Para peserta duduk bersila. Tangan kanannya ditempelkan di hati. Kedua matanya terpejam. Sementara itu pembimbing latihan memberikan instruksi-instruksi yang harus diikuti para peserta (Bedono, 20-21/2/2010). Kegiatan itu adalah salah satu sesi acara Temu Kebatinan (Tebat) bertema “Olah Batin Menggapai Kebahagiaan Sejati Selaras Kersa Dalem Gusti”. Mencapai Kebahagiaan Sejati melalui Olah Rasa dengan Hati. Materi ini dibawakan oleh Kelompok Sosialisasi Hati (KSH), Jakarta.
Sesi yang dibawakan pada malam hari itu bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi hati. Tuhan menganugerahkan otak dan hati. Namun, kecenderungan yang terjadi, masyarakat lebih suka memakai otak. Pada dasarnya manusia selalu ingin mencapai kebahagiaan. Akibat terlalu dominan memakai otak, maka manusia menjadi tidak seimbang. Menurut tim KSH, orang yang mencari kebahagiaan dengan otaknya hanya akan mencapai kebahagiaan sementara. Efek samping dominasi kerja otak seperti banyak pikiran, khawatir, takut, kecewa, curiga, sedih, mudah tersinggung, tidak sabaran, dan tidak puas dalam segala hal. Akibat dari semua itu adalah seseorang tidak dapat menikmati hidup.
Menurut Kasandra Hermawan, MM, seorang fasilitator KSH, hati merupakan kunci spiritual. Sebagai kunci spiritual, hati bisa menyadari dan menerima berkat Tuhan. Dengan hati, kita bisa menyadari hidup dan beribadah kepada Tuhan.
Hati merupakan pusat rasa tenang, damai, nyaman, indah, bahagia yang bersumber dari kasih Tuhan. Hati menentukan hubungan kita dengan Sang Pencipta. Melalui hati, kebahagiaan sejati bisa kita raih.
Hati yang fungsinya dioptimalkan memungkinkan seseorang untuk semakin bisa mengasihi sesama, saling mengerti dan menerima, tidak mudah khawatir, kecewa, jengkel, sedih, membuat relasi menjadi semakin akrab, hidup lebih optimis dan semangat serta merasa semakin dekat dengan Tuhan.
KSH mengajak para peserta untuk mau melatih mengoptimalkan hati karena hal itu memungkinkan orang mencapai kebahagiaan sejati. Dengan melatih, hati menjadi lebih indah dan mampu melakukan apapun dengan lebih ikhlas.
Intinya, dengan memanfaatkan hati, seseorang akan mengalami kesehatan fisik, mental, emosional, sosial dan spiritual. Hati yang diolah memungkinkan seseorang mempunyai produktifitas yang baik, kualitas hubungan antar manusia membaik. Bahkan keselarasan berbagai aspek hidup sehari-hari seperti bisnis, pendidikan, sosial, maupun pribadi menjadi semakin berkualitas.
Yang terpenting adalah melatih mengoptimalkan fungsi hati sangat mudah dilakukan. Latihan dapat dilakukan sewaktu-waktu dan bisa dilakukan di banyak tempat. Buah-buah yang langsung dirasakan adalah ketenangan, kedamaian, kenyamanan, keindahan dan kebahagiaan.
Sebelum sesi olah rasa dengan hati, Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang, Pastor Aloys Budi Purnomo Pr memberikan peneguhan dengan mengajak peserta untuk mendaraskan Sabda Bahagia (Matius 5:1-12). Sabda itu dimaksudkan supaya peserta senantiasa berbahagia meskipun mengalami beraneka rupa permasalahan.
Hari kedua, panitia Temu Kebatinan menghadirkan Sinuhun Paku Buwono XIII Tedjo Wulan. Tedjo Wulan menyampaikan perjalanan spiritualnya yang dramatis. Menurutnya, kebatinan itu gaib, tidak bisa dilihat tetapi bisa dirasakan. Perjalanan spiritualnya dilakukan sejak ditinggal orangtuanya. Dia bermaksud mencari kehendak Tuhan dan makna kehidupan. Menurutnya, banyak orang tahu menjalani hidup tetapi tidak tahu jalan hidup. Maka, menurutnya, orang hidup harus tahu makna jalan kehidupan. Dalam hidup menurutnya ada tiga substansi penting yang harus terintegrasi yaitu leluhur, alam dan Tuhan.
Selanjutnya, Tedjo Wulan juga berbicara mengenai kepemimpinan. Menurutnya, untuk menjadi pemimpin, seseorang harus mandita (melakukan laku pendeta/guru). Dalam melakukan mandita, seseorang harus mendalami tingkat spiritual yang tertinggi yang ditandai antara lain dengan suci penglihatannya, suci pendengarannya, suci pengucapannya, suci tubuhnya maupun rohaninya.
Tebat selama ini selalu bernuansa budaya Jawa.
Kamis, 25 Februari 2010
Gereja yang Terbuka terhadap Tanda-tanda Zaman
Melakukan dialog agama bukanlah strategi atau sarana untuk memudahkan pendirian gereja. Namun, dialog agama dilakukan sebagai tuntutan iman dan sarana mendewasakan iman. Maka dialog agama dilakukan secara tulus dengan memakai bentuk-bentuk dialog yang memadai. Hal itu mengemuka dalam Pertemuan Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (Pernas Komisi HAK KWI), Bogor, 15-18/2. Tema yang ditawarkan panitia adalah ”Gereja yang Terbuka terhadap Tanda-tanda Zaman”.
Acara diawali dengan ekaristi yang dipimpin Ketua Komisi HAK KWI, Mgr. P.C. Mandagi MSC periode 2009-2012. Dalam homilinya, Mgr. Mandagi membagikan pengalamannya dalam penyelesaian konflik berbasis agama di Ambon. Cara yang dipakai adalah dengan mengedepankan dialog. Menurutnya, dengan dialog kerukunan antarumat beragama bisa terjadi meskipun sebelumnya berada dalam nuansa konflik.
Acara dibuka oleh utusan dari Kementrian Agama RI yang didampingi Dirjen Bimas Katolik, Stefanus Agus. Acara dilanjutkan dengan materi yang disampaikan Menteri Pertahanan dan Keamanan RI, Purnomo Yusgiantoro yang menyoroti keadaan hak asasi manusia di Indonesia terkait dengan kebebasan beragama dan beribadah. Bersamaan dengan itu hadir pula dua tokoh awam Katolik, J.B. Sumarlin dan Cosmas Batubara yang berbicara tentang kaderisasi.
Hari kedua, materi Spiritualitas Dialog yang disampaikan Mgr. P.C. Mandagi MSC membuka cakrawala pemikiran para peserta yang berdatangan dari seluruh Indonesia. Menurutnya, konflik antarumat beragama bisa dihindari dan diatasi bukan dengan saling balas dendam, melainkan dengan dialog antarumat beragama. Dalam kasus Ambon, dialog tercapai salah satunya melalui pertemuan Malino II.
”Dialog bukan sekedar pertukaran ide, pertukaran gagasan. Dialog harus menjadi sikap hidup, menjadi sebuah spiritualitas yang lahir dari iman saya dan lahir dari pengharapan saya, lahir dari kasih Allah kepada sesama. Itu harus menjadi spirit, sikap atau pembawaan,” kata Mgr. P.C. Mandagi MSC.
Perkembangan gerakan terorisme di Indonesia pun turut menjadi pembahasan yang menarik dalam pernas yang dibawakan oleh Gorris Mere. Dari sana, peserta bisa melihat peta gerakan teroris yang telah berlangsung dan celah-celah yang bisa dimasuki jaringan teroris.
Untuk melengkapi pembacaan politik masa kini, Sebastianus Salang selaku pengamat politik memberikan gambaran-gambaran keadaan politik yang sedang menghangat dan prediksi pemilihan umum 2014.
Peran media juga turut memberikan kontribusi yang positif bagi pembangunan semangat dialog agama. Rikard Bagun, sebagai pelaku media mengatakan bahwa media berfungsi sebagai corong dan penguat isu permasalahan. Maka peran media menjadi sangat penting dalam mengembangkan pluralisme.
Sedangkan Efendi Gazali sebagai pengamat komunikasi mengatakan bahwa pembangunan citra positif tentang gerakan pluralisme sangat penting. Maka menurutnya, dialog yang saling membangun perlu diciptakan. Dialog harus memperhatikan kepentingan dan melibatkan publik. Upaya-upaya yang dibangun adalah pembangunan untuk semua.
Aspek hukum menjadi penting dalam melakukan advokasi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang terkait dengan hukum misalnya ketika komisi HAK menghadapi kasus pelanggaran pelaksanaan kebebasan beragama. Materi ini disampaikan oleh Denny Kailimang. Materi ini juga menunjukkan bahwa tim advokasi di tiap-tiap keuskupan mempunyai peranan penting mengingat banyak komisi HAK yang belum mempunyai tim advokasi.
Pastor Heru Prakosa SJ yang hadir sebagai observer mengatakan pentingnya membangun spiritualitas dialog di kalangan umat dan para calon serta pemimpin jemaat. Maka hal itu sangat dimungkinkan dengan mengadakan bulan dialog yang serupa dengan masa Adven atau Prapaskah. Untuk mewujudkan hal itu, kegiatan ini membutuhkan dukungan dari Gereja. Harapannya, ide ini bisa menjadi gerakan yang terpadu dan periodik bukan sekedar kegiatan. Ide serupa ini juga yang disarankan oleh Kardinal Jean-Louis Tauran beberapa saat lalu ketika melakukan kunjungan ke Indonesia.
Beberapa hal yang pantas mendapat perhatian adalah komunikasi. Komunikasi menjadi hal yang penting dalam membangun semangat dialog.
Acara diawali dengan ekaristi yang dipimpin Ketua Komisi HAK KWI, Mgr. P.C. Mandagi MSC periode 2009-2012. Dalam homilinya, Mgr. Mandagi membagikan pengalamannya dalam penyelesaian konflik berbasis agama di Ambon. Cara yang dipakai adalah dengan mengedepankan dialog. Menurutnya, dengan dialog kerukunan antarumat beragama bisa terjadi meskipun sebelumnya berada dalam nuansa konflik.
Acara dibuka oleh utusan dari Kementrian Agama RI yang didampingi Dirjen Bimas Katolik, Stefanus Agus. Acara dilanjutkan dengan materi yang disampaikan Menteri Pertahanan dan Keamanan RI, Purnomo Yusgiantoro yang menyoroti keadaan hak asasi manusia di Indonesia terkait dengan kebebasan beragama dan beribadah. Bersamaan dengan itu hadir pula dua tokoh awam Katolik, J.B. Sumarlin dan Cosmas Batubara yang berbicara tentang kaderisasi.
Hari kedua, materi Spiritualitas Dialog yang disampaikan Mgr. P.C. Mandagi MSC membuka cakrawala pemikiran para peserta yang berdatangan dari seluruh Indonesia. Menurutnya, konflik antarumat beragama bisa dihindari dan diatasi bukan dengan saling balas dendam, melainkan dengan dialog antarumat beragama. Dalam kasus Ambon, dialog tercapai salah satunya melalui pertemuan Malino II.
”Dialog bukan sekedar pertukaran ide, pertukaran gagasan. Dialog harus menjadi sikap hidup, menjadi sebuah spiritualitas yang lahir dari iman saya dan lahir dari pengharapan saya, lahir dari kasih Allah kepada sesama. Itu harus menjadi spirit, sikap atau pembawaan,” kata Mgr. P.C. Mandagi MSC.
Perkembangan gerakan terorisme di Indonesia pun turut menjadi pembahasan yang menarik dalam pernas yang dibawakan oleh Gorris Mere. Dari sana, peserta bisa melihat peta gerakan teroris yang telah berlangsung dan celah-celah yang bisa dimasuki jaringan teroris.
Untuk melengkapi pembacaan politik masa kini, Sebastianus Salang selaku pengamat politik memberikan gambaran-gambaran keadaan politik yang sedang menghangat dan prediksi pemilihan umum 2014.
Peran media juga turut memberikan kontribusi yang positif bagi pembangunan semangat dialog agama. Rikard Bagun, sebagai pelaku media mengatakan bahwa media berfungsi sebagai corong dan penguat isu permasalahan. Maka peran media menjadi sangat penting dalam mengembangkan pluralisme.
Sedangkan Efendi Gazali sebagai pengamat komunikasi mengatakan bahwa pembangunan citra positif tentang gerakan pluralisme sangat penting. Maka menurutnya, dialog yang saling membangun perlu diciptakan. Dialog harus memperhatikan kepentingan dan melibatkan publik. Upaya-upaya yang dibangun adalah pembangunan untuk semua.
Aspek hukum menjadi penting dalam melakukan advokasi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang terkait dengan hukum misalnya ketika komisi HAK menghadapi kasus pelanggaran pelaksanaan kebebasan beragama. Materi ini disampaikan oleh Denny Kailimang. Materi ini juga menunjukkan bahwa tim advokasi di tiap-tiap keuskupan mempunyai peranan penting mengingat banyak komisi HAK yang belum mempunyai tim advokasi.
Pastor Heru Prakosa SJ yang hadir sebagai observer mengatakan pentingnya membangun spiritualitas dialog di kalangan umat dan para calon serta pemimpin jemaat. Maka hal itu sangat dimungkinkan dengan mengadakan bulan dialog yang serupa dengan masa Adven atau Prapaskah. Untuk mewujudkan hal itu, kegiatan ini membutuhkan dukungan dari Gereja. Harapannya, ide ini bisa menjadi gerakan yang terpadu dan periodik bukan sekedar kegiatan. Ide serupa ini juga yang disarankan oleh Kardinal Jean-Louis Tauran beberapa saat lalu ketika melakukan kunjungan ke Indonesia.
Beberapa hal yang pantas mendapat perhatian adalah komunikasi. Komunikasi menjadi hal yang penting dalam membangun semangat dialog.
Sabtu, 13 Februari 2010
Misi Perdamaian Kardinal Tauran
Misi perdamaian dimulai. Kali ini Bapa Paus Benediktus XVI mengutus Presiden Dewan Kepausan Dialog Antar Agama Tahta Suci (PCID) Vatikan Kardinal Jean-Louis Tauran untuk mengunjungi Indonesia, negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.
Misi perdamaian dilaksanakan mulai tanggal 24 November hingga 2 Desember 2009. Kardinal Tauran mengunjungi beberapa kota di Indonesia seperti Jakarta, Denpasar, Makasar dan Yogyakarta. Selama lawatannya di Indonesia, Kardinal Tauran didampingi Duta Besar Vatikan untuk Indonesia Mgr Leopoldo Girelli dan Duta Besar Indonesia untuk Vatikan Suprapto Martosetomo. Mgr. J. Pujasumarta, Uskup Keuskupan Bandung pun menyertai kunjungan Kardinal Tauran bersama dengan Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (Komisi HAK KWI). Beberapa romo turut juga dalam kunjungan itu.
Selama kunjungannya tersebut, Kardinal Tauran juga dijadwalkan bertemu dengan tokoh-tokoh agama di Indonesia antara lain Ketua PB NU Hasyim Muzadi, Ketua Umum Muhammadyah Din Syamsuddin, Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) serta kunjungan ke Wahid Institute.
Dalam salah satu pertemuan di Jakarta, Kardinal mengatakan bahwa hubungan antar agama haruslah didasari toleransi, saling menghargai dan semangat untuk bekerja sama. Dalam hal ini, toleransi bukan sekadar untuk berusaha hidup berdampingan tanpa konflik namun rasa saling mengerti dan menyayangi berdasar cinta sesama. "Saling menghargai di sini bukan berarti harus mempercayai apa yang dipercayai orang lain, tapi menerima jalan yang dipilih orang lain. Dan kerja sama antar agama harus satu tujuan, melayani kemanusiaan, " katanya. Berbicara tentang misi, Kardinal Tauran mengatakan tujuan utama misi adalah memberikan pelayanan bagi kemanusiaan, bukan membuat orang berpindah agama. ”Apakah mereka mau pindah agama atau tidak mereka yang memutuskan," katanya.
Di Kuta, Bali, pada saat dialog antariman ”Peran Agama dalam Mewujudkan Perdamaian di Tengah Perbedaan” (28/11/09), Kardinal Tauran mengatakan bahwa hasil dialog antariman menjadi tanggungjawab bersama supaya sampai di tataran akar rumput demi terciptanya perdamaian sejati yang didasarkan pada tiga hal, yakni toleransi, saling menghormati, dan kerja sama.
Sementara itu ketika di Yogyakarta, Senin (30/11/09), Kardinal Tauran mengunjungi tiga tempat penting yaitu Universitas Islam Negeri (UIN) Kalijaga Yogyakarta, Candi Borobudur dan Keraton Yogyakarta. Di UIN Kalijaga, dalam kuliah umum, Kardinal menegaskan bahwa umat Kristiani dan Muslim mewakili 55% dari penduduk dunia dan konsekuensinya, apabila mereka soleh dan taat pada agamanya, mereka dapat melakukan banyak hal lagi untuk kebaikan bersama, perdamaian dan keselarasan di dalam masyarakat dimana mereka berperan sebagai anggota.
Acara hari itu dilanjutkan ke Candi Borobudur Magelang. Menurut Pastor Aloys Budi Purnomo Pr, Ketua Komisi Hubungan Antaragama Keuskupan Agung Semarang, candi Borobudur sengaja dipilih sebagai bentuk representasi terhadap keberadaan umat Buddha dan berbagai kegiatan keagamaannya. Kardinal berkeinginan kuat, memilih untuk mengunjungi Candi Borobodur daripada singgah ke tempat wisata religi umat Katolik seperti Sendangsono di Kulonprogo atau Gua Maria Kerep di Ambarawa.
Sore harinya, Kardinal mengunjungi Keraton Yogyakarta. Sultan Hamengkubuwana X menerima dengan ramah utusan dari Vatikan itu. Tempat pertemuan mereka harum oleh bunga melati yang ditaburkan dalam ruangan itu. Seraya meminum minuman paduan rasa teh dan jahe, mereka terlibat pembicaaraan mengenai dialog antaragama.
Dalam dialog itu, Sultan mengatakan bahwa dirinya mempunyai tugas untuk merengkuh agama-agama dan ras-ras apapun yang ada di Yogyakarta. ”Saya punya kewajiban untuk melaksanakan tugas tersebut karena ini merupakan dasar dari hakikat keberadaan Kraton,” ungkap Sultan.
Asisten Pribadi Kardinal Jean-Louis Tauran, Rev Markus Solo SVD mengatakan, Kardinal Tauran sengaja menghabiskan waktu satu pekan di Indonesia. Menurutnya, Indonesia sengaja dipilih karena dikenal sebagai negara yang tetap mampu menjaga kerukunan dan keharmonisan di tengah kehidupan warga negaranya yang berbeda-beda suku, budaya, dan agama.
Doa untuk Gus Dur di Tugu Muda Semarang
Doa untuk Gusdur
”Ngalap Berkah Tyas Dalem Sang Kristus”
Malam satu suro (18/12/09). Bau asap dupa menyengat di Gereja Hati Kudus Yesus Tanah Mas (HKYTM) Semarang. Di sana sudah tersedia tumpeng, jajan pasar, pisang dan ubi rebus, dan tidak ketingalan bubur suran yang gurih. Tentu tak ketinggalan kopi, teh, atau air minum dalam kemasan. Di antara keharuman dupa itu, doa-doa pun dilantunkan.
Ketika berbagai khalayak mengisi malam satu suro dengan aneka ritual seperti berendam, tapa bisu, menjamas pusaka, umat Katolik di Paroki HKYTM Semarang mengisi acara malam suro dengan ekaristi, adorasi dan sarasehan. Ekaristi dipimpin oleh Romo Aloys Budi Purnomo Pr dan Romo Aloysius Gonzaga Luhur Pribadi Pr.
Ekaristi dilaksanakan dalam bahasa Jawa. Romo serta beberapa umat lainnya mengenakan busana adat Jawa, beskap jangkep. Romo Aloys Budi Purnomo Pr mengenakan beskap ala Yogya dengan mondholan-nya. Lagu-lagu yang dilantunkan memakai bahasa Jawa yang diiringi dengan alat musik gamelan seperti Sumbering Karahayon dhawah Pangkur Pelog 6. Ada pula Dhandhanggula Palaran Pl 6. Bahkan, pembacaan ayat dari Injil Yohanes 14:1-7 dengan melantunkan Sekar Pocung Macapat Pl Barang. Uniknya, ekaristi ini juga dihadiri oleh umat Tionghoa. Mereka sangat antusias dalam mengikuti ekaristi satu suro itu.
Doa memasuki tahun baru 1 Sura 1943 Dal pun dilambungkan. Setelah ekaristi selesai, umat menikmati tumpeng, bubur suran, dan hidangan lain.
Acara yang tak kalah menarik adalah sarasehan yang bertema ”Ngalap Berkah Tyas Dalem Sang Kristus”. Dalam sarasehan itu, Romo Budi mengatakan bahwa bulan Sura dianggap sebagai bulan yang paling sakral oleh orang Jawa.
Peringatan Tahun Baru Jawa yang dikenal dengan “Malem 1 Suro” biasanya menjadi tradisi di Jawa dan Madura, terutama di bekas kekuasaan Mataram semasa pemerintahan Sultan Agung minus Jakarta, Banten, dan Banyuwangi (Blambangan).
Tahun Jawa yang dimulai 1 Suro ditetapkan oleh Sultan Agung, raja terbesar Mataram Islam yang berkuasa pada tahun 1613-1645. Sultan Agung menciptakan Kalender Jawa dengan memadukan Kalender Saka yang berasal dari India (penanggalan syamsiah-kamariah/candra-surya/luni-solar) dengan Kalender Hijriah asal Arab. Waktu itu Kalender Saka bertarikh tahun 1547 sementara Kalender Hijriyah bertarikh tahun 1035. Pada tahun 1625 Sultan Agung yang berusaha menyebarkan Agama Islam berusaha merangkul orang Jawa yang kala itu mayoritas memeluk agama Hindu-Budha yang menggunakan Kalender Saka.
Menurut tradisi dan kepercayaan Jawa, bulan Suro diwarnai oleh aura mistis dari alam gaib yang begitu kental melebihi bulan-bulan lainnya. Sama seperti dalam Tahun Masehi, setiap bulan memiliki keunikan dalam berbagai cara sudut pandang, demikian juga dalam Tahun Jawa.
Misteri 1 Sura terkait dengan salah satu pandangan dalam tradisi Jawa bahwa ada yang disebut dengan Sura Duraka. Disebut bulan Sura Duraka sebab pada bulan ini sering terjadi akumulasi kekuatan gaib yang bersifat negatif, sehingga melahirkan banyak korban bagi mereka yang tidak eling dan waspada. Akibatnya, muncul banyak musibah dan bencana melanda jagad manusia.
Pada umumnya, masyarakat melakukan ritual dengan kungkum, berebut air jamasan pusaka, tapa bisu, ziarah kubur, dan sejenisnya. Bagi umat Katolik, sebagai pengikut Yesus Kristus, semua tindakan itu tidak lagi diperlukan untuk menyambut 1 Suro. Kendati demikian, Gereja memberi ruang dan tempat yang selaras dengan iman Katolik bagi mereka yang masih menghayati tradisi Suran (menyambut 1 Suro). Maka, dilaksanakanlah inkulturasi iman Katolik. Salah satunya, melalui Perayaan Ekaristi. Perayaan Ekaristi adalah cara terbaik merajut inkulturasi iman Katolik dalam menyambut 1 Suro.
Titik temu antara ritual satu suro dengan ekaristi terletak pada pemahaman bahwa orang menyambut 1 Suro dengan berbagai ritual-kultural mereka pertama-tama demi memperoleh berkah! Bila “ngalap berkah” yang menjadi tujuan, maka, cara yang paling tepat dan benar bagi orang Katolik untuk “ngalap berkah” dalam menyambut 1 Suro adalah dengan mengikuti Perayaan Ekaristi.
Bahkan untuk ngalap berkah, adorasi pun dilangsungkan pada acara malam satu suro di Gereja HKYTM. Paus Benediktus XVI, juga menekankan makna Adorasi Ekaristi sebagai bagian hidup Gereja. “Hanya di dalam nafas sembah sujud melalui Adorasi, Perayaan Ekaristi sungguh menjadi hidup.... Komuni dan Adorasi tidak berada satu di samping yang lain, atau bahkan berlawanan, tetapi kesatuan yang tak terpisahkan.”
Dengan demikian umat Katolik yang masih merayakan tradisi Suran, bisa ngalap berkah Tyas Dalem Sang Kristus.
Antara Jihad dan Martir
Jihad sebenarnya bukan bagaimana mati bersama tapi sebaliknya, bagaimana hidup bersama-sama dengan siapapun. Sekarang banyak orang memandang jihad sebagai sesuatu yang menakutkan. Namun, masih ada orang-orang yang mempunyai persepsi salah mengenai jihad misalnya dengan melakukan bunuh diri. Hal itu rupanya juga membuat persepsi bagi orang lain bahwa jihad adalah seperti yang dilakukan mereka. Hal ini disampaikan oleh Dr. Imam Yahya dalam acara Diskusi bertema ”Jihad dan Kemartiran” di pastoran Gereja Hati Kudus Yesus Tanah Mas Semarang, Jumat (20/11/09).
Menurutnya, kesalahpahaman mengenai jihad dipicu oleh beberapa akar masalah. Pertama, pemahaman teks agama yang literalis. ”Jadi orang-orang memahami teks-teks Alquran apa adanya. Dia tidak pernah memahami bahwa teks itu datang pada situasi dan kondisi dimana Alquran itu diturunkan pada 1400 tahun yang lampau,” kata wakil ketua pengurus wilayah NU Jawa Tengah itu.
Kedua, pemahaman konsep jihad yang radikal lahir sebagai protes atas ketidakadilan yang menimpa umat Islam terutama ketidakadilan yang menimpa umat Islam Palestina.
Ketiga, pengaruh literatur yang menjadi bacaan doktriner. Hal itu nampak dari para pelaku bom bunuh diri yang sebenarnya korban pendoktrinan. Kaum muda yang terpengaruh doktrin tersebut mau melakukan bom bunuh diri misalnya di hotel JW Marriot dan Ritz Carlton belum lama ini.
Menurut Imam, secara umum jihad dikategorisasikan dalam 3 pengertian. Pertama, jihad dengan hati, maksudnya berjihad untuk memerangi hawa nafsu yang muncul dari dirinya sendiri. Kedua, jihad dengan harta benda, yakni mendermakan hartanya di jalan Tuhan. Ketiga, jihad dengan nyawa. Pengertian ketiga ini diartikan sebagai perang yang sesungguhnya, bellum justum dan bellum pium yakni perang demi keadilan dan perang demi kesalehan.
Sementara itu, Pastor Aloys Budi Purnomo, Pr sebagai narasumber kedua menegaskan bahwa kemartiran dibaca sebagai sebagai alat/cara untuk membaca masalah hidup kita bersama, masalah kebangsaan atau kemanusiaan. Gambaran mengenai kemartiran tidak harus dilakukan dengan kekerasan atau perjuangan yang menumpahkan darah. “Bagi saya dalam perspektif iman Katolik, martyria adalah satu bentuk pengalaman yang indah yang mengharukan, yang membuat orang lain yang melihat proses martir itu terjadi tersentuh jiwa, hati dan hidupnya,” kata Pastor yang menjadi Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang itu.
Kemartiran, menurutnya, juga bisa diwujudkan dalam hidup bersama yang saling menopang dalam konteks ketika kita mau menghadirkan kemartiran di tengah-tengah zaman modern ini. Ada tiga unsur yang sangat penting dalam mewujudkan kemartiran yaitu negara (state), sektor ekonomi (market), dan masyarakat warga (civil society). Itu menjadi tiga poros yang menentukan hidup bersama yang mempunyai cita-cita mewujudkan kesejahteraan bersama. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka diperlukan keseimbangan dengan saling mengontrol antar ketiganya, tidak ada dominasi atas satu terhadap yang lain atau kolusi dua poros melawan yang lain. Jika hal ini terjadi maka akan muncul ketunaadaban.
Lebih lanjut, Pastor Budi menekankan bahwa martyria dalam konteks kristiani tidak bisa dipisahkan dari kristologi karena martir pertamanya adalah Kristus. “Kristus yang menjadi victima (korban),” katanya. Martyria juga terkait dengan semangat untuk mewujudkan semangat kenabian, imam dan gembala.
Diskusi ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari pahlawan tanggal 10 Nopember lalu atas kerja sama antara Komunitas Pondok Damai, Komunitas Persaudaraan Sejati (Kompers), Mudika dan Seksi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Gereja Hati Kudus Yesus Tanah Mas Semarang, dan Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang (Komisi HAK KAS).
Label:
Interreligius
“The Role of Religions in Establishing Peaceful Coexistence in the midst of Diversity”
Berikut adalah materi yang disampaikan Kardinal Jean-Louis Tauran dalam kuliah terbuka di Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 30 November 2009.
(Peran Agama-agama dalam membangun hidup berdampingan yang damai di tengah-tengah keragaman)
Oleh KARDINAL JEAN-LOUIS TAURAN*
Yang terhormat Rektor, Civitas Akademika Sunan Kalijaga, yang terhormat Bapak Ibu hadirin sekalian.
Pertama-tama saya ingin mengungkapkan rasa syukur saya kepada Tuhan Yang Mahapengasih dan Mahabesar yang telah memberikan rahmat bagi kita untuk dapat bertemu di negeri yang sanjavascript:void(0)gat ramah ini, yang kaya akan keanekaragaman suku, tradisi, budaya dan agama. Indonesia jelas merupakan contoh bahwa keselarasan dapat sejajar dengan keanekaragaman. Ijinkan saya untuk mengucapkan “Terima Kasih” untuk sambutan hangat Anda di Universitas Sunan Kalijaga ini.
Saya pun ingin mengungkapkan kegembiraan saya untuk berada di sini sebagai Presiden Dewan Kepausan Dialog Antar-agama (Pontifical Council for Interreligious Dialogue/PCID) di Vatikan untuk mengunjungi universitas ini dan untuk bersama dengan Anda, Rektor Prof. Dr.H.M.Amin Abdullah, para profesor dan juga mahasiswa serta sahabat-sahabat universitas ini.
Dalam kesempatan yang sangat berharga ini, saya ingin berbicara tentang basis dan pemahaman teologi Katolik mengenai peran agama-agama dalam membangun hidup berdampingan yang damai di tengah-tengah keragaman.
Kita semua sedang menghadapi realitas bahwa kita membangun tatanan masyarakat multikultural dan multiagama. Hal ini merupakan pernyataan yang jelas. Tidak ada masyarakat yang secara religi bersifat homogen. Di Eropa, sejak Taman Kanak-kanak dan seterusnya, anak-anak muda bahu-membahu bersama-sama dengan orang-orang dari berbagai asal-usul dan latar belakang agama yang berbeda-beda. Tidak ada yang mengejutkan tentang hal ini apabila orang kemudian merenungkan apa yang ditulis oleh Paul Tillich: “Agama merupakan substansi budaya” (dalam Théologie de la culture éd. Placet 1978 p.92; [Theology of Culture, 1959]. Sejarah tidak mengenal budaya-budaya yang tidak beragama.
Sehingga kita pun dipanggil pada sebuah dialog. Apakah dialog itu? Dialog merupakan upaya untuk mencari kesalingmengertian di antara dua orang dengan pandangan tentang sebuah interpretasi yang sama terhadap persetujuan mereka atau ketidaksetujuan mereka. Hal ini menyiratkan sebuah bahasa yang sama, kejujuran dalam pengutaraan posisi seseorang dan keinginan untuk melakukan yang terbaik untuk mengerti sudut pandang orang lain.
Dalam penerapan dialog antaragama, perkiraan maupun sangkaan-sangkaan ini dapat lebih mudah dipahami, bahwa dalam konteks agama bukan merupakan pertanyaan tentang menjadi “baik” kepada orang lain untuk menyenangkan hati mereka! Bukan juga merupakan sebuah negosiasi: Bahwa saya menemukan solusi untuk masalah-masalah yang ada dan kemudian pembicaraan ditutup. Dialog antar agama merupakan sebuah pertanyaan untuk mengambil suatu risiko, tidak menerima situasi dan menyerahkan keyakinan-keyakinan diri sendiri namun membiarkan diri untuk terpanggil ke dalam pertanyaan oleh keyakinan yang dimiliki orang lain dan menerimanya dalam pertimbangan argumentasi-argumentasi yang berbeda dari yang dimiliki atau yang berlaku dalam komunitas seseorang. Semua agama masing-masing di jalannya masing-masing berusaha untuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan mengenai kondisi manusia. Setiap agama memilki identitasnya masing-masing namun identitas ini memampukan saya untuk memasukkan agama yang lain ke dalam pertimbangan saya. Dari hal semacam inilah dialog kemudian lahir. Identitas, perbedaan dan dialog berjalan bersama.
Iman Kristiani saya menyatakan bahwa Yesus adalah “terang sejati yang menerangi setiap orang yang datang ke dunia” (Yoh 1:9). Hal ini mengartikan bahwa di dalam setiap manusia terdapat terang Kristus. Sebagai konsekuensinya setiap hal positif yang terdapat di agama-agama hadir dengan ‘bayangan’. Semua hal positif memiliki kesamaan di dalam cahaya terang yang menerangi semuanya. Seseorang kemudian dapat mengerti dengan lebih baik mengenai prolog Nostra Aetate dan dokumen “Dialogue and Proclamation”: segala sesuatu yang benar dan kudus di setiap agama diterima, dikuatkan dan dituntun pada penyelesaiannya di dalam Kristus. Hal ini adalah penalaran dari inkarnasi yang menyucikan dan memuliakan manusia. Namun demikian, kita harus berhati-hati: kita tidak mengatakan bahwa “semua agama memiliki nilai yang sama”. Yang kita katakan adalah “Semua yang mencari Allah memiliki martabat yang sama”
Tujuan dari Dewan Kepausan Dialog Antar-agama yang didirikan oleh Paus Paulus VI pada hari Pentakosta tahun 1964 adalah untuk menerapkan visi yang muncul dari adanya Pernyataan Nostra Aetate (Deklarasi terpendek dari dokumen Konsili Vatikan II) yang memiliki tiga sasaran: Pertama, untuk meneruskan saling memahami, menghormati dan bekerjasama di antara umat Katolik dan umat-umat beragama non-Kristiani. Kedua, untuk mendorong dan bekerjasama dalam mempelajari agama-agama ini. Ketiga, untuk mendorong pendidikan bagi umat yang ditujukan bagi dialog antar agama.
Menjadi hal yang penting untuk menegaskan bahwa para pelaku dari dialog ini bukanlah orang-orang yang resmi dari konggregasi kami namun anggota-anggota dari para pastor gereja-gereja setempat. Kami hanya membantu mereka dalam hal memberikan pengetahuan doktrin yang benar dan bekerjasama di antara umat yang terpanggil untuk semakin dekat pada kehendak Allah. Jenis dialog yang dimaksud secara esensial merupakan kegiatan religius.
Dewan kami tersusun sebagai berikut. Pertama, kelompok peserta adalah para Kardinal dan Uskup dari berbagai negara yang bertemu di Sidang Pleno setiap dua/tiga tahun. Kedua, sebuah kelompok Konsultor yang tediri dari 30 tenaga ahli/spesialis dari mana pun. Ketiga, staf kongregasi.
Kesemuanya ini berusaha untuk mengikuti jalur yang telah ditandai oleh Bapa Paus Benediktus XVI: “untuk mempelajari misteri Allah dalam terang tradisi dan kebijaksanaan agama kita sehingga dapat melihat nilai-nilai yang menerangi laki-laki dan perempuan dari seluruh umat manusia di dunia, apapun budaya dan agama mereka. Bersama dengan semua orang yang berkehendak baik, kita mencita-citakan perdamaian. Itulah sebabnya mengapa saya menekankan sekali lagi bahwa penelitian antaragama dan budaya bukanlah sebuah pilihan, namun merupakan kebutuhan yang vital di jaman kita sekarang ini” (Sambutan kepada anggota-anggota Yayasan Penelitian dan Dialog Antaragama dan Antarbudaya, 1 Februari 2007).
Merupakan hal yang penting untuk selalu kembali kepada Nostra Aetate, terutama paragraf 2 dan 3 yang menyatakan bahwa Gereja Katolik tidak menolak apapun yang dianggap benar dan suci di dalam agama-agama ini. Gereja sangat menghormati tata kehidupan dan melakukan pengajaran dan doktrin yang meskipun berbeda dalam banyak hal dengan pengajarannya sendiri, namun demikian sering memancarkan cahaya kebenaran yang menerangi semua orang. Gereja pun menyatakan dan dalam tugasnya harus menyatakan tanpa keliru, Kristus yang merupakan “Jalan, Terang dan Hidup” (Yoh 1:6). Di dalam Dia, di dalam pribadi yang Allah telah menyatukan segala sesuatunya kepada diri-Nya (II Kor 5:18-19), manusia menemukan kepenuhan hidup religiusnya. Dan menjadi penting untuk menyebutkan hubungan khusus yang menyatukan umat Kristiani dan Muslim yang menyembah Allah yang satu, hidup dan menghidupi, pengampun dan mahabesar yang juga berbicara kepada manusia. Demikian halnya dengan hubungannya dengan bangsa Yahudi, yang darinya Gereja menerima pewahyuan Perjanjian Lama yang juga merupakan suku bangsa “yang secara badaniah” juga merupakan suku dari Kristus dan para pengikutnya.
Kemudian seseorang mengerti lebih baik sebagaimana dinyatakan dalam Ensiklik Redemptoris Missio (7 Desember 1990) bahwa dialog antaragama tidak didasari atas pertimbangan taktik maupun kepentingan pribadi, namun dituntut oleh penghormatan yang dalam untuk segala sesuatu yang telah dibawa dalam pribadi manusia oleh Roh yang ditiupkan dimana Ia berkehendak. Sehingga melalui dialog, Gereja mencoba untuk membuka “Benih-benih Sabda”, sebuah pancaran kebenaran yang menerangi seluruh umat manusia. Hal-hal ini ditemukan di dalam pribadi manusia dan di dalam tradisi antaragama umat manusia. Sebagai konsekuensinya, agama-agama menetapkan tantangan positif bagi Gereja sendiri: Mereka merangsangnya dengan menemukan dan mengakui tanda-tanda kehadiran Kristus dan karya Roh Kudus, dan juga melihat semakin dalam lagi mengenai identitas-Nya dan untuk menjadi saksi pada penggenapan Kitab Wahyu yang ia sendiri telah menerimanya untuk kebaikan semua orang yang telah diterima Gereja bagi kebaikan semua orang.
Seseorang dapat berkata bahwa dari akhir Konsili Vatikan hingga jaman sekarang ini, umat Katolik telah bergerak dari tatanan toleransi hingga tiba pada dialog saat berjumpa. Dialog akan hidup: hubungan baik dengan umat non-Kristiani yang mendorong untuk berbagi kegembiraan dan kesulitan-kesulitan. Dialog akan karya: kerjasama dengan pandangan harkat hidup dari kedua kelompok terutama mereka yang hidup sendiri dalam sakit dan kemiskinan. Dialog akan spiritualitas yang menyediakan kekayaan doa dari keduanya untuk seluruhnya di dalam kedua kelompok. Dialog antaragama, oleh sebab itu menggerakkan semua orang yang berada dalam jalan mereka menuju kepada Allah atau menuju pada sesuatu yang bersifat mutlak.
Mereka yang percaya, yang meneruskan dialog ini jangan sampai terlewatkan tanpa diketahui. Mereka adalah kekayaan yang dimiliki olah masyarakat. Sejak masyarakat berpegang teguh pada sebuah agama yang merupakan mayoritas, maka ada sebuah fakta religius yang esensial pada tingkat tertentu bahwa keyakinan agama dipraktikkan di tengah-tengah komunitas. Atas dasar jumlah, lama tradisi, keberwujudan yang tampak dari institusi-institusi dan tata cara ritual mereka, para penganut agama ini hadir dan dapat diketahui identitasnya. Mereka dihargai atau ditentang namun mereka tidak pernah tidak berbeda, yang membawa pemimpin-pemimpin mereka untuk berhubungan dengan komunitas penganut yang lain tanpa kehilangan identitas mereka dan untuk berjumpa satu dengan yang lain tanpa bersikap antagonis satu dengan yang lain. Pemerintah harus mencatat fakta religius ini, mengawasinya untuk menjamin terlaksananya penghormatan kebebasan pandangan dan agama mereka dan hanya melakukan intervensi apabila kebebasan ini mengganggu kebebasan penganut yang lain atau mengganggu tatanan dan kesehatan publik.
Namun menjadi hal yang lebih positif lagi, karena hal ini selalu menjadi perhatian para pemimpin masyarakat untuk mendorong dialog antaragama dan untuk menggambarkan warisan moral spiritual dari agama-agama untuk berbagai nilai yang memberikan sumbangan pada keselarasan mental, untuk mempertemukan budaya-budaya dan untuk konsolidasi akan kebaikan yang sama. Lebih lanjut lagi, semua agama dalam cara yang berbeda mendesak para pengikutnya untuk bekerjasama dengan semua pihak yang berusaha untuk, pertama, memastikan penghormatan terhadap martabat manusia dan hak-hak dasarnya. Kedua, mengembangkan sebuah semangat persaudaraan dan saling membantu. Ketiga, menggambarkan inspirasi dari “know-how” dari komunitas penganut yang setidaknya sekali dalam seminggu mengumpulkan jutaan orang dalam konteks penyembahan kepada Allah dalam kebersamaan spiritual yang otentik. Keempat, membantu pria dan wanita jaman sekarang ini untuk menghindari perbudakan oleh gaya hidup konsumerisme dan keuntungan semata-mata.
Untuk menyimpulkannya kemudian, pada pertanyaan: “Dialog antaragama: sebuah risiko atau sebuah peluang? Saya jawab keduanya. Apabila memang demikian, Anda mungkin akan bertanya: ”Mengapa bisa terjadi bahwa agama-agama membuat khawatir orang-orang?”
Saya jawab bahwa kita seharusnya tidak perlu khawatir pada agama-agama. Agama-agama pada umumnya mengajarkan persaudaraan! Orang-orang yang mengikutinya yang perlu kita khawatirkan. Merekalah yang dapat membelokkan agama dengan menempatkan agama tersebut pada rancangan-rancangan yang jahat. Fanatisme agama misalnya, merupakan sebuah pembelokan agama, demikian juga denagn terorisme yang mengatasnamakan nilai-nilai agama. Para pemuka agama harus memiliki keberanian untuk mengutuk dan memangkas “tumor-tumor” ini.
Sayangnya, bagaimanapun faktor-faktor lain turut memberikan sumbangan pada kekhawatiran agama-agama ini, misalnya: pertama, kenyataan bahwa seringkali kita tidak peduli terhadap isi agama-agama lain. Kedua, kenyataan bahwa kita tidak pernah berjumpa dengan penganut agama-agama lain. Ketiga, sikap diam kita saat berhadapan dengan penganut lain dengan alasan sederhana bahwa kita tidak cukup jelas dengan pemikiran-pemikiran agama kita sendiri.
Lebih jauh lagi, kesulitan-kesulitan juga ditemui dalam menerapkan keyakinan oleh para penganut minoritas di negara-negara dimana agama mayoritas memiliki keistimewaan karena sejarah atau hukum yang berlaku.
Untuk memperbaiki situasi seperti ini, menjadi hal yang penting untuk, pertama, memiliki identitas yang jelas: mengetahui sesorang meyakini apa atau siapa. Kedua, mempertimbangkan bahwa penganut lain bukanlah pesaing, namun pencari Allah juga. Ketiga, menyetujui untuk berbicara tentang apa yang memisahkan dan nilai-nilai apa yang menyatukan kita.
Saya juga ingin menunjukkan beberapa wilayah yang konkret dimana umat Kristiani dan Muslim dapat bersama-sama secara aktif memberikan sumbangan bagi kebaikan bersama di dalam masyarakat.
Pertama, dengan bersaksi akan kehidupan doa baik secara individu maupun komunal yang akan mengingatkan bahwa “Manusia tidak dapat hidup hanya dengan makanan jasmani saja”. Di dunia kita sekarang ini, menjadi hal yang diperlukan untuk menekankan dan menunjukkan kebutuhan akan sebuah susunan interior hidup.
Kedua, umat Muslim, Kristiani dan pengikut-pengikut agama lain dapat membantu untuk memahami dengan lebih baik bahwa kebebasan beragama memiliki arti yang jauh lebih baik daripada sekedar menghapus sebuah bangunan gereja atau sebuah masjid (hal ini jelas dan sesuatu yang sukar dipertanyakan) dan juga memiliki kemungkinan untuk mengambil bagian dalam dialog publik melalui kebudayaan (di sekolah atau universitas-universitas) dan juga melalui tanggungjawab sosial politik dimana para penganut dapat menjadi model-modelnya.
Ketiga, bersama-sama umat Muslim dan Kristiani serta penganut agama lain tidak boleh ragu-ragu untuk membela kesucian hidup umat manusia dan martabat keluarga.
Keempat, mereka tidak boleh berdiam diri dalam upaya-upaya untuk memerangi kemiskinan, ketidakadilan sosial, ketidakmampuan dan sakit-penyakit.
Kelima, mereka memiliki tanggung jawab yang sama dalam menyediakan formasi moral bagi kaum muda.
Keenam, akhirnya, mereka harus menjadi penjaga perdamaian dan mengajarkan pendidikan tentang damai di dalam keluarga, gereja, masjid, sekolah-sekolah dan universitas-universitas.
Dalam Surat Terbuka dari 138 pemuka Muslim yang ditujukan kepada pemuka-pemuka Kristiani, menjadi kesempatan untuk menegaskan bahwa umat Kristiani dan Muslim mewakili 55% dari penduduk dunia dan konsekuensinya, apabila mereka soleh dan taat pada agamanya, mereka dapat melakukan banyak hal lagi untuk kebaikan bersama, perdamaian dan keselarasan di dalam masyarakat dimana mereka berperan sebagai anggota.
Konteks semacam ini sangat diharapkan untuk mengatasi dengan lembut mengenai topik lama yang dapat menjadi duri: pertanyaan tentang hak seseorang, prinsip kebebasan, hati nurani, agama, hubungan timbal balik dalam kaitannya dengan penyembahan kepada Allah.
Terakhir, yang menyebabkan kekhawatiran adalah kurangnya pengetahuan tentang agama lain. Menjadi hal yang penting bagi kita untuk pertama-tama mengenal satu dengan yang lain dan mengasihi satu sama lain. Hal ini merupakan kehendak Allah. Sebagaimana Paus Benediktus XVI mengatakannya di Turki: “Kita dipanggil untuk bekerja bersama sehingga dapat membantu masyarakat untuk membuka dirinya sendiri kepada Allah yang Mahakuasa, memberikan tempat kepada-Nya.”
Akhir kata, saya ingin sampaikan bahwa umat Kristiani dan Muslim merupakan pembawa dua pesan penting. Pertama, hanya Allah yang patut disembah. Sehingga semua berhala yang diciptakan oleh manusia (kekayaan, kekuatan, penampilan, hedonisme) merupakan bahaya bagi martabat pribadi manusia sebagai ciptaan Allah.
Kedua, dalam pandangan Allah, semua laki-laki dan perempuan merupakan bagian dari suku yang sama, keluarga yang sama. Mereka semua dipanggil kepada kebebasan dan berjumpa dengan-Nya setelah ajal.
Berdasarkan undang-undang, Indonesia merupakan sebuah negara yang meletakkan kesederhanaan falsafah bangsa: PANCASILA sebagaimana dinyatakan di dalam Undang-undang Dasar. Penerimaan yang sama terhadap Pancasila dalam pluralitas yang besar ini, meskipun ada upaya-upaya untuk mengerdilkan pengaruhnya, menunjukkan akar yang dalam akan pluralitas yang hidup dan di saat yang sama menunjukkan kehendak baik dari seluruh warga negara untuk menjaga kebersatuan dalam kebhinekaan ini. Di bawah Pancasila, seluruh pengikut dari agama-agama yang berbeda-beda, budaya dan suku yang ada menjadi setara, memiliki martabat dan hak yang sama dalam menikmati kekayaan negeri yang kaya dengan pluralitas ini, yang telah menjadi kehendak dari Allah sendiri.
Oleh sebab itu, saya tidak dapat berbuat lain selain berdoa agar Pancasila tetap menjadi landasan dan falsafah bagi Anda di negara ini, sekarang dan di masa yang akan datang.
Kalau saya boleh mengutarakan, penganut agama merupakan nabi-nabi harapan. Mereka tidak dapat hidup dalam nasib. Mereka tahu kalau dikaruniai oleh Allah hati dan akal budi. Dengan bantuan-Nya mereka dapat mengubah sejarah untuk menyelaraskan hidup sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Sang Pencipta: lebih jelas lagi untuk menjadikan peradaban ini sebagai keluarga otentik dimana seluruh manusia menjadi anggotanya. Kami sebagai umat Kristiani harus selalu ingat dengan Surat Paulus kepada umat di Roma: “Untuk itu, biarlah tujuan kita haruslah selalu untuk hal-hal yang menciptakan kerukunan dan saling membangun (Rom 14:19)”. Tentunya menjadi petunjuk yang indah bukan?
Namun seperti yang telah disinggung, kita haruslah tetap rendah hati. Kita belum menjelaskan Allah! Kita harus berhenti pada misteri, “Misteri Allah dimana manusia direngkuh, dan bukannya merengkuh, dimana manusia menyembah dan bukannya menjelaskan, dimana ia sendiri dikuasai, dan bukannya menguasai” (Karl Rahner). Terima kasih.
Diterjemahkan oleh Blasius Panditya
Label:
Spiritualitas Dialog
Langganan:
Postingan (Atom)
Entri Populer
-
Oleh Aloys Budi Purnomo Pr, M.Hum Saya dengan sengaja tidak menggunakan kata “kedamaian” sebagaimana dipakai panitia. Secara normatif unive...
-
Fiat Voluntas Tua! (Terjadilah padaku menurut kehendak-Mu) merupakan ungkapan terkenal dari Maria. Umat Katolik tentu sangat mengenal Mar...
-
Tanggapan Gereja-Gereja terhadap Pekan Doa Sedunia untuk Kesatuan Umat Kristiani (PDS KUK) 2013 sangat luar biasa. Selain mendoakan sela...
-
Oleh Aloys Budi Purnomo Pr ADA dua kisah naratif yang inspiratif untuk merawat kebhinnekaan. Mgr. Johannes Pujasumarta, Uskup Keuskupan Agun...
-
Malam satu suro (18/12/09). Bau asap dupa menyengat di Gereja Hati Kudus Yesus Tanah Mas (HKYTM) Semarang. Di sana sudah tersedia tumpeng, j...
-
Romo J Sudrijanta, SJ memberikan penjelasan tentang Meditasi tanpa Objek Para peserta mengaku kesulitan ketika mempraktikkan meditasi...
-
PROFIL KOMISI HUBUNGAN ANTARAGAMA DAN KEPERCAYAAN KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG Oleh Aloys Budi Purnomo Pr Ketua Komisi Hubungan Antaragama ...
-
Dengan berjalan pelan, para pendeta dan pastor me nuju altar Gereja Hati Kudus Yesus Tanah Mas Semarang. Sementara itu lagu Taize “Tinggalla...
-
“APA YANG TUHAN TUNTUT DARI KITA?’ ( Bdk . Mi k h a 6:6-8) Pekan Doa Sedunia untuk Kesatuan Umat Kristiani 18-25 Januari 20...