Islam tertentu di Indonesia, pluralisme merupakan ancaman. Itulah sebabnya, bagi kalangan umat Islam tertentu, pluralisme itu haram!

Mengapa? Jawabannya ada pada cara pandang terhadap pluralisme. Pluralisme bagi mereka haram, karena cara pandang atas pluralisme sebagai paham bahkan ideologi yang cenderung mencampuradukkan, menyamaratakan, seakan semua agama itu, kendati berbeda, tetapi sama saja. Sama rata, sama rasa! Itu indeferentisme! Itu relativisme! Semua memuat kebenaran, dus, semua sama! Inilah yang kemudian diharamkan, sebab mengancam otoritas dan otentisitas kebenaran! Kalau demikian, kita lantas bisa memahami, mengapa pihak tertentu menyatakan bahwa pluralisme itu haram!

Namun, apakah demikianlah halnya tentang pluralisme? Tidak! Pluralisme dan pluralitas tidak sama dengan indeferentisme, tidak sama dengan relativisme, apalagi lalu menjadi sinkretisme yang haram! Pluralisme dan pluralitas sendiri pada dasarnya merupakan sebuah keniscayaan! Fakta tak terbantahkan bahwa realitas apa pun di muka bumi ini beragam, bukan seragam; termasuk realitas keberagamaan.

Itulah sebabnya, Gereja Katolik sadar betul, bahwa keberagaman itu fakta! Justru karena itulah, titik terang memandang pluralisme, pluralitas, kebhinnekaan, memancar dari ajaran Konsili Vatikan II. Itulah juga yang diserukan oleh para Bapa Konsili Vatikan II melalui dokumen Nostra Aetate, Pernyataan tentang hubungan Gereja Katolik dengan Agama-Agama bukan Kristiani.

Pernyataannya tegas dan jelas: Gereja Katolik tidak menolak apapun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar kebenaran, yang menerangi semua orang (NA 2).

Pernyataan itu menegaskan bahwa Gereja tidak menolak keberagaman dan keberbedaan. Yang berbeda itu halal dan dihormati! Perbedaan dalam keragaman itu tak hanya ditolak melainkan direnungkan dengan sikap hormat yang tulus! Bahkan, yang berbeda itu diakui juga memantulkan sinar kebenaran yang menerangi semua orang!
Kedua, titik terang itu terpancar melalui penyelenggaraan Tuhan (providentia Dei). Adalah fakta sejarah, bahwa dokumen Nostra Aetate yang memberi ruang lebar bagi rasa hormat, kerja sama dan dialog antar umat beragama yang berbeda, dalam konteks hidup berbangsa di Indonesia, ditetapkan dan ditandatangani oleh Paus Paulus VI bersama dengan para Bapa Konsili Vatikan II pada tanggal 28 Oktober 1965. Hemat saya, bukanlah suatu kebetulan, melainkan penyelenggaraan Tuhan, bahwa tanggal penetapan dokumen Nostra Aetate adalah 28 Oktober, yang bagi bangsa dan masyarakat Indonesia merupakan hari keramat!

Tanggal 28 Oktober 1928, para pemuda Indonesia telah meletakkan landasan kokoh bagi masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia, ketika mereka mengembangkan prinsip kesatuan dalam keanekaragaman. Pluralitas yang menandai Jong Java, Jong Sumatra, Jong Celebes, Jong Sunda, Jong Ambon dan unsur-unsur pemuda seluas Nusantara ini membuat mereka melangkah maju dalam kesatuan untuk membela kepentingan bersama dan keselamatan bangsa. Pekik ”Soempah Pemoeda”: satu bangsa, bangsa Indonesia; satu bahasa, bahasa Indonesia; satu Tanah Air, Tanah Air Indonesia, menggemakan kesatuan dalam keberagaman, bhinneka tunggal ika tan hana darma mangrwa.

Tekad serupa dicanangkan Gereja Katolik Roma pada 28 Oktober 1965, melalui pengesahan Deklarasi Nostra Aetate: satu keselamatan dalam aneka agama dan budaya menuju kasih persaudaraan semesta sejati tanpa diskriminasi.

Ketiga, dalam konteks perjuangan di awal kemerdekaan republik Indonesia, terdapat fakta sejarah yang mulia, saat iman Kristiani berdaya guna merajut kebhinnekaan Indonesia. Momen sejarah itu terukir dalam fakta bahwa sila pertama Pancasila yang menjadi dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Di balik sila ini terdapat pergumulan sejarah yang luar biasa, namun ditandai oleh kerendahan hati dan jiwa besar para pendiri bangsa ini serta para ulama Islam pada saat itu, berhadapan dengan iman Kristiani di Tanah Air.
Adalah Soekarno, Mohammad Hatta, Abdul Kahar Muzakkir, Agus Salim, Ahmad Soebarjo, Abdul Wahim Hasyim, Muhammad Yamin, dan Abikoesno Tjokro Soejoso. Demi keutuhan seluruh bangsa ini, mayoritas tokoh yang sangat saleh dalam menghayati iman dan agama Islam itu, rela duduk bersama dan menampung aspirasi Alexander Adries (AA) Maramis saat merumuskan sila pertama dalam ”Piagam Djakarta”. Dengan terbuka, jiwa besar, dan kerendahan hati, mereka mengadopsi keberatan AA Maramis atas tujuh kata di belakang sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Itulah sebabnya, frase ”dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” tidak dicantumkan dalam ”Piagam Djakarta” demi kepentingan seluruh bangsa, terutama demi keutuhan dan kesatuan Negara Republik Indonesia.

Dalam arti tertentu, Soekarno, Mohammad Hatta, Abdul Kahar Muzakkir, Agus Salim, Ahmad Soebarjo, Abdul Wahim Hasyim, Muhammad Yamin, Abikoesno Tjokro Soejoso dan AA Maramis memiliki kearifan futuristik, bahwa, bila frasa itu dipertahankan, akan terjadi diskriminasi konstitusional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di masa mendatang.

Fakta sejarah itu terukir karena inisiatif AA Maramis, representasi iman Kristiani yang berhasil menancapkan akar tunggang sejarah yang merajut kebhinnekaan Indonesia dalam terang iman Kristiani. Karenanya, dewasa ini, di saat berbagai persoalan yang bernuansa diskriminatif merebak di seluas Nusantara, beranikah umat Katolik hadir membawa suara profetiknya demi merajut kebhinnekaan Indonesia, sehingga kebhinnekaan dan katolisitas berjalan seiring mewujudkan masa depan Indonesia yang harmonis, rukun, adil dan damai?

Mengatur kerukunan
Di era tahun 1960-1970-an, pemerintah Indonesia melalui Departemen Agama (Depag) tak kurang telah mengatur tata hidup kerukunan antarumat beragama itu dengan berbagai macam pedoman yang sistematis. Di bawah pimpinan Haji Zaini Ahmad Noeh, Depag RI menerbitkan “Pedoaman Dasar Kerukunan Hidup Beragama” (PDKHB, 1979). Buku pedoman yang sama diterbitkan kembali pada tahun 1982/1983. Pada tahun yang sama, H.A. Hafizh Dasuki secara sistematis menerbitkan buku-buku pedoman bimbingan dan pembinaan kehidupan (kerukunan umat) beragama; di antaranya “Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama” dan “Kehidupan Beragama dalam Negara Pancasila”.

Data ini menegaskan betapa negara pada masa itu, melalui pemerintah, bertekad membangun budaya dialog interreligius, utamanya, melalui upaya merajut kerukunan antarumat beragama. Disadari betul bahwa Indonesia adalah negara yang majemuk dalam hal agama. Karenanya, urgensi untuk mengakarkan budaya dialog interreligius tak bisa diabaikan, justru harus kian ditingkatkan.

Sangat menarik mencermati rumusan yang mencita-citakan tujuan kerukunan hidup (antarumat) beragama dalam PDKHB (1982/1983:5). Ditegaskan dalam rumusan tersebut, kehidupan berbangsa-bernegara berdasarkan Pancasila yang kita cita-citakan dengan usaha-usaha pembangunan manusia seutuhnya, tidak lain adalah kehidupan berbangsa-bernegara yang beragama. Karenanya, kehidupan orang-seorang, kehidupan bermasyarakat, kehidupan berbangsa-bernegara yang ingin kita bangun adalah kehidupan beragama yang pancasilais sekaligus kehidupan Pancasila yang beragama.

Dalam rangka itu, empat hal menjadi perhatian. Pertama, agama-agama diharapkan menjadi motivator dengan memberikan dorongan moral dan melandasi cita-cita perbuatan manusia. Kedua, agama merupakan pendorong kreatif-inovatif utama untuk membaharui kehidupan secara positif. Ketiga, agama memiliki faktor integratif baik secara individual maupun sosial demi keutuhan dan keselarasan hidup bersama. Keempat, agama diharapkan berperan sebagai faktor sublimatif untuk menguduskan perbuatan manusia sedemikian rupa sehingga perbuatan itu memancar dari hati yang tulus demi mengabdi Tuhan dan sesamanya.

Dengan pedoman dasar itu, sedikit pun tidak dimaksudkan bahwa dinamika kehidupan beragama seseorang dibatasi apalagi dikurangi. Bahkan, masing-masing pribadi maupun kelompok yang beragama mendapatkan jaminan kebebasan, dilindungi dan dibina sebagai warga bangsa-negara. Pemerintahan pun berupaya untuk mendukung dan memperkembangkannya sebagai bagian dari kekayaan bangsa.

Perserikatan agama-agama
Adalah U Thant (1960), mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang secara global-internasional mencetuskan gagasan tentang perlunya “Perserikatan Agama-Agama” (PAA) di samping PBB. Maka dia pun berseru, “What we need is United Religions in addition to United Nations!” Menurut U Thant, pada umumnya, bangsa-bangsa (pemerintah-pemerintah) sering cenderung terkurung pada pandangan sempit chauvenistik dan sistem politik tertentu. Sedangkan agama-agama justru mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk mencapai solusi yang bermoral, adil, dan damai. Sayangnya, seruan ini tak bergema!

Dalam konteks nasional, di Indonesia, gagasan U Thant ini dikumandangkan kembali oleh Haji Mukti Ali (1992). Mukti Ali yakin, PAA merupakan pilihan yang tepat untuk dapat menggalang persatuan dan kesatuan antarumat beragama, baik di tingkat lokal, nasional maupun global. Memang, yang diserukan Mukti Ali pada gilirannya tersekap pada aspek kelembagaan. Akibatnya, buah-buah kerukunan antarumat beragama yang damai dan sejahtera pun kurang dirasakan di tingkat akar rumput.

Karenanya, seiring dengan ancaman-ancaman terhadap kerukunan antarumat beragama yang belakangan ini merebak di Indonesia, mengakarkan budaya dialog interreligius merupakan kebutuhan mendesak yang harus diwujudkan. Kita perlu belajar dari para tokoh republik ini yang terus berkomitmen mengakarkan budaya dialog interreligius sebagaimana diperjuangkan oleh mendiang Gus Dur, Gedong Oka, Th. Sumartana, maupun YB. Mangunwijaya!

Sekaranglah saatnya untuk mulai mengakarkan budaya dialog interreligius di negeri ini, tak hanya di tingkat elite, tetapi juga di tingkat akar rumput; tak hanya di pusat, melainkan juga di daerah-derah. Gerakan inilah yang akan menjadi benteng untuk menjaga NKRI dan spirit Bhinneka Tunggal Ika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer