Tebat VI diadakan pada tanggal 12-13 Oktober 2002 di Padepokan Kopi Eva, Bedono, Ambarawa. Tema yang diangkat adalah “Pencerahan Kebatinan Jawa Dalam Terang Iman” dengan nara sumber Rama Ign. Kuntara Wiryamartana SJ, yang menyampaikan makalah “Simbol-simbol Jawa yang Masuk Dalam Adat Tata Cara Katolik”. Simbol Jawa mana saja yang sudah dimasukan dalam adat tatacara Katolik? Yakni adalah pada waktu slametan “Metu–Manten–Mati”. Apa lagi yang akan masuk? Pada dasarnya budaya Jawa yang sudah sangat dipengaruhi Wirid (Wejangan) Islam, oleh orang Jawa Katolik ditumpangi dengan ibadat, kitab Suci, Misa, dsb.
Tujuan dimasukkannya simbol-simbol itu agar sebagai orang Katolik kita bisa selalu lumrah dalam hidup bermasyarakat, misalnya pada bulan Ruwah pergi ziarah/sowan pesarean, atau pada peringatan arwah (3,7,40,100 hari, mendhak 1, 2 sampai dengan nyewu). Sekali lagi biar sebagai wong Jawa “dadi lumrahe wong” sebab apabila dari sisi Gereja , mendoakan arwah selalu dilakukan setiap hari dalam Misa Harian(Bojana Ekaristi).
Demikian juga tentang Ruwatan, dilakukan karena adanya keprihatinan dari para orang tua terhadap masa depan anak. Jadi bila diadakan Misa dengan ujub ruwatan, semata-mata karena pelayanan pastoral Gereja terhadap keprihatinan para orang tua terhadap putra-putrinya.
Arti keprihatinan di sini sangat luas. Keprihatinan ada yang sudah “dibawa” sejak kelahiran anak, ataupun karena dari perbuatannya. Maka hendaknya kita membiarkan mereka bila melakukan/ikut ruwatan, tidak perlu disalahkan atau dilarang. Bukankah ungkapan keprihatinan orang itu juga bermacam-macam bentuknya. Maka hendaknya dilihat saja secara positif sebagai sebuah “ungkapan sikap” yang muncul dari keprihatinan orang tua. Khusus dalam Misa dengan ruwatan, Rama atau Imam juga memakai mantram seperti para dalang bila melakukan ruwatan. Mantram yang dibacakan adalah bacaan dalam Injil, yaitu Injil Yohanes bab 17 ”Doa Yesus kepada para murid”.
Banyak komentar atau pertanyaan muncul dari para peserta. Rama Kuntara mengatakan bahwa yang boleh atau berhak meruwat di kalangan Katolik adalah siapa saja yang dituakan oleh orang yang punya hajat. Kalau dengan Misa tentu saja Misa dipersembahkan oleh rama atau imam (yang ngruwat bisa oleh rama atau oleh mereka yang dituakan). Perihal tafsir umat yang berbeda-beda terhadap budaya lokal yang masuk dalam tatacara dan ibadat Katolik harus kita hargai, karena ini adalah sebuah proses. Sesungguhnya, baik agama maupun budaya (misalnya ruwatan) adalah sama-sama budaya, sehingga sangat mungkin untuk dipadukan.
Perlu disadari bahwa sebelum kita semua menjadi Katolik terlebih dahulu kita adalah orang Jawa yang suku Jawa, orang Batak yang dari Batak, Cina yang keturunan Cina dsb, sehingga setelah menjadi Katolik pun kita yang orang Jawa harus tetap Jawa. Yang harus kita perhatikan adalah kita harus mampu membedakan mana yang isi, dan mana yang kulit. Rama Subanar menambahkan bahwa budaya memiliki tiga hal pokok yakni cita-cita, idealnya atau filosofinya, dan ada pelakunya atau organisasi yang mengejawantahkan, ada ekspresinya atau ubarampe yang menjadi sarana pengejawantahan/simbol. Semua ini nampak sekali dalam setiap upacara Metu-Manten-Mati.
Materi kedua disampaikan oleh Rm. Sindhunata, SJ dengan thema “Mistik dan Budaya Jawa”. Makalah yang disajikan berjudul “Matahari Terbit dari Barat”, sebuah hasil wawancara Romo Sindhunata dengan Ki Dalang Manteb Sudarsono.
Romo Sindhunata menyampaikan kisah perjalanan spiritual pribadi Rama Sindhunata sejak dia masih frater. Pada dasarnya laku orang Jawa umumnya adalah “nganut neting rasa” atau mengikuti kata hatinya, perasaanya. Dalam sesi itu, Rama Sindhunata bercerita tentang ia ngangsu kawruh dan laku kemana saja, berguru kepada siapa saja seperti wong ampuh, antara lain, Ki Dalang Joyo Kandar dari Borobudur, juga memperoleh beberapa sipat kandel dan “Aji Jono Woyo” yang berkhasiat sukses menggarong, tetapi tidak pernah ditamatkan oleh Rama Sindhu.
Dari hal-hal yang disampaikan oleh Rama Sindhunata, ada beberapa bagian yang dapat dijadikan pelajaran, yakni:
Pertama, “Apabila agama meninggalkan budaya, itu adalah fatal”, contohnya adalah perumpamaan orang yang menanamkan iman kepada seseorang bagai menanam tiang listrik beton dengan semen. Hasilnya tiang dapat berdiri kokoh tetapi gersang dan panas. Lain halnya dengan orang menanam pohon yang kecil, selalu didhangir, dienik-enik, sehingga tumbuh rimbun, menyegarkan, serta bisa untuk berteduh setiap orang yang membutuhkan.
Kedua,Ada perbedaan hasil dan sikap dalam memandang budaya Jawa, antara orang yang terlibat dengan budaya Jawa secara tiba tiba dengan mereka yang melalui proses panjang dalam hidupnya.
Ketiga, Iman itu sesuatu yang tidak pernah jelas, bagai orang berjalan dalam kegelapan, selalu muk-mukan, inilah yang disebut sebuah misteri. Hendaknya, dalam hidup ini, kita selalu mengikuti “Ngelmu kodhok, teko-teko ndodhok”, yang artinya selalu rendah hati, andhap ashor. Apabila dia adalah “kodok ijo” (lambang orang yang baik), dia pun siap ditangkap untuk disembelih dan disantap, tetapi kalau dia adalah “kodok mbengkerok”, pasti hanya dihindari orang/ditendang karena dinilai tidak berguna.
Keempat, sampai batas ketidakberdayaan manusia, yakinlah pasti Gusti akan mengambil alih persoalan dan mengabulkan permohonan, menyelamatkan dari jurang kesengsaraan! Dalam beriman itu kita harus selalu baru, tumbuh berkembang. Maka jangan mudah merasa puas apabila sudah memiliki gereja, mempunyai panduan ibadat, mempunyai liturgi, dan mempunyai Rama, dsb.
Kelima,pada saat laku untuk neges kersa Dalem lan ngemban dhawuh Dalem jangan mengisolir diri, jangan merasa puas dan merasa diri paling benar.
Keenam, hendaknya selalu berani untuk tetap beriman pada Kristus walau dalam laku hidupnya tidak memperoleh apa-apa atau bahkan tidak memperoleh tanda-tanda apapun di dalam hidupnya.
Kedelapan, bahwa hidup mistiklah yang akan menentukan hidup Gereja ke depan untuk tetap jaya, bukan karena yang lain-lain.
Kesembilan, pengalaman hidup fantastis sangat berguna untuk menggenapi lelakoning urip. Namun, terkadang kita tidak memperoleh materi apa-apa dalam hidup beriman, hidup kita tetap gelap, tidak jelas. Itulah sebuah misteri. Namun, walaupun demikian, semuanya tetap indah. Masihkah beriman, walaupun pada saat tidak ada tanda-tanda yang membuat jelas?
Kamis, 08 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Entri Populer
-
Oleh Aloys Budi Purnomo Pr, M.Hum Saya dengan sengaja tidak menggunakan kata “kedamaian” sebagaimana dipakai panitia. Secara normatif unive...
-
Fiat Voluntas Tua! (Terjadilah padaku menurut kehendak-Mu) merupakan ungkapan terkenal dari Maria. Umat Katolik tentu sangat mengenal Mar...
-
Tanggapan Gereja-Gereja terhadap Pekan Doa Sedunia untuk Kesatuan Umat Kristiani (PDS KUK) 2013 sangat luar biasa. Selain mendoakan sela...
-
Oleh Aloys Budi Purnomo Pr ADA dua kisah naratif yang inspiratif untuk merawat kebhinnekaan. Mgr. Johannes Pujasumarta, Uskup Keuskupan Agun...
-
Malam satu suro (18/12/09). Bau asap dupa menyengat di Gereja Hati Kudus Yesus Tanah Mas (HKYTM) Semarang. Di sana sudah tersedia tumpeng, j...
-
Romo J Sudrijanta, SJ memberikan penjelasan tentang Meditasi tanpa Objek Para peserta mengaku kesulitan ketika mempraktikkan meditasi...
-
PROFIL KOMISI HUBUNGAN ANTARAGAMA DAN KEPERCAYAAN KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG Oleh Aloys Budi Purnomo Pr Ketua Komisi Hubungan Antaragama ...
-
Dengan berjalan pelan, para pendeta dan pastor me nuju altar Gereja Hati Kudus Yesus Tanah Mas Semarang. Sementara itu lagu Taize “Tinggalla...
-
“APA YANG TUHAN TUNTUT DARI KITA?’ ( Bdk . Mi k h a 6:6-8) Pekan Doa Sedunia untuk Kesatuan Umat Kristiani 18-25 Januari 20...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar