Senin, 09 November 2009

Tebat XVI: Meditasi dan Menapaki Jalan Kekatolikan


Doa meditasi selalu mengutamakan keheningan. Namun, keheningan itu bukan untuk mengumpulkan kekuatan pribadi dan menjadi digdaya sekti mandra guna melainkan keheningan untuk kian berjumpa dan bersatu dengan Tuhan Yesus Kristus. Pernyataan ini disampaikan oleh Pastor Aloys Budi Purnomo, Pr, Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang (KAS) pada saat membuka acara Temu Kebatinan (Tebat) XVI di Bedono, Ambarawa (3-4/10/09). Acara Tebat yang diadakan 2 kali setahun itu dihadiri oleh para peserta dari berbagai kevikepan di bawah KAS dan kota-kota lainnya seperti Jakarta, Cirebon dan Purwokerto.

Tebat sarat dengan muatan budaya Jawa. Maka, pada saat-saat tertentu dilantunkan tembang-tembang Macapat. Nuansanya pun menjadi sarat dengan budaya Jawa. Hal ini membuat peserta yang sebagian besar berlatar belakang budaya Jawa seakan menemukan rumahnya kembali, tidak hanya dalam kehidupan sehari-hari bahkan peserta merasakan aroma Jawa dalam berdoa. Nuansa yang diciptakan seperti ini menunjukkan bahwa Gereja mau menyapa dalam budaya-budaya setempat. ”Kita bersyukur bahwa tradisi Gereja Katolik sangat terbuka menerima kekayaan rohani yang berkembang di tengah kehidupan bersama,” tulis Pastor Budi dalam sambutannya.

Tebat diisi dengan berbagai macam rangkaian materi. Materi yang pertama adalah pengenalan Meditasi Kristiani yang disampaikan oleh Pastor Siriakus Maria Ndolu, O.Carm dan Pastor Than Tian Sing, MSF. Melalui paparannya, Pastor Siriakus Maria Ndolu O.Carm mengenalkan hal ikhwal Meditasi Kristiani. Meditasi Kristiani adalah doa kontemplatif yang dikenalkan oleh Pater John Main, OSB di Washington DC.

Meditasi ini dilakukan dua kali sehari selama 20-30 menit. Orang yang melakukan meditasi ini cukup mengucapkan mantra yang sederhana dan diulang-ulang. Tujuan pengucapan mantra terus-menerus adalah supaya kita dapat mengucapkan mantra dalam hati kita sepanjang periode meditasi. Kedua, mantra yang diucapkan secara terus-menerus akan berakar di dalam hati kita. Ketiga, mantra akan bergema atau terngiang-ngiang.

Sedangkan mantra yang dianjurkan adalah maranatha. Sebab, pertama, kata ini merupakan kata dari bahasa Aram yang dipakai oleh Yesus sendiri. Kedua, kata ini barangkali merupakan doa kristiani yang paling kuno. Ketiga, Santo Paulus menutup surat pertama Korintus dengan kata ini (I Kor 16:22). Keempat, St Yohanes menutup Kitab Wahyu dengan kata ini pula (Why 22:20). Kelimat, akhiran ”a” pada ”ma ra na tha” membantu pengucapan seirama pernafasan. Keenam, karena ini bahasa asing, maka membantu kita untuk tidak membayangkan sesuatu atau membayangkan wajah Yesus bila kata itu diterjemahkan menjadi ”Datanglah ya Tuhan Yesus”. Namun yang terpenting menurut Pastor Sirikus, Meditasi Kristiani bisa memberikan buah kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan hati, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri. Setelah peserta diberi penjelasan tentang Meditasi Kristiani, seluruh peserta diajak untuk melakukan meditasi itu dengan hening.


Materi kedua yang disampaikan pada Tebat kali itu adalah ”Dalam Yesus Mendalami Jatidiri” yang disampaikan oleh Prof. Dr. A. Sudiarja, SJ dan Paguyuban Taman Banyu Urip Yogyakarta. Sesi ini mengajak peserta supaya memaksimalkan talenta yang sudah dimiliki masing-masing yang merupakan anugerah Tuhan. Selanjutnya, peserta diajak untuk mempraktekkan hal-hal yang meyakinkan peserta bahwa jika kita yakin maka segalanya menjadi mungkin seperti menancapkan sedotan yang lembek ke dalam umbi kentang yang keras. Bahkan pada malam harinya peserta diajak untuk mendemonstrasikan kemampuan berjalan di atas api. Jika yakin, mereka tidak akan merasa sakit.

Acara pada malam itu ditutup Pastoral Glenikan. Dalam sesi ini para peserta yang mempunyai kemampuan bisa menyumbangkan kemampuannya misalnya pijat refleksi, konsultasi, atau pengobatan alternatif lainnya. Hal ini juga mengajak peserta yang mempunyai kemampuan atau talenta supaya saling berbagi kepada yang lainnya.
Minggu pagi, Tebat membedah buku The Catholic Way tulisan Mgr. Ignatius Suharyo. Buku dibedah oleh Prof. Dr. Bakdi Soemanto. Bakdi berkomentar bahwa orang bisa membaca The Catholic Way "sekedar" sebagai buku penyegar iman, karena di sana-sini banyak menyajikan uraian dari katekismus. Tetapi, menurutnya, satu kegiatan membaca dengan kegiatan membaca lainnya tidak sama. “Hal ini, persis seperti orang mendengarkan kotbah. Mendengarkan dan mendengarkan selalu lain dan berubah,” katanya. Bakdi juga menambahkan bahwa semakin jauh membaca buku tersebut, pembaca akan semakin tahu betapa pentingnya buku The Catholic Way. Salah satu contoh yang ditinjukkan dalam buku itu adalah pentingnya menyadari “kemajemukan” budaya. Lebih lanjut Bakdi mengatakan bahwa buku The Catholic Way merupakan pergumulan pribadi yang dialami oleh Monsinyur Suharyo, ketika beliau dihadapkan kepada kenyataan dunia yang sama sekali tidak damai, terkadang tidak ada uluran tangan persaudaraan dan penuh kekerasan.

Lebih lanjut menurutnya, ada bagian yang sangat menggugah dari buku itu yaitu pentingnya membaca tanda-tanda zaman. ”Tanda-tanda zaman itu adalah simbol lingkungan sosial, politik, ekonomi, budaya dan alam. Lingkungan itu terus-menerus berubah. Menyadari akan lingkungan yang memberikan penanda tertentu tentang yang akan datang, berarti manjing ing sajroning kahanan,” katanya. Bakdi juga mengapresiasi bahwa The Catholic Way mengingatkan kembali tentang kekatolikan, keindonesian, dan kristianitas. The Catholic Way menurutnya juga merupakan konsep lanjutan dari Mgr. Soegijapranata, SJ. ”Dalam konteks sekarang kekatolikan dan keindonesiaan jadi penting karena keindonesiaan jadi identitas. Nasionalisme merupakan gugatan terhadap globalisme,” imbuhnya.

Tebat diakhiri dengan ekaristi yang dipimpin Pastor Siriakus Maria Ndolu, Ocarm. Dalam homilinya Pastor Siriakus berpesan kalau kita ingin masuk Kerajaan Surga, hendaknya kita menjadikan diri kita seperti seorang anak kecil. Menjadi anak kecil berarti mengecilkan diri dari kemegahan kita. Pastor Siriakus mengisahkan perjalanan Bima yang ingin mendapatkan air kehidupan yang adalah jatidirinya yang sesungguhnya.

Namun, dalam perjalanannya ia tak kunjung mendapatkannya. Lalu dalam sebuah perjalanan ia bertemu dengan Dewaruci yang berwujud seperti dirinya namun berukuran sangat kecil. Dewaruci berkata kepada Bima kalau Bima ingin menemukan air kehidupan, ia harus masuk ke dalam Dewaruci melalui telinganya. Maka satu-satunya cara yang bisa dilakukan Bima adalah mengecilkan dirinya. Di sanalah ia menemukan air kehidupan yang adalah Tuhan sendiri, bertemunya makhluk dengan Sang Khalik. Demikian halnya pada saat kita meditasi. ”Kita hanya berpegang pada satu kata yang sangat sederhana dan kecil. Kata itu adalah mantra Anda. Itulah kata yang menjadi pegangan hidup seorang kristiani, seorang yang kecil di hadapan Tuhan,” kata Pastor Siriakus.
Namun, menurutnya, menjadi sederhana itu sulit. ”Ketika orang disuruh duduk diam, kita terlalu mudah berkata-kata. Kita terlalu mudah omong. Orang ingin omong, orang ingin berpikir. Padahal dalam meditasi kita belajar untuk menjadi sederhana,” katanya. Maka orang yang dekat dengan Tuhan adalah orang yang bisa menjadi sederhana.

Kamis, 08 Oktober 2009

Tebat VI

Tebat VI diadakan pada tanggal 12-13 Oktober 2002 di Padepokan Kopi Eva, Bedono, Ambarawa. Tema yang diangkat adalah “Pencerahan Kebatinan Jawa Dalam Terang Iman” dengan nara sumber Rama Ign. Kuntara Wiryamartana SJ, yang menyampaikan makalah “Simbol-simbol Jawa yang Masuk Dalam Adat Tata Cara Katolik”. Simbol Jawa mana saja yang sudah dimasukan dalam adat tatacara Katolik? Yakni adalah pada waktu slametan “Metu–Manten–Mati”. Apa lagi yang akan masuk? Pada dasarnya budaya Jawa yang sudah sangat dipengaruhi Wirid (Wejangan) Islam, oleh orang Jawa Katolik ditumpangi dengan ibadat, kitab Suci, Misa, dsb.

Tujuan dimasukkannya simbol-simbol itu agar sebagai orang Katolik kita bisa selalu lumrah dalam hidup bermasyarakat, misalnya pada bulan Ruwah pergi ziarah/sowan pesarean, atau pada peringatan arwah (3,7,40,100 hari, mendhak 1, 2 sampai dengan nyewu). Sekali lagi biar sebagai wong Jawa “dadi lumrahe wong” sebab apabila dari sisi Gereja , mendoakan arwah selalu dilakukan setiap hari dalam Misa Harian(Bojana Ekaristi).

Demikian juga tentang Ruwatan, dilakukan karena adanya keprihatinan dari para orang tua terhadap masa depan anak. Jadi bila diadakan Misa dengan ujub ruwatan, semata-mata karena pelayanan pastoral Gereja terhadap keprihatinan para orang tua terhadap putra-putrinya.

Arti keprihatinan di sini sangat luas. Keprihatinan ada yang sudah “dibawa” sejak kelahiran anak, ataupun karena dari perbuatannya. Maka hendaknya kita membiarkan mereka bila melakukan/ikut ruwatan, tidak perlu disalahkan atau dilarang. Bukankah ungkapan keprihatinan orang itu juga bermacam-macam bentuknya. Maka hendaknya dilihat saja secara positif sebagai sebuah “ungkapan sikap” yang muncul dari keprihatinan orang tua. Khusus dalam Misa dengan ruwatan, Rama atau Imam juga memakai mantram seperti para dalang bila melakukan ruwatan. Mantram yang dibacakan adalah bacaan dalam Injil, yaitu Injil Yohanes bab 17 ”Doa Yesus kepada para murid”.

Banyak komentar atau pertanyaan muncul dari para peserta. Rama Kuntara mengatakan bahwa yang boleh atau berhak meruwat di kalangan Katolik adalah siapa saja yang dituakan oleh orang yang punya hajat. Kalau dengan Misa tentu saja Misa dipersembahkan oleh rama atau imam (yang ngruwat bisa oleh rama atau oleh mereka yang dituakan). Perihal tafsir umat yang berbeda-beda terhadap budaya lokal yang masuk dalam tatacara dan ibadat Katolik harus kita hargai, karena ini adalah sebuah proses. Sesungguhnya, baik agama maupun budaya (misalnya ruwatan) adalah sama-sama budaya, sehingga sangat mungkin untuk dipadukan.

Perlu disadari bahwa sebelum kita semua menjadi Katolik terlebih dahulu kita adalah orang Jawa yang suku Jawa, orang Batak yang dari Batak, Cina yang keturunan Cina dsb, sehingga setelah menjadi Katolik pun kita yang orang Jawa harus tetap Jawa. Yang harus kita perhatikan adalah kita harus mampu membedakan mana yang isi, dan mana yang kulit. Rama Subanar menambahkan bahwa budaya memiliki tiga hal pokok yakni cita-cita, idealnya atau filosofinya, dan ada pelakunya atau organisasi yang mengejawantahkan, ada ekspresinya atau ubarampe yang menjadi sarana pengejawantahan/simbol. Semua ini nampak sekali dalam setiap upacara Metu-Manten-Mati.
Materi kedua disampaikan oleh Rm. Sindhunata, SJ dengan thema “Mistik dan Budaya Jawa”. Makalah yang disajikan berjudul “Matahari Terbit dari Barat”, sebuah hasil wawancara Romo Sindhunata dengan Ki Dalang Manteb Sudarsono.

Romo Sindhunata menyampaikan kisah perjalanan spiritual pribadi Rama Sindhunata sejak dia masih frater. Pada dasarnya laku orang Jawa umumnya adalah “nganut neting rasa” atau mengikuti kata hatinya, perasaanya. Dalam sesi itu, Rama Sindhunata bercerita tentang ia ngangsu kawruh dan laku kemana saja, berguru kepada siapa saja seperti wong ampuh, antara lain, Ki Dalang Joyo Kandar dari Borobudur, juga memperoleh beberapa sipat kandel dan “Aji Jono Woyo” yang berkhasiat sukses menggarong, tetapi tidak pernah ditamatkan oleh Rama Sindhu.
Dari hal-hal yang disampaikan oleh Rama Sindhunata, ada beberapa bagian yang dapat dijadikan pelajaran, yakni:

Pertama, “Apabila agama meninggalkan budaya, itu adalah fatal”, contohnya adalah perumpamaan orang yang menanamkan iman kepada seseorang bagai menanam tiang listrik beton dengan semen. Hasilnya tiang dapat berdiri kokoh tetapi gersang dan panas. Lain halnya dengan orang menanam pohon yang kecil, selalu didhangir, dienik-enik, sehingga tumbuh rimbun, menyegarkan, serta bisa untuk berteduh setiap orang yang membutuhkan.

Kedua,Ada perbedaan hasil dan sikap dalam memandang budaya Jawa, antara orang yang terlibat dengan budaya Jawa secara tiba tiba dengan mereka yang melalui proses panjang dalam hidupnya.

Ketiga, Iman itu sesuatu yang tidak pernah jelas, bagai orang berjalan dalam kegelapan, selalu muk-mukan, inilah yang disebut sebuah misteri. Hendaknya, dalam hidup ini, kita selalu mengikuti “Ngelmu kodhok, teko-teko ndodhok”, yang artinya selalu rendah hati, andhap ashor. Apabila dia adalah “kodok ijo” (lambang orang yang baik), dia pun siap ditangkap untuk disembelih dan disantap, tetapi kalau dia adalah “kodok mbengkerok”, pasti hanya dihindari orang/ditendang karena dinilai tidak berguna.

Keempat, sampai batas ketidakberdayaan manusia, yakinlah pasti Gusti akan mengambil alih persoalan dan mengabulkan permohonan, menyelamatkan dari jurang kesengsaraan! Dalam beriman itu kita harus selalu baru, tumbuh berkembang. Maka jangan mudah merasa puas apabila sudah memiliki gereja, mempunyai panduan ibadat, mempunyai liturgi, dan mempunyai Rama, dsb.

Kelima,pada saat laku untuk neges kersa Dalem lan ngemban dhawuh Dalem jangan mengisolir diri, jangan merasa puas dan merasa diri paling benar.

Keenam, hendaknya selalu berani untuk tetap beriman pada Kristus walau dalam laku hidupnya tidak memperoleh apa-apa atau bahkan tidak memperoleh tanda-tanda apapun di dalam hidupnya.

Kedelapan, bahwa hidup mistiklah yang akan menentukan hidup Gereja ke depan untuk tetap jaya, bukan karena yang lain-lain.

Kesembilan, pengalaman hidup fantastis sangat berguna untuk menggenapi lelakoning urip. Namun, terkadang kita tidak memperoleh materi apa-apa dalam hidup beriman, hidup kita tetap gelap, tidak jelas. Itulah sebuah misteri. Namun, walaupun demikian, semuanya tetap indah. Masihkah beriman, walaupun pada saat tidak ada tanda-tanda yang membuat jelas?

Senin, 05 Oktober 2009

Tebat V

Tanggal 14-15 Oktober 2001 di Padepokan Kopi Eva Bedono, Ambarawa. Acara ini diisi dengan sharing dari paguyuban-paguyuban: Manunggal Sejati dari Semarang, Kebatinan Santo Yohanes dari Magelang , Kawatan dari Solo, Bantala Aji dari Bantul, Kawula Ngayogyakarto, Tri Suci dari Pringwulung Yogyakarta, Paguyuban Tri Luhur dari Keuskupan Purwokerto. Dalam Tebat ini juga hadir Bapak Uskup Agung Keuskupan Agung Semarang, Mgr. I. Suharyo untuk memberikan peneguhan. Kalau dalam Tebat biasanya diikuti antara 100–175 orang peserta, kali ini terjadi lonjakan fantastis, tercatat hadir 319 orang, dari Kevikepan Semarang 184, Kedu 17, Surakarta 44, DIY 48, dari luar KAS 26 orang peserta. Bukan main ya? Sembah nuwun Gusti, sembah nuwun Monsinyur!


Tebat IV

Tanggal 30 September -1 Oktober 2000 di Padepokan Kopi Eva Bedono, Ambarawa. Tema: “Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryamentaram”. Dibabar oleh Rama Kuntara Wiryamartana, SJ, yang mengurai lewat denah pegangan guna pemahaman, yaitu gambar “Kramadangsa” : Siapa aku ini? Ada 4 dimensi, yakni 1. Juru Catat 2. Catatan-Catatan 3.Kramadangsa 4. Manungsa tanpa ciri yang merupakan gambaran jiwa sehat 100 persen.


Jumat, 02 Oktober 2009

Teologi Katolik dan Semangat Perdamaian

Oleh Aloys Budi Purnomo Pr, M.Hum


Saya dengan sengaja tidak menggunakan kata “kedamaian” sebagaimana dipakai panitia. Secara normatif universal, yang sering dipakai bukan “kedamaian” melainkan “perdamaian” (peace). “Kedamaian” lebih menunjuk pada sifat hati yang tenang dan teduh secara pasif-personal, sedangkan “perdamaian” lebih dinamis menunjuk pada perjuangan terkait dengan keadilan dan lebih bersifat aktif-sosial. Maka, untuk seterusnya, dalam refleksi ini, kata “perdamaian” yang saya pergunakan sebagai ganti “kedamaian”.
Adalah seorang suci, bernama Fransiskus Asisi (1182-1226). Seorang seorang suci, ia juga menjadi tokoh perdamaian dalam Gereja Katolik. Ia mengunjungi Sultan Almalik-al-Kalim di Mesir pada tahun 1219. Ia dikenal sebagai pelindung alam terhadap pencemaran dan dihormati banyak orang bukan-Katolik sebagai pembawa perdamaian. Ia mewariskan kalimat yang sangat terkenal: Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai. Kalimat itu menjadi inspirasi doa perdamaian yang sangat indah dan masih didoakan jutaan orang sedunia dalam berbagai bahasa.
Dalam bahasa Indonesia, doa perdamaian yang berinspirasikan warisan kalimat damai Santo Fransiskus Asisi berbunyi demikian: Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai, bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa cinta kasih. Bila terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa pengampunan. Bila terjadi perselisihan, jadikanlah aku pembawa kerukunan. Bila terjadi kebimbangan, jadikanlah aku pembawa kepastian. Bila terjadi kesesatan, jadikanlah aku pembawa kebenaran. Bila terjadi kecemasan, jadikanlah aku pembawa harapan. Bila terjadi kesedihan, jadikanlah aku sumber kegembiraan. Bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang. Tuhan, semoga aku lebih inhin menghibur daripada dihibur, memahami daripada dipahami, mencintai daripada dicintai; sebab dengan memberi kami menerima, dengan mengampuni kami diampuni, dengan mati suci kami bangkit lagi untuk hidup selama-lamanya. Amin.
Dalam semangat dan dilandasi doa itulah, refleksi berikut ini saya buat, semoga berguna bagi semua pihak yang berkepentingan dan kian terwujudlah perdamaian untuk umat manusia seluruh muka bumi ini. Selamat menikmati sajian ini.

PENDAHULUAN
Secara fundamental, teologi dalam perspektif agama (Gereja) Katolik adalah ilmu (tentang) iman. Iman yang dipertanggungjawabkan dengan akal budi (fides querens intelectum), itulah inti teologi. Maka, setiap pertanggungjawaban iman dalam kehidupan merupakan tindakan berteologi. Namun, dalam teologi, iman yang dipertanggungjawabkan bukanlah iman individual (perseorangan) melainkan iman yang dihayati dan diamalkan bersama dalam kehidupan. Oleh karena itu, dalam pandangan Gereja Katolik, teologi selalu mempunyai hubungan dengan Gereja sebagai persekutuan jemaat/umat beriman. Teologi tidak pernah lepas dari kehidupan umat. Karenanya, bahasan mengenai teologi Katolik dan semangat perdamaian selalu tidak lepas dari yang disebut penghayatan dan pengamalan iman dalam konteks hidup sehari-hari.
Pada bagian ini, akan saya uraikan serba singkat pengertian teologi Katolik dan bagaimana teologi itu dikembangkan dalam semangat inklusif. Karenanya, teologi Katolik berkembang menjadi teologi yang terbuka, bukan teologi yang kaku dan rigid dan membelenggu. Pandangan teologi Katolik bergerak sesuai dengan situasi zaman yang dilewatinya, juga sesuai dengan konteks tempat yang dilibatinya.

Pengertian Teologi Katolik
Dalam pandangan Gereja Katolik, teologi selalu terkait dengan komunitas atau persekutuan hidup beriman. Maka, fungsi teologi Katolik adalah untuk menghayati iman dan menjadi saksi Injil Yesus Kristus dalam situasi masyarakat konkret. Karenanya, di samping persekutuan hidup beriman, masih ada medan teologi Katolik, yakni persekutuan hidup bermasyarakat.
Inilah yang sudah disadari dalam Konsili Vatikan II (KV II, 1962-1965) melalui Gaudium et Spes (GS), Konstitusi Pastoral mengenai Gereja dalam Dunia Dewasa Ini. Dalam GS sudah disadari bahwa Allah menyapa, menjumpai dan memanggil Gereja Katolik berada dalam dunia dan sejarahnya, dalam kenyataan hidup yang nyata. Dunia dan sejarahnya adalah tempat Allah hadir secara sungguh-sungguh. Dunia dan sejarahnya adalah tempat Allah berbicara kepada umat-Nya. Karenanya, dunia dan sejarahnya merupakan locus theologicus buat teologi Katolik.
Dengan sangat jelas, GS 1 merumuskan, ”Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasa manusia dewasa ini, terutama yang miskin dan terlantar, adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan murid-murid Kristus pula.” Dalam arti itu, maka Gereja tampil di dunia dan masyarakat sebagai tanda dan sarana keselamatan. Gereja hadir sebagai sakramen keselamatan bagi dunia dan masyarakatnya.
Maka, pengertian teologi Katolik adalah pertanggungjawaban penghayatan iman umat Katolik di tengah-tengah kehidupan yang konkret. Pertanggungjawaban itu bisa bersifat akademis, di kampus universitas. Tetapi, pertanggungjawaban itu terutama dalam konteks kehidupan yang nyata dengan segala persoalan yang ada. Dasar pertanggungjawabannya adalah iman akan Yesus Kristus yang telah menyelamatkan semua orang, tanpa pandang bulu agama, suku, rasa, ideologi, kebudayaan dan latar belakang apa pun. St. Paulus merumuskan teologi Katolik saat berkata, ”kasih karunia Allah yang menyelamatkan semua manusia sudah nyata” (Titus 2:11). Allah menyelamatkan semua orang dan semua manusia, maka Gereja Katolik harus sungguh menjadi sakramen keselamatan dengan perkataan dan perbuatan, melalui pergulatan dan usaha pembebasan manusia, pembebasan sepenuhnya dan seutuhnya bagi semua orang, terutama mereka yang miskin dan terlantar.

Yesus Kristus sebagai Pusat
Teologi Katolik dan semangat perdamaian dilandaskan dan berpusat pada kehidupan Yesus Kristus sebagai tanda damai-sejahtera dari Allah Bapa. Pada prinsipnya, seluruh teologi Katolik tidak bisa dilepaskan dari pribadi Yesus Kristus. Paus Benediktus XVI menegaskan bahwa Yesus Kristus adalah the basic form of the Christological profession of faith , dan dengan demikian menjadai landasan setiap pemikiran teologis Katolik.
Teologi tidak bisa dilepaskan dari pribadi Yesus Kristus, sebab secara harafiah, teologi sendiri berarti ilmu atau ajaran (dari bahasa Yunani logia-logos) tentang Tuhan (theos). Maka, teologi merupakan refleksi tentang iman kepada Tuhan (Yesus Kristus) sebagai jawaban atas wahyu dari Allah dalam terang Roh Kudus. Pokok teologi adalah Allah yang mewahyukan diri dalam Yesus Kristus oleh kuasa Roh Kudus. Titik temu antara Allah dan Roh Kudus adalah Yesus Kristus. Dengan pokok utama itu, tujuan teologi adalah mengerti isi iman dengan pertanggungjawaban nalar sehingga memperdalam penghayatan iman (bdk. 1 Petrus 3:15).
Maka, teologi berpusat pada pribadi dan hidup Yesus Kristus dengan seluruh karya, pelayanan, pengajaran dan kehidupan-Nya yang memuncak pada sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya. Pribadi Yesus Kristus dan segala peristiwa yang menyertai-Nya, itulah pusat teologi Katolik. Meminjam rumusan St. Agustinus, teologi Katolik adalah ratio sive sermo de divinitate, yakni pemikiran atau ajaran tentang ke-Tuhan-anan, sehingga seperti dikatakan oleh St. Anselmus, umat beriman menghayati credo ut intelligam, beriman supaya mengerti, karena fides supposit rationem, iman mengandaikan akal budi.
Dalam konteks semangat perdamaian, dalam Yesus Kristuslah, semangat perdamaian itu memang sudah terbukti, terwujud dan memuncak. Yesus Kristuslah yang dengan darah-Nya, melalui sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya, memperdamaikan dunia dengan Allah. Yesus bersabda, ”Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Matius 5:9). Yesus sendiri telah membawa damai itu, karena Dialah Putera Allah yang Mahatinggi (Lukas 1:32). Itulah sebabnya, gema lagu pujia para malaikat surgawi saat mengiringi warta kelahiran-Nya ke dunia berbunyi, ”Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Lukas 2:34). Siapakah yang pada akhirnya disebut sebagai ”yang berkenan kepada-Nya?”, tidak lain adalah Yesus Kristus sendiri. Itulah sebabnya saat Yesus Kristus dipermandikan di sungai Yordan terdengarlah suara dari surga, ”Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan” (Lukas 3:22b).

Teologi yang Terbuka
Dalam dunia pendidikan umum, kita mengenal Ivan Illich yang menerbitkan buku Deschooling Society. Ivan Illich bercita-cita membangun pendidikan umum dengan membebaskan anak-anak dari struktur baku dan kaku sekolah. Atas dasar pemikiran Ivan Illich, Tom Jacobs, SJ mengusulkan perlunya teologi yang tidak bersifat akademis, yakni teologi yang “bebas dari sekolah” .
Itulah yang ingin saya sebut sebagai deschooling theology. Deschooling theology tentu saja tidak pernah lepas dari basik akademis. Namun, ia tidak melulu teknis-akademis. Maka boleh dibilang, deschoolong theology dapat disebut teologi yang dikembangkan di luar civitas akademika, atau teologi non-akademis. Ia lebih banyak berangkat dari konteks kehidupan. Justru konteks kehidupan menjadi medan pengembangan teologi non-akademis. Maka, teologi pun menjadi lebih terbuka!
Dalam sejarah Gereja Katolik, pengembangan teologi non-akademis yang terbuka sebetulnya merupakan buah dari gebrakan Konsili Vatikan II (KV II, 1962-1965). Gereja Katolik menjadi sedemikian terbuka dan mengemukakan pandangan-pandangan yang radikal progresif. Sebut saja, misalnya, paradigma yang terungkap dalam dokumen yang disebut Nostra Aetate, Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama bukan Kristiani. Dalam Nostra Aetate (NA) dengan terang dan jelas dirumuskan pandangan radikal progresif itu, “Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang.” (NA 2, alenia 2)).
Lebih lanjut, Gereja Katolik menegaskan, “maka Gereja mendorong para puteri-puteranya, supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agama-agama lain, sambil memberi kesaksian tentang iman serta perihidup Kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta-kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya, yang terdapat pada mereka!” (NA 2, alenia 3).
Pernyataan tersebut sungguh radikal-progresif sebab hingga KV II, paradigma yang dikemukakan adalah paradigma triumpalistik, Gereja merasa benar dan selamat sendiri, sampai-sampai muncul ungkapan “Di luar Gereja tidak ada keselamatan!” Karenanya, NA menjadi bukti radikalitas progresif sikap Gereja Katolik terhadap agama-agama lain, terhadap dunia, terhadap kebudayaan yang ada dalam kehidupan.
Apa alasannya, sehingga KV II berani sedemikian radikal progresif membongkar paradigma baru itu? Alasan utama dipertanggungjawabkan oleh Paus Yohanes XXIII, yang mempunyai prakarsa mengundang para Uskup sedunia untuk menyelenggarakan sidang KV II. Beliau mengharapkan bahwa KV II menjadi kesempatan bagi Gereja semesta untuk mengevaluasi kehidupan serta pelaksanaan misinya. Dalam rangka itu, tiga sasaran utama hendak dicapai, yakni, pertama, pembaharuan rohani dalam terang Injil. Kedua, penyesuaian dengan masa sekarang (aggiornamento) untuk menanggapi tantangan-tantangan zaman modern. Ketiga, pemulihan persekutuan penuh antara segenap umat Kristiani.
Dengan alasan itulah maka lahirlah suatu deschooling theology yang terbuka. Gereja pun mengembangkan gagasa-gagasan yang cukup terbuka secara teologis mengenai jatidirinya, mengenai tugas perutusannya dan mengenai pihak-pihak lain (baca: agama dan kebudayaan lain). Keterbukaan yang dibangun oleh Gereja Katolik melalui KV II membawa dampak dan pengaruhnya juga terhadap teologi.
Salah satu harapan untuk mengembangkan teologi Katolik yang terbuka dikumandangkan oleh Paus Yohanes Paulus II. Menurut Paus Yohanes Paulus II, teologi tidak dapat membatasi diri pada tugas menjaga khazanah ajaran, yang diwarisi dari zaman lampau. Sebaliknya, teologi harus mencari pemahaman dan pengungkapan iman yang memungkinkan penerimaannya dalam cara berpikir dan berbicara zaman sekarang. Usaha untuk menemukan pemahaman baru bagi pewartaan Kristiani dalam suatu dialektik antara kontinyuitas serta inovasi dan sebaliknya harus menjadi kriteria yang membimbing refleksi teologis.
Salah satu contoh konkret bagaimana teologi yang terbuka dikembangkan oleh Paus Yohanes Paulus II adalah saat secara mengejutkan (dunia) beliau berinisiatif untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf atas sikap Gereja Katolik yang pernah menghukum Galileo Galilei. Memang, kesalahan dalam kasus Galileo Galilei sudah lama disadari dan dibentuk tim khusus untuk meninjau ulang kasus tersebut sejak tahun 1981. Namun, baru pada tanggal 31 Oktober 1992, Paus Yohanes Paulus II secara terbuka mengakui kesalahan itu.

TEOLOGI DAN SEMANGAT PERDAMAIAN
Ada banyak kesempatan dan perkembangan yang dilalui Gereja Katolik dalam mengembangkan teologi dan semangat perdamaian. Pada bagian ini akan saya sebutkan beberapa pokok penting yang sangat berpengaruh dalam teologi Katolik mengenai semangat dan cita-cita perdamaian yang hendak diwujudkan.

“Gaudium et Spes”
Dalam pandangan Gereja Katolik, teologi dan semangat perdamaian, secara pastoral dikupas panjang lebar dalam Gaudium et Spes (GS) pada bab 5, no. 77-82 dengan sub judul “Usaha demi Perdamaian dan Pembentukan Persekutuan Bangsa-Bangsa”. Latar belakang perumusan pastoral adalah tanda-tanda zaman bahwa dunia dilanda kesengsaraan dan kesukaran akibat perang yang sedang berkecamuk maupun karena ancaman perang yang selalu gampang terjadi di mana pun dan kapan pun (GS 77).
Karenanya, teologi Katolik secara fundamental sangat menjunjung tinggi semangat perdamaian. Menurut GS 78, damai tidak melulu berarti tidak ada perang. Damai juga tidak pula dapat diartikan sekedar menjaga keseimbangan saja antara kekuatan-kekuatan yang berlawanan. Demikian juga damai tidak terwujud oleh pengembangan kekuasaan yang diktator.
Perdamaian pada hakikatnya merupakan buah karya keadilan. Karenanya, perdamaian selalu erat terkait dengan keadilan. Allah, Sang Pencipta semesta alam, sejak awal mula menghendaki agar masyarakat manusia hidup dalam perdamaian dan keadilan. Apa yang telah ditetapkan Allah harus terus-menerus diupayakan oleh manusia, sehingga perdamaian kian hari kian terwujud dalam kehidupan.
Hakikat perdamaian erat terkait pula dengan kesejahteraan umum. Maka, usaha menciptakan perdamaian menuntut supaya setiap orang tiada hentinya mengendalikan nafsu-nafsunya, dan memerlukan kewaspadaan pihak penguasa yang berwewenang berlaku adil. Perdamaian di dunia tidak akan pernah tercapai apabila kesejahteraan pribadi-pribadi tidak dijamin. Dalam arti ini, maka kerelaan untuk saling berbagi kekayaan jiwa maupun daya cipta adalah penting. Dengannya, kesungguhan menghayati persaudaraan secara nyata merupakan syarat mutlak terwujudnya perdamaian. Dengan demikian, perdamaian merupakan perwujudan cinta kasih dan keadilan.
Dalam pandangan teologi Katolik, khususnya dalam perspektif teologi Gaudium et Spes, ”damai di dunia ini, yang lahir dari cinta kasih terhadap sesama, merupakan cermin dan buah damai Kristus, yang berasal dari Allah Bapa” (GS 78). Dasarnya adalah peristiwa salib. Yesus Kristus, Putera Allah, telah mendampaikan semua orang dengan Allah melalui salib-Nya. Karenanya, semangat perdamaian dalam teologi Katolik tidak pernah bisa dilepaskan dari peristiwa salib Kristus. Umat Kristiani dipanggil dan diutus untuk memohon dan mewujudkan perdamaian di dunia.

Mencegah dan Menghindari Perang
Bagi teologi Katolik, perang adalah ancaman serius terhadap tegak dan terwujudnya perdamaian. Karenanya, semangat perdamaian mesti diwujudkan dalam sikap tegas mencegah dan menghindari perang. Gereja Katolik menyadari, sungguhpun perang-perang terakhir bagi dunia telah mendatangkan kerugian sangat besar, baik secara moral maupun material, namun bagi bangsa tertentu, perang rupanya masih terus menjadi kenyataan. Perang bahkan digelar dengan mengerahkan segala macam senjata teknologi tinggi dengan keganasan dan pertempuran yang tak beradab. Perang belumlah enyah di hidup manusia (GS 79).
Perang masih menjadi ancaman. Kengerian dan kejahatan perang bahkan meningkat secara luar biasa akibat bertambahnya senjata-senjata teknologi tinggi yang membawa dampak kehancuran yang lebih dahsyat untuk manusia dan alam semesta. Paus Yohanes XXIII sangat menentang penggunaan kekuatan senjata (bom) atom yang membahayakan kehidupan. Secara teologis ditegaskan dalam teologi Katolik bahwa semua kegiatan perang yang menimbulkan kehancuran merupakan tindak kejahatan melawan Allah dan manusia yang harus dikecam dengan keras (GS 80). Perang berlawanan dengan semangat perdamaian, maka perang dalam bentuk apa pun harus dicegah dan dihindari.
Untuk mencegah dan menghindari perang, maka kita pun harus menghilangkan dan mengubur dalam-dalam permusuhan, penghinaan, sikap curiga, kebencian rasial dan ideologi yang memecah-belah manusia serta menimbulkan pertentangan. ”Tidak ada gunanya mereka bersusah-payah membangun perdamaian, selama (masih ada) permusuhan, penghinaan, sikap curiga, kebencian rasial dan ideologi yang memecah-belah rakyat dan menimbulkan pertentangan” (GS 82).


”Pacem in Terris”

Merefleksikan teologi Katolik dan semangat perdamaian tidaklah lengkap bila tidak menyinggung Pacem in Terris. Teologi Katolik tentang (semangat) perdamaian sangat eksplisit dicanangkan oleh Paus Yohanes XXIII dalam Ensikliknya yang berjudul Pacem in Terris (PT, Perdamaian [di] Dunia). Ensiklik ini berisi tentang usaha mencapai perdamaian semesta dalam kebenaran, keadilan, cinta kasih dan kebebasan. Ditegaskan bahwa pedamaian di dunia di sepanjang zaman didambakan dan diusahakan oleh umat manusia. Akan tetapi, perdamaian tidak akan pernah tercapai, tidak akan pernah terjamin, apabila tata dunia yang ditetapkan Allah tidak dipatuhi oleh manusia dengan seksama (PT 1).
Secara mendasar, dalam Pacem in Terris Paus Yohanes XXIII mengemukakan bahwa masalah perdamaian bukan hanya perkara tidak ada perang, melainkan erat terkait dengan keadilan. Apabila masalah kemiskinan dan ketidakadilan tidak diatasi, mustahillah dunia ini dapat mengalami hidup secara damai.
Atas dasar hukum kodrat yang tertulis dalam hati manusia, Paus Yohanes XXIII memikirkan dan mengembangkan tatanan moral untuk menuntun kehidupan manusia menuju perdamaian dalam empat segmen, yakni ketertiban antara manusia, hubungan antara individu dan negara, hubungan antarnegara dan komunitas dunia. Secara progresif, Paus Yohanes XXIII menempatkan hak-hak asasi manusia sebagai yang utama dalam mewujudkan perdamaian di dunia. Beliau juga membuat distingsi antara ajaran ideologi yang palsu dan gerakan-gerakan sejati yang menanggapi masalah sosial dan ekonomi.
Paus Yohanes XXIII menegaskan, ”tidak pernah dunia akan menjadi kediaman damai, selama damai belum menetap di hati semua dan setiap orang, selama tiap orang belum memelihara dalam dirinya tata-tertib yang oleh Allah dikehendaki supaya dilestarikan.” (PT 165). Pada bagian terakhir beliau berharap dan berdoa, ”Semoga Kristus mengobarkan keinginan semua orang untuk mendobrak palang-perintang yang menceraikan mereka, untuk meneguhkan ikatan-ikatan cinta kasih timbal-balik, untuk belajar saling memahami, dan mengampuni siapa pun yang bersalah kepada mereka. Supaya turunlah damai atas kawanan yang dipercayakan kepada penggembalaan anda, demi kesejahteraan khas mereka yang paling jelata dan paling membutuhkan bantuan serta pembelaan...” (PT 171, 172).

Teologi Pemerdekaan
Secara umum-akademis dikenal dalam teologi Katolik salah satu bentuk teologi kontekstual yang disebut teologi pembebasan. Paradigma lama dan salah kaprah sering memandang teologi pembebasan sebagai teologi yang sesat, karena teologi pembebasan dianggap terlalu mengedepankan aksi kekerasan. Sesungguhnya, tidaklah demikian. Bahkan pada rezim Orde Baru, pembahasan dan pembelajaran tentang teologi pembebasan pun sempat kena cekal! Dilarang, karena bisa menimbulkan bahaya provokatif-destruktif.
Sesungguhnya, teologi pembebasan justru berpangkal pada keprihatinan dan gerakan pemerdekaan di Indonesia maupun cita-cita kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial. Teologi pembebasan bergerak dalam perspektif rakyat miskin dan tertindas yang mendambakan pemerdekaan. Maka orientasinya dalah pembebasan rakyat miskin dan tertindas agar memperoleh keadilan dan kesejahteraan. Jadi orientasinya adalah orientasi kerakyatan. Karenanya, tidak salah bahwa teologi pembebasan dalam konteks Indonesia disebut teologi pemerdekaan.
Di tilik dari sejarah, teologi pembebasan berakar pada situasi sosial politik ekonomi di Amerika Latin. Muncul sudah sejak abad ke-16 sebagai teologi kenabian melawan penjajahan. Pelontar gagasan tentang teologi ini adalah Antonio de Montesinos dan Bartholome(us) de las Casas. Berakar dari teologi kenabian ini, muncullah teologi pembebasan pada tahun 1960an sebagai sebuah praksis pastoral pembebasan. Seperti sudah disinggung, arah dan orientasi teologi pembebasan adalah pemerdekaan kaum jelata dan tertindas oleh kekuasaan yang korup dan membelenggu. Karenanya, teologi pembebasan selalu berhadapan dengan “struktur kekuasaan” yang biasanya berwajah kekerasan struktural pula terhadap rakyat. Cita-citanya adalah mewujudkan perdamaian bagi rakyat dalam bentuk konkret mengenyam keadilan dan kesejahteraan.
Itulah sebabnya, dalam konteks teologi Katolik dan semangat perdamaian, teologi pembebasan atau teologi pemerdekaan sungguh sejalan seiring tidak berlawanan. Dapat ditegaskan bahwa teologi pemerdekaan adalah bentuk konkret gerakan teologi yang memang bermuara pada terwujudnya perdamaian, terutama bagi kaum papa jelata miskin tertindas.
Secara kontekstual, teologi semacam ini telah dikembangkan oleh para misionaris di Indonesia, misalnya oleh Romo van Lith. Romo van Lith telah mengembangkan argumentasi teologis persaudaraan semua orang untuk membela hak-hak orang pribumi melawah penjajah dan mendukung gerakan kemerdekaan. Secara berani, van Lith berargumentasi: “Dalam Gereja Kristus tidak ada orang Yahudi, tidak ada orang Romawi, tidak ada orang Yunani. Jadi tidak ada Belanda, tidak ada Jawa. Tata hidup (persaudaraan) yang sejak semula ada dalam Gereja sekarang berlaku juga di luar Gereja: Belanda (totok), Indo dan Jawa mulai saat ini akan hidup rukun sebagai saudara di dalam satu rumah.”
Dari kutipan tersebut kita mengalami dan merasakan betapa teologi pembebasan atau teologi pemerdekaan memang mempunyai cita-cita untuk mewujudkan perdamaian di dalam kehidupan bersama. Ada inklusivitas di tengah pluralitas. Ada sikap saling menghormati dan menjunjung tinggi semangat persaudaraan sebagai bentuk konkret hidup damai satu terhadap yang lain.

Tanggungjawab Iman Berdimensi Sosial
Semangat perdamaian dalam perspektif teologi Katolik merupakan bentuk tanggungjawab iman yang berdimensi sosial. Iman bukan hanya soal menjawab wahyu Allah secara individual, melainkan bergerak dalam kebersamaan. Iman bukan soal gerak-naik takwa kepada Allah secara vertikal, melainkan dihayati secara horizontal gerak-menyamping kepada sesama. Tentu saja, tanggungjawab ini bisa dilaksanakan secara individual, tetapi juga secara struktural-institusional. Seorang beriman bisa mewujudkan semangat perdamaian secara pribadi sebagai seorang manusia dengan sesamanya, tetapi juga secara serentak bersama umat beriman lain. Itulah sebabnya, tindakan tanggunjawab itu disebut tanggungjawab iman berdimensi sosial.
Gerak individual memang lebih bersifat personal. Sementara tanggungjawab iman yang berdimensi sosial mengandaikan adanya suatu gerakan yang bersifat struktural. Secara otomatis hal ini terjadi mengingat inti perjuangan demi mewujudkan perdamaian secara fundamental kerap kali berhadapan dengan struktur sosial yang korup dan tidak adil. Itulah yang dalam teologi Katolik disebut sebagai tatanan yang berdosa secara struktural, sebab struktur-struktur yang korup selalu tercemar oleh ”dosa sosial”.
Paus Yohanes Paulus II dengan sangat baik menjelaskan arti ”dosa sosial” dalam amanat apostoliknya yang berjudul Reconciliatio et Paenitentia (2 Desember 1984). Menurut Paus Yohanes Paulus II, dosa sosial memiliki tiga arti. Pertama, dosa sosial menunjuk pada pengaruh sosial dari dosa. Setiap tindakan berdosa yang dilakukan secara pribadi – bahkan ketika orang lain tidak tahu apa yang dilakukan oleh seseorang – selalu membawa dampak pengaruh pada orang lain sebagai akibat solidaritas manusiawi. Kedua, dosa sosial dapat diartikan sebagai dosa-dosa yang melawan sesama manusia terutama dosa yang melawan keadilan. Korupsi misalnya, masuk dalam kategori dosa sosial. Ketiga, betapa pun, dosa sosial merupakan kejahatan melawan Allah, sebab dosa sosial selalu berlawanan dengan rencana Allah yang menghendaki agar keadilan dan kesejahteraan dialami oleh semakin banyak orang, bukan hanya oleh individu atau kelompok.
Dosa sosial mewarnai dan merusak struktur-struktur kehidupan masyarakat. Karenanya, dosa sosial mewajah dalam segala macam struktur yang korup dan membuat struktur-struktur berdosa (sinful structures). Dalam struktur-struktur berdosa, segala tindakan berdosa dianggap wajar dan lazim. Kita bisa mendeteksi adanya struktur berdosa dalam kasus-kasus korupsi, kolusi dan nepotisme. Suap-menyuap manifestasi korupsi dianggap lazim dan wajar, padahal sesungguhnya, itu merupakan dosa dan bagian dari struktur berdosa. Pribadi-pribadi yang terlibat di dalamnya menganggap bahwa korupsi merupakan kewajaran, kelaziman, dan bahkan disebut ”budaya” karena sudah lumrah terjadi. Namun, struktur inilah yang ujung-ujungnya berbuah pada ketidakadilan, dan pada akhirnya membuat perdamaian jauh dari jangkauan.
Masih menurut Paus Yohanes Paulus II, dalam Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (SRS), struktur dosa biasasa berakad di dalam dosa pribadi, dan dengan demikian selalu dikaitkan dengan tindakan-tindakan konkret individu-individu yang menciptakan struktur-struktur ini, memperkuat dan membuat struktur-struktur itu sulit dihilangkan. Dengan demikian struktur-struktur itu bertumbuh menjadi lebih kuat, meluas dan menjadi sumber dosa-dosa lain, dan dengan demikian mempengaruhi tingkah laku orang-orang (lain) (SRS 36).
Di tengah lingkaran struktur berdosa, kian sulitlah mengembangkan keutamaan mewujudkan perdamaian dalam kehidupan. Karenanya, tanggungjawab iman berdimensi sosial mendapat tantangan tersendiri di dalamnya. Keutamaan sosial pun kian sulit diwujudkan. Itulah akibat buruk dari dosa sosial, dosa struktural dalam struktur-struktur (institusional yang) berdosa.
Menarik sekali mempertimbangkan usulan Gregory Baum tentang dosa sosial. Ia menyebut empat level dosa sosial. Pertama, dosa sosial terjelma dalam level ketidakadilan dan arus-arus dehumanisasi yang terwujud dalam berbagai macam institusi sosial, politik, ekonomi dan religius. Kedua, dosa sosial tampak dalam level simbol-simbol kultural-religius yang melegitimasikan dan mendesakkan situasi yang tidak adil dan korup. Ketiga, dosa sosial tampak pada kesadaran keliru yang tercipta oleh institusi-institusi dan ideologi-ideologi sedemikian rupa sehingga rakyat secara kolektif terlibat dalam tindakan-tindakan yang bersifat destruktif. Keempat, dosa sosial terungkap dalam keputusan kolektif yang lahir dari kesadaran yang telah rusak dan menyimpang, yang menambah ketidakadilan dalam masyarakat dan kian mengintensifkan arus dehumanisasi.
Justru karena itulah, maka tanggungjawab iman tidak melulu bersifat individual, melainkan memiliki dimensi sosial. Tanggungjawab iman yang berdimensi sosial terungkap dalam praksis solidaritas. Itulah sebabnya, Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa struktur berdosa harus dihadapi dengan solidaritas, yakni tekad yang kukuh dan bertahan hendak mengabdikan diri kepada kebaikan bersama. Kebaikan bersama adalah kebaikan demi sekalian orang dan setiap individu. Setiap orang memiliki tanggungjawab sosial dalam kehidupan bersama.
Dosa sosial sebagai termanifestasi dalam struktur-struktur berdosa juga mesti dihadapi dengan pertobatan sosial. Memang, pertobatan sosial mengandaikan pertobatan individual. Namun, pertobatan sosial bukan perkara yang gampang dilakukan sebab selalu berhadapan dengan kendala kekuasaan. Pertobatan sosial – dalam perspektif kultur Jawa tampak dalam upaya mengutamakan harmoni daripada konflik. Secara teologis, harmoni menjadi langkah awal untuk membangun perdamaian dalam masyarakat. Karenanya, kontrol sosial untuk mewujudkan harmoni selalu diperlukan dan harus diupayakan bersama, terutama terkait dengan politik kekuasaan.

Hari, Pesan dan Doa Perdamaian
Adalah Paus Paulus VI, yang dalam Gereja Katolik mengusulkan agar semangat perdamaian selalu dibangun dan dipupuk secara bersama. Paus Paulus VI pun menetapkan bahwa setiap tanggal 1 Januari merupakan hari perdamaian sedunia. Itu sudah dilakukan sejak 1 Januari 1968. Tradisi ini dilanjutkan dengan setia oleh Paus Yohanes Paulus II yang menjadi promotor perdamaian secara ulung semasa hidupnya. Tradisi baik yang dimulai oleh Gereja Katolik sejak Paus Paulus VI kemudian diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menetapkan tanggal 1 Januari sebagai Hari Perdamaian Dunia, sejak 1 Januari 2000.
Paus Yohanes Paulus II secara konsisten menempatkan Hari, Doa dan Pesan Perdamaian semasa masa pontifikatnya sebagai Paus. Maka benar, dalam kehidupannya, Paus Yohanes Paulus II telah menjadi promotor perdamaian. Selain dalam komitmennya menentang perang (di Afganistan, Irak, dan tempat lain), perannya sebagai promotor perdamaian amat jelas tampak dalam komitmennya melanjutkan inisiatif pendahulunya, Paus Paulus VI, untuk mengembangkan Hari Perdamaian Sedunia (HPS).
Peran Paus sebagai promotor perdamaian tampak dalam konsistensinya menerbitkan "pesan perdamaian" pada HPS (World Day of Peace Message/WDPM), bukan saja bagi umat Katolik, tetapi bagi seluruh manusia sedunia, apa pun agamanya. Sebagaimana dicatat Giampaolo Crepaldi , pesan perdamaian selalu mengungkapkan considerable corpus of teaching concerning the promotion of peace in a relation to particularly timely social questions.
Dari tahun ke tahun , sejak menjabat Paus, Yohanes Paulus II terus menggunakan HPS sebagai kesempatan mempromosikan damai dalam berbagai konteks sosial aktual. Pesan perdamaian yang pertama misalnya, jelas menunjukkan karakternya sebagai promotor perdamaian. Beliau menegaskan, untuk menggapai perdamaian, ajarkanlah perdamaian. Kita harus menolak kekerasan dan mengajukan alternatif yang kokoh demi perdamaian dengan bahasa perdamaian, bukan bahasa kebencian. Bahasa perdamaian akan menciptakan ruang bagi perdamaian. Sebab, kita semua harus membongkar lingkaran kekekerasan (WDPM, 1979, untuk selanjutnya, tahun yang saya sebut dalam kurung selalu menunjuk pesan perdamaian yang disampaikan Paus pada HPS tahun bersangkutan).
Perdamaian harus ditegakkan sebab perdamaian adalah anugerah Allah yang dipercayakan kepada kita. Untuk itu kita harus secara aktif mempromosikan perdamaian di tengah kehidupan. "To become active in promoting peace, a special place must be given in educational programs to actual situations in which peace is under threat" (1982).
Salah satu cara mempromosikan perdamaian dengan menghargai tiap pribadi dalam kehidupan bersama. Jika menghendaki perdamaian dalam kehidupan, baiklah kita menghormati hak asasi tiap pribadi. Tiap pribadi memiliki kebebasan otentik yang harus dihormati (1991).
Promosi perdamaian pertama-tama dan terutama terjadi dalam keluarga. Keluargalah yang harus mulai membangun perdamaian secara manusiawi. Keluarga merupakan primary agent of a future of peace. To educate to peace, the parents must be people of peace, workers for peace" (1994).
Memang perdamaian merupakan tanggung jawab seluruh komponen masyarakat: orangtua, guru, politisi, penguasa, dan seluruh umat beriman. Namun, secara khusus, Paus menyebut kaum perempuan sebagai guru perdamaian bagi anak manusia di seluruh dunia (1995).
Hal penting lain yang menjadi perhatian Paus dalam mempromosikan perdamaian adalah dialog antarkebudayaan demi terwujudnya peradaban kasih dan perdamaian. Dialog hanya terjadi bila manusia antarbudaya saling menghormati perbedaan satu terhadap yang lain. Itulah tanggung jawab besar abad ini dalam mempromosikan perdamaian (2001).
Paus Yohanes Paulus bukan saja rajin menulis pesan perdamaian setiap tahunnya. Ia juga memulai sesuatu yang baru dan konkret untuk mengembangkan semangat perdamaian dengan menyelenggarakan doa bagi perdamaian. Doa untuk perdamaian itu diselenggarakan sejak tahun 1986 di kota Asisi, kota Fransiskus Asisi berasal. Doa untuk perdamaian bahkan diikuti oleh berbagai tokoh agama yang ada di dunia dan menjadi tradisi baru baik untuk Gereja maupun agama-agama di dunia ini.
Dalam semuanya itu, teologi Katolik dan semangat perdamaian kian menyatu dan mewajah dalam praksis hidup sehari-hari. Teologi Katolik dan semangat perdamaian bukan hanya menjadi suatu kajian akademis, melainkan menjadi praksis hidup sehari-hari. Dengan demikian, semangat perdamaian bukan saja menjadi suatu kerangka teoretik pengharapan, melainkan menjadi penghayatan yang dipraktikkan dalam kehidupan yang nyata, bahkan secara lintasagama.
Secara liturgis, doa perdamaian bahkan masuk dalam kerangka Doa Syukur Agung dalam Perayaan Ekaristi yang didoakan secara istimewa sebagai sebuah peristiwa keselamatan. Ungkapan doa perdamaian dalam Tata Perayaan Ekaristi Liturgi Gereja Katolik tampak dalam Doa Syukur Agung yang ke-6. Doa Syukur Agung tersebut bertemakan “Allah Pangkal Damai”. Kalimat doa prefasinya berbunyi: “… Meskipun umat manusia terpecah belah oleh pertengkaran dan perselisihan, kami mengalami pula bahwa Engkau senantiasa membangkitkan hasrat untuk berdamai. Karena dorongan Roh-Mu, orang-orang yang bermusuhan berdamai kembali, yang berlawanan berjabat tangan, dan bangsa-bangsa mencari jalan untuk menggalang persatuan. Berkat kuasa-Mu juga, cinta mengalahkan kebencian, pengampunan menaklukkan balas dendam, dan saling kasih mengenyahkan perselisihan.”
Dalam doa tersebut juga dimohon kepada Allah agar “memberikan Roh-Nya kepada kami agar Ia menjauhkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan perpecahan”. Dimohon juga “semoga Ia membuat Gereja-Mu menjadi tanda persatuan dan saranan perdamaian di antara bangsa-bangsa…”

Komisi Keadilan dan Perdamaian
Untuk kian mengakarkan teologi Katolik dan semangat perdamaian dalam tanah kehidupan konkret, maka dari Vatikan hingga Konferensi-Konferensi Waligereja Sedunia dan tingkat Keuskupan, dibentuklah satu komisi khusus, yakni Komisi Keadilan dan Perdamaian. Dengan demikian diharapkan cita-cita menegakkan keadilan dan mewujudkan perdamaian kian konkret dan tetap dalam koordinasi yang bersifat global.
Komisi ini secara khusus bertugas untuk kian memajukan dan mewujudkan keadilan dan perdamaian di tingkat akar rumput. Komisi ini bertugas mempelajari dan memajukan upaya perdamaian dunia berdasarkan doktrin dan ajaran sosial gereja. Disamping itu juga mengumpulkan informasi dan penyelidikan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan keadilan, perdamaian, termasuk penegakkan hak azasi manusia dan kebebasan beragama.
Di Indonesia, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) mulai secara khusus membentuk Komis Keadilan dan Perdamaian (Commission for Justice and Peace) sejak tahun 1982. Semula hanya disebut Sekretariat Justice and Peace, tetapi kemudian menjadi komisi tersendiri yang kian fokus untuk menangani keadilan dan perdamaian, baikan secara internal maupun secara eksternal. Sekretariat Justice and Peace diubah menjadi Komisi Keadilan dan Perdamaian KWI sejak tahun 1985.
Secara khusus komisi ini bertugas membantu para Uskup di Indonesia memperkenalkan dan mengembangkan dimensi keadilan dan perdamaian dalam terang iman Katolik kepada seluruh umat dan masyarakat. Melalui program pendidikan, komisi ini mendorong umat Katolik untuk menggali nilai-nilai keadilan dan perdamaian dalam Kitab Suci, melakukan refleksi atas situasi masyarakat, dan mencari jalan untuk memromosikan budaya adil dan damai sebagai alternatif bagi kenyataan yang tidak adil dan penuh kekerasan. Komisi ini juga melatih calon penanggungjawab pastoral keadilan dan perdamaian dan tenaga advokasi.
Harapannya, dengan kinerja yang kian fokus dan baik, maka Komisi Keadilan dan Perdamaian sungguh-sungguh dapat merepresentasikan teologi Katolik dan semangat perdamaian di tengah-tengah kehidupan yang konkret. Bahkan, sekarang ini, hampir setiap Keuskupan di seluruh Indonesia telah terbentuk Komis Keadilan dan Perdamaian di tingkat Keuskupan (Gereja Lokal).

PENUTUP
Mengakhiri refleksi ini, izinkanlah saya menampilkan kembali doa St. Fransiskus Asisi, guna memohon perdamaian dan agar kita baik secara pribadi maupun bersama-sama dapat menjadi tanda dan sarana perdamaian bagi sesama dan bagi dunia.
Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai, bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa cinta kasih. Bila terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa pengampunan. Bila terjadi perselisihan, jadikanlah aku pembawa kerukunan. Bila terjadi kebimbangan, jadikanlah aku pembawa kepastian. Bila terjadi kesesatan, jadikanlah aku pembawa kebenaran. Bila terjadi kecemasan, jadikanlah aku pembawa harapan. Bila terjadi kesedihan, jadikanlah aku sumber kegembiraan. Bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang. Tuhan, semoga aku lebih inhin menghibur daripada dihibur, memahami daripada dipahami, mencintai daripada dicintai; sebab dengan memberi kami menerima, dengan mengampuni kami diampuni, dengan mati suci kami bangkit lagi untuk hidup selama-lamanya. Amin.
Mari kita serukan doa perdamaian itu bukan dari puncak keangkuhan dan kesombongan kita, melainkan seperti yang dilantunkan pemazmur, ”dari jurang yang dalam aku berseru kepada-Mu, ya Tuhan! Tuhan, dengarkanlah suaraku! Biarlah telinga-Mu menaruh perhatian kepada suara permohonanku!” Ya, permohonan kita untuk perdamaian dunia!
Ya, kita berseru memohon perdamaian kepada Allah sendiri, dari jurang yang dalam! Bukan dari puncak keangkuhan dan kesombongan! Dari jurang yang dalam, yakni dari keberadaan kita sebagai manusia yang rapuh, ringkih dan berdosa, kita berseru kepada Tuhan untuk perdamaian.
Semoga kita pun dapat senantiasa mewujudkan (semangat) perdamaian dalam kehidupan kita sehari-hari! Tuhan memberkati!

DAFTAR PUSTAKA

Banawiratma, SJ, J.B. & J. Müller, SJ, Berteologi Sosial Lintas Ilmu, Yogyakarta:
Kanisius, 1995
Budi Purnomo Pr, Aloys, Jalan-Jalan Toleransi Menuju Kasih dan Keadilan, Kanisius,
Yogyakarta, 2002
Budi Purnomo Pr, Aloys, Paus Paulus II, Promotor Perdamaian, Jakarta: Kompas, 2003
Budi Purnomo Pr, Aloys, Membangun Teologi Inklusif-Pluralistik, Penerbit Buku
Kompas, Jakarta, 2003
Budi Purnomo Pr, Aloys, Iman dan Agama Yang Membumi, Yayasan Pustaka Nusatama,
Yogyakarta, 2005
Budi Purnomo Pr, Aloys, Rakyat (Bukan)Tumbal (Kekuasaan & Kekerasan), Penerbit
Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2007
Budi Susanto S.J., (ed.), Teologi dan Praksis Komunitas Post Modern, Yogyakarta:
Kanisius, 1994.
Curran, Charles E., Catholic Social Teaching, 1891-Present, Washington: Georgetown
University Press, 2007
Dokpen KWI, Konsili Vatikan II, terjemahan R. Hardawiryana, SJ, Jakarta: Obor, 1993
Giampaolog Crepaldi, Pontifical Council for Justice and Pease, Vatican: 2001
Gregory Baum, Theology and Society, New York: Paulist Press, 1987
Henri Nouwen, The Road to Peace: Writting on Peace & Justice, New York: Orbis
Books, 2004
Heuken SJ, A., Ensiklopedi Gereja Jilid V, Jakarta: Cipta Loka Caraka, 2005
John Paul II, The Pope Speaks 28 Vatican, 1983
Ratzinger, Josef Cardinal (Pope Benedict XVI), Introduction to Christianity, San
Francisco: Ignatius Press, 2004
Pope John XXIII, Ensiklik Pacem in Terris, Vatican, 1963

Riwayat singkat penulis:
ALOYS BUDI PURNOMO PR, M.Hum lahir di Wonogiri, 14 Februari 1968. Imam Diosesan Keuskupan Agung Semarang. Penulis sejumlah buku spiritualitas dan refleksi teologis kontekstual sosial-politik (sejak tahun 1998-2008 sudah lebih dari 60 judul buku) di berbagai penerbit (Penerbit Bina Media: Medan, Dioma: Malang, Gramedia: Jakarta, Kanisius: Yogyakarta, dan Pustaka Nusatama: Yogyakarta). Aktif menulis di Harian Kompas (sejak tahun 1992). Kadang-kadang menulis di Harian Suara Merdeka, Wawasan, dan Solo Pos. Sekarang bertugas sebagai Pemimpin Redaksi Majalah (bulanan) INSPIRASI, Lentera yang Membebaskan (sejak September 2004) dan Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang (sejak Mei 2008).

Minggu, 27 September 2009

Tebat III

Tebat III berlangsung pada tanggal 13-14 November 1999 di Susteran Griya Paseban Semarang. Narasumber Rama Kuntara, Temanya “Pengembangan model/laku dalam neges kersa Dalem Gusti” Pengembangan penghayat mengikuti suara hati. Pergulatan hidupnya bagaikan gunung es.Yang tidak nampak dan kadang kurang disadari adalah pergumulan dengan budaya Islam, Budha, Animisme, dsb. Walaupun tetap misteri, tetapi hendaknya tak berhenti, harus terus menggali. Sebaiknya kelompok2 kebatinan Katolik mengembangkan laku glenikan (inilah yang disebut ngelmu klenik, karena diperoleh karena ketekunan dalam glenikan).
Malam itu Beberapa kelompok paguyuban men-sharing-kan paguyuban mereka, yakni : Paguyuban Coronca, Jemuwah Kliwonan/Sembah Jiwa, Tenaga Prana, Kawulo Ngayogyakarto, Bantala Aji.

Tebat II

Tanggal 23-24 April 1999 di Padepokan Kopi Eva Bedono, Ambarawa Temu Kebatinan II (Tebat II) dilangsungkan. Temanya “Model manusia menurut aliran masing masing dalam terang iman”.Narasumbernya Rama Kuntara, diuraikan bahwa Tidak ada model baku yang diclaim/diakui sebagai paling benar. Model itu relatif, silahkan mengikuti suara hati. Manusia penuh misteri. Model selalu diwarnai budaya setempat. Kelompok kelompok Kebatinan Jawa Katoli yang merasa mendapatkan titik temu dalam ngelmunya, hendaknya bergabung guna peneguhan iman Katolik.

Tebat I

Tanggal 12-13 September 1998 di Pastoran Sanjaya Muntilan Temu Kebatinan I untuk pertama kali dilangsungkan. Tema “Struktur kebatinan manusia” oleh Rama Kuntara, dijelaskan dalam diri manusia ada unsur roh (sukma, jiwa) dan raga. Unsur tersebut menuju persatuan ke Roh Illahi, yang kita imani dengan menyebut : Bapa + Putera + Roh Kudus. Kita mengenal tanda dan sarana yang menyatukan yaitu sakramen. Dalam dunia kebatinan ada berbagai metode/ model menuju “pamoring” kawula Gusti. Model itu perlu ditlateni , sehingga ngelmunya kesampaian karena hanya dengan dilakoni (laku). Kebatinan Jawa merupakan ladang subur untuk pengembangan sabda Illahi, sebab ada keterbukaan jiwa rasa terhadap Tuhan.

Sabtu, 01 Agustus 2009

Menjadi Promotor Dialog Lintas Iman

Toleransi yang kita bangun secara sungguh-sungguh akan menimbulkan toleransi serupa dari siapapun kepada kita. Menuntut orang lain toleran kepada kita, sementara kita sendiri tidak pernah mau mengupayakannya, adalah tuntutan yang tidak bertanggungjawab. Hal itu disampaikan Dr. Anton Haryono, M.Hum. salah seorang narasumber pada acara Pelatihan Promotor Persaudaraan Sejati (Propers) 2009 di Salam (20-22/7/09).

Acara ini diselenggarakan oleh Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang (Komisi HAK KAS) bekerjasama dengan Lingkar Muda Yogyakarta. Acara selama tiga hari itu diisi dengan berbagai kegiatan seperti diskusi, refleksi dan mengunjungi pondok pesantren.

Sementara itu Ki Suwaldji, narasumber yang aktif di Forum Persaudaraan Umat Beriman Yogyakarta mengatakan bahwa salah satu prasyarat untuk melakukan dialog antarumat beriman adalah menyadari bahwa dialog merupakan salah satu wujud cinta kasih untuk membangun persaudaraan sejati seperti yang diperintahkan Tuhan. Dalam dialog, lanjutnya, mitra dialog diposisikan setara.

Acara pelatihan dibuat dalam rangka untuk menyiapkan orang-orang muda Katolik sebagai pelaku aktif dan perintis dialog lintas iman di daerah masing-masing, membangun dan meningkatkan kapasitas dasar kaum muda Katolik sebagai pelaku dialog lintas iman sekeuskupan, serta membangun kembali jiwa kader muda Katolik dalam terang semangat Katolisitas, Kemanusiaan, dan Keindonesiaan di antara para penggerak pastoral kaum muda KAS. Maka tema yang diangkat adalah “Being religious, being interfaith!”

Peserta yang berjumlah sekitar 40 orang itu juga diajak untuk memahami terminologi agama yang selama ini dianutnya. Peserta diajak untuk memaknai kembali pemahaman mereka mengenai agama. Banyak jawaban yang beraneka ragam ketika berbicara tentang agama. Hal itu ternyata saling memperkaya definisi agama di antara mereka.
Untuk menambah pengalaman dialog secara nyata, pada hari kedua, peserta mengunjungi Pondok Pesantren Kyai Pandanaran di daerah Sleman. Di sana peserta berdialog dengan santri dan pengasuh pondok pesantren. Mereka bertanya tentang keislaman yang belum dipahami secara penuh. Pengasuh pondok pun menjawab pertanyaan peserta dengan terbuka. Seorang peserta bertanya tentang sikap mereka menanggapi isu terorisme yang memakai jargon agama. H. Jazilus Sakhok, salah seorang pengasuh pondok pesantren pun menjawab bahwa orang yang seagama, seperti teroris itu tidak seiman dengan mereka. Namun, orang yang berbeda agama, menurutnya, seperti Katolik bahkan bisa menjadi seiman.

Seusai dialog dengan pengasuh pondok pesantren, peserta mengunjungi tempat tinggal para santri. Mereka mengamati kehidupan keseharian para santri. Mereka pun terlibat dalam pembicaraan seperti cara santri belajar membaca dan menghafalkan Al Quran dari awal hingga akhir.

Sedangkan pada malam harinya, peserta diajak untuk mendalami dokumen Gereja Katolik berjudul Nostra Aetate (Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama Nonkristiani) yang disampaikan oleh Pastor Aloys Budi Purnomo, Pr (Ketua Komisi HAK KAS). “Gereja Katolik tidak menolak sesuatu pun yang dalam agama-agama ini benar dan kudus. Dengan penghormatan tulus ia memandang cara-cara bertindak dan hidup itu, norma-norma dan ajaran yang meskipun dalam banyak hal berbeda dengan apa yang dianutnya dan dikemukakannya sendiri; tetapi tak jarang mencerminkan pantulan Kebenaran, yang menerangi semua orang,” kata Pastor Budi.

Sementara itu, Indro Suprobo, menekankan bahwa gerakan dialog lintas iman merupakan pendidikan kritis demi keadilan di Indonesia. Dialog iman, menurutnya, dimaksudkan untuk membongkar relasi-relasi antara Negara dengan agama, agama dengan agama, dan agama dengan agama (kepercayaan) lokal. Menurutnya, pendidikan kritis membuat orang lebih dewasa dalam menyikapi masalah. Dialog iman adalah dialog politik yang memakai terminologi agama atau spiritualitas sebagai gerakan politik.

Memasuki akhir acara, peserta diajak untuk memahami situasi pokok yang sedang terjadi di kevikepan masing-masing. Dari situasi pokok itulah peserta diajak untuk membuat komitmen pribadi dan rencana tindak lanjut yang bisa diterapkan di tempat masing-masing.

Rabu, 27 Mei 2009

Profil HAK KAS

PROFIL
KOMISI HUBUNGAN ANTARAGAMA DAN KEPERCAYAAN KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG

Oleh Aloys Budi Purnomo Pr
Ketua Komisi Hubungan Antaragama
dan KepercayaanKeuskupan Agung Semarang
Sekretariat:
Jl. Kokrosono Kav 41-42 Semarang
E-mail: komihakkas@gmail.com; telepon 08179189461

"Gereja mendorong para puteri-puteranya, supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agama-agama lain, sambil memberi kesaksian tentang iman serta perihidup kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta-kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya, yang terdapat pada mereka." (NA 2, alinea 3).
Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang (Kom HAK KAS) adalah badan gerejani yang berfungsi merencanakan, melaksanakan, dan mengkoordinasi kegiatan dialog dan kerjasama antara Gereja Katolik dengan umatberagama dan kepercayaan lain untuk pemeliharaan, pengembangan, dan perwujudan iman umat di tengah masyarakat majemuk dalam lingkup Keuskupan Agung Semarang (Pedoman Pelaksanaan Kom HAK DKP-KAS, Pasal 1, no. 1).

Sejarah
Keberadaan Kom HAK KAS tidak lepas dari peristiwa penting dalam Gereja Universal, yakni Konsili Vatikan II (KV II, 1962-1965) yang membuahkan salah satu dokumen yakni Nostra Aetate (NA), Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama Bukan Kristiani. Setelah itu, Gereja Katolik Roma mendirikan Secretariatus ad Christianorum Unitatem Fovendam et Secretariatus pro Non Christianis. Sekretariat ini merespon positif terbitnya Dekrit Unitatis Redintegratio, Dekrit tentang Ekumenisme dan Deklarasi Nostra Aetate. Selanjutnya, di tingkat Gereja Katolik Roma di Asia (FABC) didirikanlah Office for Ecumenism and Interreligus Affair.

Di tingkat Gereja Katolik Roma di Indonesia, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) membentuk Panitia Waligereja Indonesia (PWI) Ekumene pada tahun 1966, setahun setelah KV II. PWI Ekumene dimaksudkan untuk memfasilitasi kegiatan dan usaha untuk mendukung kesatuan umat Kristiani. Pada tahun 1975, dalam rangka memperluas jangkauan dialog dan kerjasama, maka PWI Ekumene diubah menjadi Panitia Waligereja Indonesia Hubungan Antaragama dan Kepercay aan (PWI HAK) .Pada tahun 1979, KWI merekomendasikan supaya di tingkat keuskupan-keuskupan pun dibentuk Penghubung HAK.
Kom HAK KAS mulai dibentuk atas inisiatif Bapak Uskup Agung Semarang pada waktu itu, yakni Mgr. Justinus Darmojuwono Pr pada bulan Mei 1980. Romo Ferdinandus Suryaprawata MSF ditunjuk menjadi Penghubung HAK KAS, bersama Romo YB. Mangunwijaya Pr (khusus untuk penghubung dengan umat Islam) dan Romo I. Kuntara Wiryamartana SJ untuk penghubung dengan penghayat aliran kebatinan dan kepercayaan lain. Romo F. Suryaprawata MSF menjadi Koordinator Umum HAK sekaligus fokus sebagai penghubungan dengan Gereja-Gereja Kristen Protestan. Semua penugasan tersebut bersifat lisan per Mei 1980 dan diresmikan dalam Surat Keputusan Bapak Uskup Agung Semarang, Mgr. Ignatius Suharyo Pr pada tanggal 13 Desember 2004 dan berlaku surut.

Akhirnya Kom HAK KAS menjadi bagian dari Dewan Karya Pastoral (DKP KAS) yang dibentuk berdasarkan Kitab Hukum Kanonik 522 tentang Dewan Pastoral. Kom HAK KAS bersama DKP KAS berupaya mewujudkan panggilan menghadirkan Kerajaan Allah dalam berbagai aktivitas pastoral pada tingkat Gereja Lokal yang digembalakan oleh Bapak Uskup (Lumen Gentium/LG 23).

Visi-Misi
Visi-misi Kom HAK ,KAS adalah menjamin terlaksananya penyadaran umat agar siap membangun dialog dan kerjasama dalam hidup masyarakat yang majemuk dan meningkatkan proses dialog antaragama dan kepercayaan, entah itu dalam bentuk dialog hidup, karya, antarpakar, maupun sharing pengalaman religius. Visi-misi tersebut terkait dengan fungsi Kom HAK KAS sebagai wadah untuk melihat, menimbang, bertindak dan mengembangkan karya pastoral dalam hubungan lintasagama, iman, kepercayaan dan religius di Keuskupan Agung Semarang. Singkatnya, visi-misi Kom HAK KAS adalah bersama dengan seluruh umat beriman membangun hubungan baik dengan umat beragama dan kepercayaan lain melalui proses dialog dan kerjasama yang kian meningkat dan berdayaguna bagi kehidupan bersama.

Untuk dapat mencapai visi-misi tersebut, maka Kom HAK KAS semestinya menjalankan peranannya sebagai:
1. Inspirator, yakni mengilhami umat agar lebih terbuka terhadap umat beragama lain karena Gereja adalah tanda dan sarana persatuan manusia dengan Allah dan antarmanusia (LG 1).
2. Animator, yakni menjiwai umat dengan semangat dasar Tuhan Yesus Kristus yang mengajarkan hukum kasih kepada Allah dan sesama sebagai hukum terpenting dan tertinggi (Lukas 10:27), bahkan mengasihi musuh (Lukas 6:27, 35).
3. Komunikator, yakni mewartakan seruan persaudaraan sejati sebagai semangat Kerajaan Allah dan menjadi sarana penghubung antarumat beragama dan penghayat kepercayaan, sebab Allah berkenan menyelamatkan semua orang (ITimotius 2:3-4).
4. Motivator, yakni menggerakkan umat baik secara internal-seiman maupun eksteral-beriman lain menuju titik temu perjuangan agar antarmanusia mengembangkan "sikap hormat yang tulus atas apa yang benar dan suci" (NA 2), "supaya menjalin dialog dan kerjasama membela dan mengembangkan keadilan sosial bagi semua orang, nilai-nilai moral maupun perdamaian dan kebebasan" (NA 3).
5. Mediator, yakni menjadi penghubung dan perantara Gereja Katolik dalam menjalin, membina, dan meningkatkan hubungan baik dengan umat beragama dan kepercayaan lain dengan mengembangkan "sikap hormat yang tulus atas apa yang benar dan suci" (NA 2) yang terdapat dalam agama-agama dan kepercayaan lain.

Peta Pelayanan
Peta pelayanan atau jangkauan pelayanan Komisi HAK KAS adalah umat Katolik pada umumnya, agar kian menyadari pentingnya kerjasama dan dialog antaragama. Justru karena itu, maka Kom HAK KAS mestinya menjangkau agama-agama lain, khususnya para tokoh agama Islam, Hindu, Budha, Konghucu dan aliran kepercayaan serta Gereja-Gereja Protestan. Karena begitu luasnya jangkauan pelayanan tersebut, maka kami mencoba memfokuskan perhatian sebagai berikut.

Secara internal, kepada Umat Katolik, kami menjangkau melalui para timja Kom HAK tingkat Kevikepan dan Paroki dalam kerjasama dengan OMK, dan KERAMAS. Paling tidak, inilah yang sudah terjadi di Kevikepan Surakarta pada umumnya, dan Paroki Kartasura pada khususnya. Di Kevikepan Kedu, Kom HAK KAS bahkan bekerjasama dengan Komisi Liturgi dalam konsientasi pentingnya dialog antaragama dan kepercayaan. Untuk itu kami mengadakan kunjungan pelayanan dalam rangka Kaderisasi Dialog antaragama dan kepercayaan dalam kerjasama dengan Timja Kom HAK Kevikepan terkait.

Pada tingkat Regio Jawa, Kom HAK KAS mengembangkan peta pelayanan dalam konteks Regio Jawa bekerjasama dengan Kom HAK Keuskupan-Keuskupan lin Regio Jawa. Dalam rangka itu, Kom HAK KAS mengikuti pertemuan-pertemuan Komisi HAK Regio Jawa, bahkan menjadi penyelenggara untuk Pertemuan Kom HAK Regio Jawa dalam rangka kaderisasi dialog antaragama dan pendidikan politik orang muda Katolik menyongsong Pemilu 2009.
Kami juga mencoba untuk mengadakan pertemuan-pertemuan Kom HAK di tingkat Kevikepan yang melibatkan Timja Kom HAK paroki-paroki terkait. Harapannya, dengan program tersebut, ajaran Gereja Katolik sebagaimana tertuang dalam Nostra Aetate (Konsili Vatikan II) dapat semakin terwartakan kepada seluruh umat beriman. Selama ini, terdapat kesan bahwa sebagian besar - bahkan pengurus/timja Kom HAK Paroki tidak mengetahui adanya dokumen tersebut, apalagi isinya. Kesan ini kami tangkap dari pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan pada waktu pertemuan berlangsung.

Dalam rangka hubungan dengan kepercayaan, kami melanjutkan program yang sudah ada dari berjalan dengan baik selama ini, yakni penyelenggaraan Temu Kebatinan (Tebat). Pada prinsipnya, Tebat (sudah ke-XV) menjadi salah satu peluang positif untuk member! tempat kepada orang Katolik yang memiliki penghayatan tertentu dalam hal kebatinan. Memang perlu dipertimbangkan keberanian melangkah dari confort-zone menuju risky-zone, agar Tebat tidak melulu "begitu-begitu" saja, dan yang sedang kami pikirkan adalah kemungkinan penyelenggaraan Tebat secara periodik dengan berganti tempat per Kevikepan, sehingga tidak harus dan hanya di Kopi Eva Bedono saja. Pada umumnya, para Koordinator Timja Kom HAK Kevikepan sepakat dengan gagasan ini.

Kami sedang merancang modul dan wacana ke depan untuk beker-jasama dengan Komdik dengan menyelenggarakan pendidikan inter-religius kepada siswa-siswi sekolah-sekolah Katolik di Keuskupan Agung Semarang. Ide paling sederhana, Kom HAK KAS bisa memberikan wawasan tentang pandangan KVII mengenai agama-agama lain sebagai-mana tertuang dalam Nostra Aetate. Ini masih dan sedang kami persiapkan. Kalau ini bisa dilaksanakan, kami berharap bahwa kesadaran akan pentingnya menjalin hubungan antaragama dan kepercayaan dapat mulai bertumbuh sejak dini bukan hanya berdasarkan pengalaman sehari-hari melainkan berlandaskan pendasaran ajaran Gereja Katolik. Praktisnya, kami akan meminta waktu untuk penyelenggaraan program ini kepada sekolak-sekolah Katolik yang ada di KAS, sejauh dimungkinkan dan diizinkan. Gagasan ini bila dimungkinkan dan diizinkan oleh sekolah-sekolah terkait akan kita laksanakan mulai tahun ajaran baru 2009/2010 mendatang. Semoga gayung bersambut positif!
Kecuali itu, kami juga akan menyelenggarakan kaderisasi dialog antaragama untuk OMK, direncanakan berlangsung pada bulan Juli mendatang. Ini sekaligus menjadi follow-up antara rekomendasi Pertemuan Kom HAK Regio Jawa, yang pada waktu itu (Februari 2009) sudah melibatkan unsur OMK.

Selama ini kami juga bekerjasama dengan Kesbangpolimas, Depag dan Bimas Katolik untuk penyelenggaraan pertemuan tokoh masyarakat dalam hal pengembangan refleksi dan wawasan dialog antaragama dan kepercayaan, khususnya di tingkat Provinsi Jawa Tengah. Belum ada komunikasi dan jangkau untuk Provinsi DIY.
Masalah-masalah/kendala dalam Komisi? Kendala utama terletak pada pembagian waktu dan perhatian mengingat tugas pelayanan dalam Kom HAK KAS juga bersamaan dengan tugas pelayanan parokial yang juga menyita banyak waktu dan perhatian. Oleh karenanya, selama ini, kami tidak bisa setiap saat harus meninggalkan paroki, dan jadwal kunjungan/roadshow konsientisasi dialog antaragama pun sangat terbatas. Kerjasama dengan dengan FKUB tentu sangat dibutuhkan dan harus terus ditingkatkan, baik di tingkat Provinsi, Kota, maupun Kabupaten. Selama ini, kami mendapat kesempatan dan peluang di
dalamnya melalui Pemerintah, khususnya Depag.

Jejaring dan Mitrakerja

Kom HAK KAS mengembangkan jalinan dan jaringan kemitraan dalam kerjasama dengan Kom HAK KWI dan Kom HAK Regio Jawa. Kecuali itu, Kom HAK KAS juga menjadikan Kom HAK Kevikepan dan Paroki-Paroki sebagai mitrakerja untuk sampai pada visi dan misi yang hendak dikembangkan. Sebagai bagian dan unsur dari DKP KAS, maka Kom HAK KAS juga berjejaring dengan Komisi-Komisi lain dalam DKP KAS, serta lembaga akademis dan paguyuban di masyarakat yang menunjang pengembangan HAK, misalnya, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Forum Ekumenis Setempat. Sejak pertemuan dengan Kom HAK Regio Jawa (17-19/2/2009), Kom HAK KAS juga berjejaring dengan Orang Muda Katolik dan Majalah INSPIRASI, Lentera yang Membebaskan (mengingat Majalah INSPIRASI, Lentera yang Membebaskan memberi ruang-ruang dialog baik yang bersifat interreligius maupun ekumenis).

Tata Penggembalaan
Tata penggembalaan Kom HAK KAS terungkap dalam personalia dan kepengurusan Kom HAK KAS yang terdiri dari: Pengurus Harian (Ketua, Sekretaris dan Bendahara), Pengurus Inti (Pengurus Harian dan Ketua Komisi HAK Kevikepan) serta Pengurus/Dewan Pleno (Pengurus Inti + Anggota yang kami tunjuk terkait dengan bidang tertentu). Ada pun personalia Kom HAK KAS adalah sebagai berikut:
1. Pengurus Harian
Ketua : Rm. Aloysius Budi Purnomo Pr
Sekretaris : Lukas Awi Tristanto
Bendahara : MM Sindajati
2. Anggota (Koordinator Bidang)
Bidang Interreligius : Ig. Agus Widyatmoko, Lukas Awi Tristanto (Smg)
Bidang Ekumene : F. Prawoto, Al. Soerjanto (Smg),
DS. Tjihno Windryanto (DIY)
Bidang Kepercayaan : AT. Eddy Sambodo (Smg),
P. Kusuma Wirawan (DIY)

3. Ketua-Ketua Kom HAK Kevikepan
Ketua Kom HAK Kevikepan Semarang : Yoseph Edy Riyanto
Ketua Kom HAK Kevikepan Surakarta : Ag. Supriyono
Ketua Kom HAK Kevikepan Yogyakarta : HJ. Ponidjan
Ketua Kom HAK Kevikepan Kedu : D. Martomo

Marilah kita mengembangkan dialog dan kerjasama antar agama dan kepercayaan yang saling penuh hormat demi kian tegaknya Kerajaan Allah. "Itulah yang baik dan yang berkenan kepada Allah, Juruselamat kita, yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran. (ITim 2:3-4)

Menimba Pengalaman Mistik Santo Paulus


Iman yang ditanamkan melalui budaya setempat akan mengakar lebih kuat. Hal inilah yang dilakukan dalam Temu Kebatinan (Tebat) XV yang diselenggarakan oleh Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang (Komisi HAK KAS) di Bedono, Ambarawa (2-3/5/09).

Sesuai dengan tahun Santo Paulus yang dicanangkan oleh Paus Banediktus XVI dari 28 Juni 2008-29 Juni 2009, maka tema yang diambil dalam Tebat XV adalah “Olah Batin Menimba Pengalaman Mistik Santo Paulus”. Acara yang dihadiri peserta dari berbagai keuskupan seperti Purwokerto, Bandung dan Surabaya serta tuan rumah Semarang itu juga menghadirkan narasumber, Pastor A. Hari Kustono, Pr dan Pastor G.P. Sindhunata, SJ.

Pada sambutan pembukaannya Pastor Aloys Budi Purnomo, Pr selaku ketua Komisi HAK KAS mengatakan bahwa banyak pengalaman rohani dari Santo Paulus yang bisa digali. Menurutnya, pengalaman yang sangat mistik dari Santo Paulus adalah ketika dia menuliskan, “Aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku! (Gal. 2:20)”. Kalimat mistik ini sangat kuat sehingga Paulus bersatu dengan Kristus. Tetapi, persatuan itu bukan persatuan yang lebur, bukan pengalaman mistik yang mengawang-awang. “Tapi justru bergerak konkret menyucikan dunia ini karena kita dipanggil dan diutus oleh Yesus,” katanya.

Sedangkan Pastor A. Hari Kustono, Pr memaparkan perjalanan mistik Santo Paulus. Ia memaparkan perjalanan Santo Paulus sebelum berjumpa Yesus di dekat Damsyik, ketika berjumpa Yesus dan setelah berjumpa dengan Yesus. Sebelum bertemu Yesus, Paulus adalah orang yang menganggap kelompok Kristen sebagai bidaah. Maka, sebagai seorang fundamentalis Yahudi, ia mengejar-ngejar, menangkap, bahkan menganiaya jemaat Kristen. Hingga pada suatu ketika ia berniat akan menangkap orang-orang Kristen di Damsyik. Sebelum sampai Damsyik, ia berjumpa dengan Yesus. Singkat kata peristiwa itu membuat dirinya berubah dan ketika dia sampai di Damsyik, ia justru dibaptis sebagai orang Kristen. Pengalaman Damsyik telah mengubah cara pandangnya terhadap Allah, terhadap Yesus dan karya-Nya, serta terhadap dirinya sendiri sehingga ia memasuki jalan mistik yang dapat diuraikan menjadi tiga tahap yaitu Via Purgativa (pembersihan), Via Illuminativa (penerangan), dan Via Unitiva (penyatuan.

Sementara itu, Pastor G.P. Sindhunata, SJ memaparkan materi dalam bahasa Jawa Manunggaling Kawula Gusti Ing Katresnan. Menurut Sindhunata, SJ, berdasarkan yang diajarkan Santo Paulus, manusia harus mengosongkan diri jika ingin bersatu dengan Tuhan. Namun, pengosongan diri itu tidak sekedar menjadi kosong, tetapi dengan memberikan diri sampai habis kepada sesama seperti yang dilakukan Kristus.

Sudah menjadi tradisi dari awal, Tebat pada malam hari diisi dengan acara Glenikan Pastoral. Pada sesi ini, orang-orang yang mempunyai talenta bisa mengekspresikan kemampuannya seperti penyembuhan, pemijatan refleksi, maupun eksplorasi kemampuan-kemampuan lainnya. Banyak peserta yang mempunyai keluhan penyakit turut berkonsultasi. Sesi ini juga membuka kesempatan bagi mereka yang ingin belajar dan mengembangkan kemampuan yang terpendam.

Tebat yang biasanya diikuti oleh para orangtua, kali ini banyak orang muda yang justru turut terlibat di dalamnya. Dengan demikian banyak orang muda yang mulai terlibat dalam pelestarian budaya Jawa mengingat Tebat ini sarat dengan nuansa Jawa, misalnya ada lantunan tembang-tembang Macapat, dupa, maupun bunga. Dengan demikian hal ini selaras dengan yang dikatakan oleh Pastor Sindhunata, SJ pada akhir acara bahwa menanamkan iman laksana menanam pohon. “Dengan sabar kita harus ngrumat, menyirami, merabuk, sampai akhirnya dia tumbuh ngrembuyung, menghijau, memberi buah, menaungi, memberi kesegaran dan memberi keteduhan,” katanya.

Entri Populer