Sabtu, 13 Februari 2010

Antara Jihad dan Martir



Jihad sebenarnya bukan bagaimana mati bersama tapi sebaliknya, bagaimana hidup bersama-sama dengan siapapun. Sekarang banyak orang memandang jihad sebagai sesuatu yang menakutkan. Namun, masih ada orang-orang yang mempunyai persepsi salah mengenai jihad misalnya dengan melakukan bunuh diri. Hal itu rupanya juga membuat persepsi bagi orang lain bahwa jihad adalah seperti yang dilakukan mereka. Hal ini disampaikan oleh Dr. Imam Yahya dalam acara Diskusi bertema ”Jihad dan Kemartiran” di pastoran Gereja Hati Kudus Yesus Tanah Mas Semarang, Jumat (20/11/09).

Menurutnya, kesalahpahaman mengenai jihad dipicu oleh beberapa akar masalah. Pertama, pemahaman teks agama yang literalis. ”Jadi orang-orang memahami teks-teks Alquran apa adanya. Dia tidak pernah memahami bahwa teks itu datang pada situasi dan kondisi dimana Alquran itu diturunkan pada 1400 tahun yang lampau,” kata wakil ketua pengurus wilayah NU Jawa Tengah itu.


Kedua, pemahaman konsep jihad yang radikal lahir sebagai protes atas ketidakadilan yang menimpa umat Islam terutama ketidakadilan yang menimpa umat Islam Palestina.
Ketiga, pengaruh literatur yang menjadi bacaan doktriner. Hal itu nampak dari para pelaku bom bunuh diri yang sebenarnya korban pendoktrinan. Kaum muda yang terpengaruh doktrin tersebut mau melakukan bom bunuh diri misalnya di hotel JW Marriot dan Ritz Carlton belum lama ini.

Menurut Imam, secara umum jihad dikategorisasikan dalam 3 pengertian. Pertama, jihad dengan hati, maksudnya berjihad untuk memerangi hawa nafsu yang muncul dari dirinya sendiri. Kedua, jihad dengan harta benda, yakni mendermakan hartanya di jalan Tuhan. Ketiga, jihad dengan nyawa. Pengertian ketiga ini diartikan sebagai perang yang sesungguhnya, bellum justum dan bellum pium yakni perang demi keadilan dan perang demi kesalehan.

Sementara itu, Pastor Aloys Budi Purnomo, Pr sebagai narasumber kedua menegaskan bahwa kemartiran dibaca sebagai sebagai alat/cara untuk membaca masalah hidup kita bersama, masalah kebangsaan atau kemanusiaan. Gambaran mengenai kemartiran tidak harus dilakukan dengan kekerasan atau perjuangan yang menumpahkan darah. “Bagi saya dalam perspektif iman Katolik, martyria adalah satu bentuk pengalaman yang indah yang mengharukan, yang membuat orang lain yang melihat proses martir itu terjadi tersentuh jiwa, hati dan hidupnya,” kata Pastor yang menjadi Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang itu.

Kemartiran, menurutnya, juga bisa diwujudkan dalam hidup bersama yang saling menopang dalam konteks ketika kita mau menghadirkan kemartiran di tengah-tengah zaman modern ini. Ada tiga unsur yang sangat penting dalam mewujudkan kemartiran yaitu negara (state), sektor ekonomi (market), dan masyarakat warga (civil society). Itu menjadi tiga poros yang menentukan hidup bersama yang mempunyai cita-cita mewujudkan kesejahteraan bersama. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka diperlukan keseimbangan dengan saling mengontrol antar ketiganya, tidak ada dominasi atas satu terhadap yang lain atau kolusi dua poros melawan yang lain. Jika hal ini terjadi maka akan muncul ketunaadaban.

Lebih lanjut, Pastor Budi menekankan bahwa martyria dalam konteks kristiani tidak bisa dipisahkan dari kristologi karena martir pertamanya adalah Kristus. “Kristus yang menjadi victima (korban),” katanya. Martyria juga terkait dengan semangat untuk mewujudkan semangat kenabian, imam dan gembala.

Diskusi ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari pahlawan tanggal 10 Nopember lalu atas kerja sama antara Komunitas Pondok Damai, Komunitas Persaudaraan Sejati (Kompers), Mudika dan Seksi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Gereja Hati Kudus Yesus Tanah Mas Semarang, dan Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang (Komisi HAK KAS).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer