Tebat VI diadakan pada tanggal 12-13 Oktober 2002 di Padepokan Kopi Eva, Bedono, Ambarawa. Tema yang diangkat adalah “Pencerahan Kebatinan Jawa Dalam Terang Iman” dengan nara sumber Rama Ign. Kuntara Wiryamartana SJ, yang menyampaikan makalah “Simbol-simbol Jawa yang Masuk Dalam Adat Tata Cara Katolik”. Simbol Jawa mana saja yang sudah dimasukan dalam adat tatacara Katolik? Yakni adalah pada waktu slametan “Metu–Manten–Mati”. Apa lagi yang akan masuk? Pada dasarnya budaya Jawa yang sudah sangat dipengaruhi Wirid (Wejangan) Islam, oleh orang Jawa Katolik ditumpangi dengan ibadat, kitab Suci, Misa, dsb.
Tujuan dimasukkannya simbol-simbol itu agar sebagai orang Katolik kita bisa selalu lumrah dalam hidup bermasyarakat, misalnya pada bulan Ruwah pergi ziarah/sowan pesarean, atau pada peringatan arwah (3,7,40,100 hari, mendhak 1, 2 sampai dengan nyewu). Sekali lagi biar sebagai wong Jawa “dadi lumrahe wong” sebab apabila dari sisi Gereja , mendoakan arwah selalu dilakukan setiap hari dalam Misa Harian(Bojana Ekaristi).
Demikian juga tentang Ruwatan, dilakukan karena adanya keprihatinan dari para orang tua terhadap masa depan anak. Jadi bila diadakan Misa dengan ujub ruwatan, semata-mata karena pelayanan pastoral Gereja terhadap keprihatinan para orang tua terhadap putra-putrinya.
Arti keprihatinan di sini sangat luas. Keprihatinan ada yang sudah “dibawa” sejak kelahiran anak, ataupun karena dari perbuatannya. Maka hendaknya kita membiarkan mereka bila melakukan/ikut ruwatan, tidak perlu disalahkan atau dilarang. Bukankah ungkapan keprihatinan orang itu juga bermacam-macam bentuknya. Maka hendaknya dilihat saja secara positif sebagai sebuah “ungkapan sikap” yang muncul dari keprihatinan orang tua. Khusus dalam Misa dengan ruwatan, Rama atau Imam juga memakai mantram seperti para dalang bila melakukan ruwatan. Mantram yang dibacakan adalah bacaan dalam Injil, yaitu Injil Yohanes bab 17 ”Doa Yesus kepada para murid”.
Banyak komentar atau pertanyaan muncul dari para peserta. Rama Kuntara mengatakan bahwa yang boleh atau berhak meruwat di kalangan Katolik adalah siapa saja yang dituakan oleh orang yang punya hajat. Kalau dengan Misa tentu saja Misa dipersembahkan oleh rama atau imam (yang ngruwat bisa oleh rama atau oleh mereka yang dituakan). Perihal tafsir umat yang berbeda-beda terhadap budaya lokal yang masuk dalam tatacara dan ibadat Katolik harus kita hargai, karena ini adalah sebuah proses. Sesungguhnya, baik agama maupun budaya (misalnya ruwatan) adalah sama-sama budaya, sehingga sangat mungkin untuk dipadukan.
Perlu disadari bahwa sebelum kita semua menjadi Katolik terlebih dahulu kita adalah orang Jawa yang suku Jawa, orang Batak yang dari Batak, Cina yang keturunan Cina dsb, sehingga setelah menjadi Katolik pun kita yang orang Jawa harus tetap Jawa. Yang harus kita perhatikan adalah kita harus mampu membedakan mana yang isi, dan mana yang kulit. Rama Subanar menambahkan bahwa budaya memiliki tiga hal pokok yakni cita-cita, idealnya atau filosofinya, dan ada pelakunya atau organisasi yang mengejawantahkan, ada ekspresinya atau ubarampe yang menjadi sarana pengejawantahan/simbol. Semua ini nampak sekali dalam setiap upacara Metu-Manten-Mati.
Materi kedua disampaikan oleh Rm. Sindhunata, SJ dengan thema “Mistik dan Budaya Jawa”. Makalah yang disajikan berjudul “Matahari Terbit dari Barat”, sebuah hasil wawancara Romo Sindhunata dengan Ki Dalang Manteb Sudarsono.
Romo Sindhunata menyampaikan kisah perjalanan spiritual pribadi Rama Sindhunata sejak dia masih frater. Pada dasarnya laku orang Jawa umumnya adalah “nganut neting rasa” atau mengikuti kata hatinya, perasaanya. Dalam sesi itu, Rama Sindhunata bercerita tentang ia ngangsu kawruh dan laku kemana saja, berguru kepada siapa saja seperti wong ampuh, antara lain, Ki Dalang Joyo Kandar dari Borobudur, juga memperoleh beberapa sipat kandel dan “Aji Jono Woyo” yang berkhasiat sukses menggarong, tetapi tidak pernah ditamatkan oleh Rama Sindhu.
Dari hal-hal yang disampaikan oleh Rama Sindhunata, ada beberapa bagian yang dapat dijadikan pelajaran, yakni:
Pertama, “Apabila agama meninggalkan budaya, itu adalah fatal”, contohnya adalah perumpamaan orang yang menanamkan iman kepada seseorang bagai menanam tiang listrik beton dengan semen. Hasilnya tiang dapat berdiri kokoh tetapi gersang dan panas. Lain halnya dengan orang menanam pohon yang kecil, selalu didhangir, dienik-enik, sehingga tumbuh rimbun, menyegarkan, serta bisa untuk berteduh setiap orang yang membutuhkan.
Kedua,Ada perbedaan hasil dan sikap dalam memandang budaya Jawa, antara orang yang terlibat dengan budaya Jawa secara tiba tiba dengan mereka yang melalui proses panjang dalam hidupnya.
Ketiga, Iman itu sesuatu yang tidak pernah jelas, bagai orang berjalan dalam kegelapan, selalu muk-mukan, inilah yang disebut sebuah misteri. Hendaknya, dalam hidup ini, kita selalu mengikuti “Ngelmu kodhok, teko-teko ndodhok”, yang artinya selalu rendah hati, andhap ashor. Apabila dia adalah “kodok ijo” (lambang orang yang baik), dia pun siap ditangkap untuk disembelih dan disantap, tetapi kalau dia adalah “kodok mbengkerok”, pasti hanya dihindari orang/ditendang karena dinilai tidak berguna.
Keempat, sampai batas ketidakberdayaan manusia, yakinlah pasti Gusti akan mengambil alih persoalan dan mengabulkan permohonan, menyelamatkan dari jurang kesengsaraan! Dalam beriman itu kita harus selalu baru, tumbuh berkembang. Maka jangan mudah merasa puas apabila sudah memiliki gereja, mempunyai panduan ibadat, mempunyai liturgi, dan mempunyai Rama, dsb.
Kelima,pada saat laku untuk neges kersa Dalem lan ngemban dhawuh Dalem jangan mengisolir diri, jangan merasa puas dan merasa diri paling benar.
Keenam, hendaknya selalu berani untuk tetap beriman pada Kristus walau dalam laku hidupnya tidak memperoleh apa-apa atau bahkan tidak memperoleh tanda-tanda apapun di dalam hidupnya.
Kedelapan, bahwa hidup mistiklah yang akan menentukan hidup Gereja ke depan untuk tetap jaya, bukan karena yang lain-lain.
Kesembilan, pengalaman hidup fantastis sangat berguna untuk menggenapi lelakoning urip. Namun, terkadang kita tidak memperoleh materi apa-apa dalam hidup beriman, hidup kita tetap gelap, tidak jelas. Itulah sebuah misteri. Namun, walaupun demikian, semuanya tetap indah. Masihkah beriman, walaupun pada saat tidak ada tanda-tanda yang membuat jelas?
Kamis, 08 Oktober 2009
Senin, 05 Oktober 2009
Tebat V
Tanggal 14-15 Oktober 2001 di Padepokan Kopi Eva Bedono, Ambarawa. Acara ini diisi dengan sharing dari paguyuban-paguyuban: Manunggal Sejati dari Semarang, Kebatinan Santo Yohanes dari Magelang , Kawatan dari Solo, Bantala Aji dari Bantul, Kawula Ngayogyakarto, Tri Suci dari Pringwulung Yogyakarta, Paguyuban Tri Luhur dari Keuskupan Purwokerto. Dalam Tebat ini juga hadir Bapak Uskup Agung Keuskupan Agung Semarang, Mgr. I. Suharyo untuk memberikan peneguhan. Kalau dalam Tebat biasanya diikuti antara 100–175 orang peserta, kali ini terjadi lonjakan fantastis, tercatat hadir 319 orang, dari Kevikepan Semarang 184, Kedu 17, Surakarta 44, DIY 48, dari luar KAS 26 orang peserta. Bukan main ya? Sembah nuwun Gusti, sembah nuwun Monsinyur!
Tebat IV
Tanggal 30 September -1 Oktober 2000 di Padepokan Kopi Eva Bedono, Ambarawa. Tema: “Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryamentaram”. Dibabar oleh Rama Kuntara Wiryamartana, SJ, yang mengurai lewat denah pegangan guna pemahaman, yaitu gambar “Kramadangsa” : Siapa aku ini? Ada 4 dimensi, yakni 1. Juru Catat 2. Catatan-Catatan 3.Kramadangsa 4. Manungsa tanpa ciri yang merupakan gambaran jiwa sehat 100 persen.
Jumat, 02 Oktober 2009
Teologi Katolik dan Semangat Perdamaian
Oleh Aloys Budi Purnomo Pr, M.Hum
Saya dengan sengaja tidak menggunakan kata “kedamaian” sebagaimana dipakai panitia. Secara normatif universal, yang sering dipakai bukan “kedamaian” melainkan “perdamaian” (peace). “Kedamaian” lebih menunjuk pada sifat hati yang tenang dan teduh secara pasif-personal, sedangkan “perdamaian” lebih dinamis menunjuk pada perjuangan terkait dengan keadilan dan lebih bersifat aktif-sosial. Maka, untuk seterusnya, dalam refleksi ini, kata “perdamaian” yang saya pergunakan sebagai ganti “kedamaian”.
Adalah seorang suci, bernama Fransiskus Asisi (1182-1226). Seorang seorang suci, ia juga menjadi tokoh perdamaian dalam Gereja Katolik. Ia mengunjungi Sultan Almalik-al-Kalim di Mesir pada tahun 1219. Ia dikenal sebagai pelindung alam terhadap pencemaran dan dihormati banyak orang bukan-Katolik sebagai pembawa perdamaian. Ia mewariskan kalimat yang sangat terkenal: Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai. Kalimat itu menjadi inspirasi doa perdamaian yang sangat indah dan masih didoakan jutaan orang sedunia dalam berbagai bahasa.
Dalam bahasa Indonesia, doa perdamaian yang berinspirasikan warisan kalimat damai Santo Fransiskus Asisi berbunyi demikian: Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai, bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa cinta kasih. Bila terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa pengampunan. Bila terjadi perselisihan, jadikanlah aku pembawa kerukunan. Bila terjadi kebimbangan, jadikanlah aku pembawa kepastian. Bila terjadi kesesatan, jadikanlah aku pembawa kebenaran. Bila terjadi kecemasan, jadikanlah aku pembawa harapan. Bila terjadi kesedihan, jadikanlah aku sumber kegembiraan. Bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang. Tuhan, semoga aku lebih inhin menghibur daripada dihibur, memahami daripada dipahami, mencintai daripada dicintai; sebab dengan memberi kami menerima, dengan mengampuni kami diampuni, dengan mati suci kami bangkit lagi untuk hidup selama-lamanya. Amin.
Dalam semangat dan dilandasi doa itulah, refleksi berikut ini saya buat, semoga berguna bagi semua pihak yang berkepentingan dan kian terwujudlah perdamaian untuk umat manusia seluruh muka bumi ini. Selamat menikmati sajian ini.
PENDAHULUAN
Secara fundamental, teologi dalam perspektif agama (Gereja) Katolik adalah ilmu (tentang) iman. Iman yang dipertanggungjawabkan dengan akal budi (fides querens intelectum), itulah inti teologi. Maka, setiap pertanggungjawaban iman dalam kehidupan merupakan tindakan berteologi. Namun, dalam teologi, iman yang dipertanggungjawabkan bukanlah iman individual (perseorangan) melainkan iman yang dihayati dan diamalkan bersama dalam kehidupan. Oleh karena itu, dalam pandangan Gereja Katolik, teologi selalu mempunyai hubungan dengan Gereja sebagai persekutuan jemaat/umat beriman. Teologi tidak pernah lepas dari kehidupan umat. Karenanya, bahasan mengenai teologi Katolik dan semangat perdamaian selalu tidak lepas dari yang disebut penghayatan dan pengamalan iman dalam konteks hidup sehari-hari.
Pada bagian ini, akan saya uraikan serba singkat pengertian teologi Katolik dan bagaimana teologi itu dikembangkan dalam semangat inklusif. Karenanya, teologi Katolik berkembang menjadi teologi yang terbuka, bukan teologi yang kaku dan rigid dan membelenggu. Pandangan teologi Katolik bergerak sesuai dengan situasi zaman yang dilewatinya, juga sesuai dengan konteks tempat yang dilibatinya.
Pengertian Teologi Katolik
Dalam pandangan Gereja Katolik, teologi selalu terkait dengan komunitas atau persekutuan hidup beriman. Maka, fungsi teologi Katolik adalah untuk menghayati iman dan menjadi saksi Injil Yesus Kristus dalam situasi masyarakat konkret. Karenanya, di samping persekutuan hidup beriman, masih ada medan teologi Katolik, yakni persekutuan hidup bermasyarakat.
Inilah yang sudah disadari dalam Konsili Vatikan II (KV II, 1962-1965) melalui Gaudium et Spes (GS), Konstitusi Pastoral mengenai Gereja dalam Dunia Dewasa Ini. Dalam GS sudah disadari bahwa Allah menyapa, menjumpai dan memanggil Gereja Katolik berada dalam dunia dan sejarahnya, dalam kenyataan hidup yang nyata. Dunia dan sejarahnya adalah tempat Allah hadir secara sungguh-sungguh. Dunia dan sejarahnya adalah tempat Allah berbicara kepada umat-Nya. Karenanya, dunia dan sejarahnya merupakan locus theologicus buat teologi Katolik.
Dengan sangat jelas, GS 1 merumuskan, ”Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasa manusia dewasa ini, terutama yang miskin dan terlantar, adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan murid-murid Kristus pula.” Dalam arti itu, maka Gereja tampil di dunia dan masyarakat sebagai tanda dan sarana keselamatan. Gereja hadir sebagai sakramen keselamatan bagi dunia dan masyarakatnya.
Maka, pengertian teologi Katolik adalah pertanggungjawaban penghayatan iman umat Katolik di tengah-tengah kehidupan yang konkret. Pertanggungjawaban itu bisa bersifat akademis, di kampus universitas. Tetapi, pertanggungjawaban itu terutama dalam konteks kehidupan yang nyata dengan segala persoalan yang ada. Dasar pertanggungjawabannya adalah iman akan Yesus Kristus yang telah menyelamatkan semua orang, tanpa pandang bulu agama, suku, rasa, ideologi, kebudayaan dan latar belakang apa pun. St. Paulus merumuskan teologi Katolik saat berkata, ”kasih karunia Allah yang menyelamatkan semua manusia sudah nyata” (Titus 2:11). Allah menyelamatkan semua orang dan semua manusia, maka Gereja Katolik harus sungguh menjadi sakramen keselamatan dengan perkataan dan perbuatan, melalui pergulatan dan usaha pembebasan manusia, pembebasan sepenuhnya dan seutuhnya bagi semua orang, terutama mereka yang miskin dan terlantar.
Yesus Kristus sebagai Pusat
Teologi Katolik dan semangat perdamaian dilandaskan dan berpusat pada kehidupan Yesus Kristus sebagai tanda damai-sejahtera dari Allah Bapa. Pada prinsipnya, seluruh teologi Katolik tidak bisa dilepaskan dari pribadi Yesus Kristus. Paus Benediktus XVI menegaskan bahwa Yesus Kristus adalah the basic form of the Christological profession of faith , dan dengan demikian menjadai landasan setiap pemikiran teologis Katolik.
Teologi tidak bisa dilepaskan dari pribadi Yesus Kristus, sebab secara harafiah, teologi sendiri berarti ilmu atau ajaran (dari bahasa Yunani logia-logos) tentang Tuhan (theos). Maka, teologi merupakan refleksi tentang iman kepada Tuhan (Yesus Kristus) sebagai jawaban atas wahyu dari Allah dalam terang Roh Kudus. Pokok teologi adalah Allah yang mewahyukan diri dalam Yesus Kristus oleh kuasa Roh Kudus. Titik temu antara Allah dan Roh Kudus adalah Yesus Kristus. Dengan pokok utama itu, tujuan teologi adalah mengerti isi iman dengan pertanggungjawaban nalar sehingga memperdalam penghayatan iman (bdk. 1 Petrus 3:15).
Maka, teologi berpusat pada pribadi dan hidup Yesus Kristus dengan seluruh karya, pelayanan, pengajaran dan kehidupan-Nya yang memuncak pada sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya. Pribadi Yesus Kristus dan segala peristiwa yang menyertai-Nya, itulah pusat teologi Katolik. Meminjam rumusan St. Agustinus, teologi Katolik adalah ratio sive sermo de divinitate, yakni pemikiran atau ajaran tentang ke-Tuhan-anan, sehingga seperti dikatakan oleh St. Anselmus, umat beriman menghayati credo ut intelligam, beriman supaya mengerti, karena fides supposit rationem, iman mengandaikan akal budi.
Dalam konteks semangat perdamaian, dalam Yesus Kristuslah, semangat perdamaian itu memang sudah terbukti, terwujud dan memuncak. Yesus Kristuslah yang dengan darah-Nya, melalui sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya, memperdamaikan dunia dengan Allah. Yesus bersabda, ”Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Matius 5:9). Yesus sendiri telah membawa damai itu, karena Dialah Putera Allah yang Mahatinggi (Lukas 1:32). Itulah sebabnya, gema lagu pujia para malaikat surgawi saat mengiringi warta kelahiran-Nya ke dunia berbunyi, ”Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Lukas 2:34). Siapakah yang pada akhirnya disebut sebagai ”yang berkenan kepada-Nya?”, tidak lain adalah Yesus Kristus sendiri. Itulah sebabnya saat Yesus Kristus dipermandikan di sungai Yordan terdengarlah suara dari surga, ”Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan” (Lukas 3:22b).
Teologi yang Terbuka
Dalam dunia pendidikan umum, kita mengenal Ivan Illich yang menerbitkan buku Deschooling Society. Ivan Illich bercita-cita membangun pendidikan umum dengan membebaskan anak-anak dari struktur baku dan kaku sekolah. Atas dasar pemikiran Ivan Illich, Tom Jacobs, SJ mengusulkan perlunya teologi yang tidak bersifat akademis, yakni teologi yang “bebas dari sekolah” .
Itulah yang ingin saya sebut sebagai deschooling theology. Deschooling theology tentu saja tidak pernah lepas dari basik akademis. Namun, ia tidak melulu teknis-akademis. Maka boleh dibilang, deschoolong theology dapat disebut teologi yang dikembangkan di luar civitas akademika, atau teologi non-akademis. Ia lebih banyak berangkat dari konteks kehidupan. Justru konteks kehidupan menjadi medan pengembangan teologi non-akademis. Maka, teologi pun menjadi lebih terbuka!
Dalam sejarah Gereja Katolik, pengembangan teologi non-akademis yang terbuka sebetulnya merupakan buah dari gebrakan Konsili Vatikan II (KV II, 1962-1965). Gereja Katolik menjadi sedemikian terbuka dan mengemukakan pandangan-pandangan yang radikal progresif. Sebut saja, misalnya, paradigma yang terungkap dalam dokumen yang disebut Nostra Aetate, Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama bukan Kristiani. Dalam Nostra Aetate (NA) dengan terang dan jelas dirumuskan pandangan radikal progresif itu, “Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang.” (NA 2, alenia 2)).
Lebih lanjut, Gereja Katolik menegaskan, “maka Gereja mendorong para puteri-puteranya, supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agama-agama lain, sambil memberi kesaksian tentang iman serta perihidup Kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta-kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya, yang terdapat pada mereka!” (NA 2, alenia 3).
Pernyataan tersebut sungguh radikal-progresif sebab hingga KV II, paradigma yang dikemukakan adalah paradigma triumpalistik, Gereja merasa benar dan selamat sendiri, sampai-sampai muncul ungkapan “Di luar Gereja tidak ada keselamatan!” Karenanya, NA menjadi bukti radikalitas progresif sikap Gereja Katolik terhadap agama-agama lain, terhadap dunia, terhadap kebudayaan yang ada dalam kehidupan.
Apa alasannya, sehingga KV II berani sedemikian radikal progresif membongkar paradigma baru itu? Alasan utama dipertanggungjawabkan oleh Paus Yohanes XXIII, yang mempunyai prakarsa mengundang para Uskup sedunia untuk menyelenggarakan sidang KV II. Beliau mengharapkan bahwa KV II menjadi kesempatan bagi Gereja semesta untuk mengevaluasi kehidupan serta pelaksanaan misinya. Dalam rangka itu, tiga sasaran utama hendak dicapai, yakni, pertama, pembaharuan rohani dalam terang Injil. Kedua, penyesuaian dengan masa sekarang (aggiornamento) untuk menanggapi tantangan-tantangan zaman modern. Ketiga, pemulihan persekutuan penuh antara segenap umat Kristiani.
Dengan alasan itulah maka lahirlah suatu deschooling theology yang terbuka. Gereja pun mengembangkan gagasa-gagasan yang cukup terbuka secara teologis mengenai jatidirinya, mengenai tugas perutusannya dan mengenai pihak-pihak lain (baca: agama dan kebudayaan lain). Keterbukaan yang dibangun oleh Gereja Katolik melalui KV II membawa dampak dan pengaruhnya juga terhadap teologi.
Salah satu harapan untuk mengembangkan teologi Katolik yang terbuka dikumandangkan oleh Paus Yohanes Paulus II. Menurut Paus Yohanes Paulus II, teologi tidak dapat membatasi diri pada tugas menjaga khazanah ajaran, yang diwarisi dari zaman lampau. Sebaliknya, teologi harus mencari pemahaman dan pengungkapan iman yang memungkinkan penerimaannya dalam cara berpikir dan berbicara zaman sekarang. Usaha untuk menemukan pemahaman baru bagi pewartaan Kristiani dalam suatu dialektik antara kontinyuitas serta inovasi dan sebaliknya harus menjadi kriteria yang membimbing refleksi teologis.
Salah satu contoh konkret bagaimana teologi yang terbuka dikembangkan oleh Paus Yohanes Paulus II adalah saat secara mengejutkan (dunia) beliau berinisiatif untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf atas sikap Gereja Katolik yang pernah menghukum Galileo Galilei. Memang, kesalahan dalam kasus Galileo Galilei sudah lama disadari dan dibentuk tim khusus untuk meninjau ulang kasus tersebut sejak tahun 1981. Namun, baru pada tanggal 31 Oktober 1992, Paus Yohanes Paulus II secara terbuka mengakui kesalahan itu.
TEOLOGI DAN SEMANGAT PERDAMAIAN
Ada banyak kesempatan dan perkembangan yang dilalui Gereja Katolik dalam mengembangkan teologi dan semangat perdamaian. Pada bagian ini akan saya sebutkan beberapa pokok penting yang sangat berpengaruh dalam teologi Katolik mengenai semangat dan cita-cita perdamaian yang hendak diwujudkan.
“Gaudium et Spes”
Dalam pandangan Gereja Katolik, teologi dan semangat perdamaian, secara pastoral dikupas panjang lebar dalam Gaudium et Spes (GS) pada bab 5, no. 77-82 dengan sub judul “Usaha demi Perdamaian dan Pembentukan Persekutuan Bangsa-Bangsa”. Latar belakang perumusan pastoral adalah tanda-tanda zaman bahwa dunia dilanda kesengsaraan dan kesukaran akibat perang yang sedang berkecamuk maupun karena ancaman perang yang selalu gampang terjadi di mana pun dan kapan pun (GS 77).
Karenanya, teologi Katolik secara fundamental sangat menjunjung tinggi semangat perdamaian. Menurut GS 78, damai tidak melulu berarti tidak ada perang. Damai juga tidak pula dapat diartikan sekedar menjaga keseimbangan saja antara kekuatan-kekuatan yang berlawanan. Demikian juga damai tidak terwujud oleh pengembangan kekuasaan yang diktator.
Perdamaian pada hakikatnya merupakan buah karya keadilan. Karenanya, perdamaian selalu erat terkait dengan keadilan. Allah, Sang Pencipta semesta alam, sejak awal mula menghendaki agar masyarakat manusia hidup dalam perdamaian dan keadilan. Apa yang telah ditetapkan Allah harus terus-menerus diupayakan oleh manusia, sehingga perdamaian kian hari kian terwujud dalam kehidupan.
Hakikat perdamaian erat terkait pula dengan kesejahteraan umum. Maka, usaha menciptakan perdamaian menuntut supaya setiap orang tiada hentinya mengendalikan nafsu-nafsunya, dan memerlukan kewaspadaan pihak penguasa yang berwewenang berlaku adil. Perdamaian di dunia tidak akan pernah tercapai apabila kesejahteraan pribadi-pribadi tidak dijamin. Dalam arti ini, maka kerelaan untuk saling berbagi kekayaan jiwa maupun daya cipta adalah penting. Dengannya, kesungguhan menghayati persaudaraan secara nyata merupakan syarat mutlak terwujudnya perdamaian. Dengan demikian, perdamaian merupakan perwujudan cinta kasih dan keadilan.
Dalam pandangan teologi Katolik, khususnya dalam perspektif teologi Gaudium et Spes, ”damai di dunia ini, yang lahir dari cinta kasih terhadap sesama, merupakan cermin dan buah damai Kristus, yang berasal dari Allah Bapa” (GS 78). Dasarnya adalah peristiwa salib. Yesus Kristus, Putera Allah, telah mendampaikan semua orang dengan Allah melalui salib-Nya. Karenanya, semangat perdamaian dalam teologi Katolik tidak pernah bisa dilepaskan dari peristiwa salib Kristus. Umat Kristiani dipanggil dan diutus untuk memohon dan mewujudkan perdamaian di dunia.
Mencegah dan Menghindari Perang
Bagi teologi Katolik, perang adalah ancaman serius terhadap tegak dan terwujudnya perdamaian. Karenanya, semangat perdamaian mesti diwujudkan dalam sikap tegas mencegah dan menghindari perang. Gereja Katolik menyadari, sungguhpun perang-perang terakhir bagi dunia telah mendatangkan kerugian sangat besar, baik secara moral maupun material, namun bagi bangsa tertentu, perang rupanya masih terus menjadi kenyataan. Perang bahkan digelar dengan mengerahkan segala macam senjata teknologi tinggi dengan keganasan dan pertempuran yang tak beradab. Perang belumlah enyah di hidup manusia (GS 79).
Perang masih menjadi ancaman. Kengerian dan kejahatan perang bahkan meningkat secara luar biasa akibat bertambahnya senjata-senjata teknologi tinggi yang membawa dampak kehancuran yang lebih dahsyat untuk manusia dan alam semesta. Paus Yohanes XXIII sangat menentang penggunaan kekuatan senjata (bom) atom yang membahayakan kehidupan. Secara teologis ditegaskan dalam teologi Katolik bahwa semua kegiatan perang yang menimbulkan kehancuran merupakan tindak kejahatan melawan Allah dan manusia yang harus dikecam dengan keras (GS 80). Perang berlawanan dengan semangat perdamaian, maka perang dalam bentuk apa pun harus dicegah dan dihindari.
Untuk mencegah dan menghindari perang, maka kita pun harus menghilangkan dan mengubur dalam-dalam permusuhan, penghinaan, sikap curiga, kebencian rasial dan ideologi yang memecah-belah manusia serta menimbulkan pertentangan. ”Tidak ada gunanya mereka bersusah-payah membangun perdamaian, selama (masih ada) permusuhan, penghinaan, sikap curiga, kebencian rasial dan ideologi yang memecah-belah rakyat dan menimbulkan pertentangan” (GS 82).
”Pacem in Terris”
Merefleksikan teologi Katolik dan semangat perdamaian tidaklah lengkap bila tidak menyinggung Pacem in Terris. Teologi Katolik tentang (semangat) perdamaian sangat eksplisit dicanangkan oleh Paus Yohanes XXIII dalam Ensikliknya yang berjudul Pacem in Terris (PT, Perdamaian [di] Dunia). Ensiklik ini berisi tentang usaha mencapai perdamaian semesta dalam kebenaran, keadilan, cinta kasih dan kebebasan. Ditegaskan bahwa pedamaian di dunia di sepanjang zaman didambakan dan diusahakan oleh umat manusia. Akan tetapi, perdamaian tidak akan pernah tercapai, tidak akan pernah terjamin, apabila tata dunia yang ditetapkan Allah tidak dipatuhi oleh manusia dengan seksama (PT 1).
Secara mendasar, dalam Pacem in Terris Paus Yohanes XXIII mengemukakan bahwa masalah perdamaian bukan hanya perkara tidak ada perang, melainkan erat terkait dengan keadilan. Apabila masalah kemiskinan dan ketidakadilan tidak diatasi, mustahillah dunia ini dapat mengalami hidup secara damai.
Atas dasar hukum kodrat yang tertulis dalam hati manusia, Paus Yohanes XXIII memikirkan dan mengembangkan tatanan moral untuk menuntun kehidupan manusia menuju perdamaian dalam empat segmen, yakni ketertiban antara manusia, hubungan antara individu dan negara, hubungan antarnegara dan komunitas dunia. Secara progresif, Paus Yohanes XXIII menempatkan hak-hak asasi manusia sebagai yang utama dalam mewujudkan perdamaian di dunia. Beliau juga membuat distingsi antara ajaran ideologi yang palsu dan gerakan-gerakan sejati yang menanggapi masalah sosial dan ekonomi.
Paus Yohanes XXIII menegaskan, ”tidak pernah dunia akan menjadi kediaman damai, selama damai belum menetap di hati semua dan setiap orang, selama tiap orang belum memelihara dalam dirinya tata-tertib yang oleh Allah dikehendaki supaya dilestarikan.” (PT 165). Pada bagian terakhir beliau berharap dan berdoa, ”Semoga Kristus mengobarkan keinginan semua orang untuk mendobrak palang-perintang yang menceraikan mereka, untuk meneguhkan ikatan-ikatan cinta kasih timbal-balik, untuk belajar saling memahami, dan mengampuni siapa pun yang bersalah kepada mereka. Supaya turunlah damai atas kawanan yang dipercayakan kepada penggembalaan anda, demi kesejahteraan khas mereka yang paling jelata dan paling membutuhkan bantuan serta pembelaan...” (PT 171, 172).
Teologi Pemerdekaan
Secara umum-akademis dikenal dalam teologi Katolik salah satu bentuk teologi kontekstual yang disebut teologi pembebasan. Paradigma lama dan salah kaprah sering memandang teologi pembebasan sebagai teologi yang sesat, karena teologi pembebasan dianggap terlalu mengedepankan aksi kekerasan. Sesungguhnya, tidaklah demikian. Bahkan pada rezim Orde Baru, pembahasan dan pembelajaran tentang teologi pembebasan pun sempat kena cekal! Dilarang, karena bisa menimbulkan bahaya provokatif-destruktif.
Sesungguhnya, teologi pembebasan justru berpangkal pada keprihatinan dan gerakan pemerdekaan di Indonesia maupun cita-cita kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial. Teologi pembebasan bergerak dalam perspektif rakyat miskin dan tertindas yang mendambakan pemerdekaan. Maka orientasinya dalah pembebasan rakyat miskin dan tertindas agar memperoleh keadilan dan kesejahteraan. Jadi orientasinya adalah orientasi kerakyatan. Karenanya, tidak salah bahwa teologi pembebasan dalam konteks Indonesia disebut teologi pemerdekaan.
Di tilik dari sejarah, teologi pembebasan berakar pada situasi sosial politik ekonomi di Amerika Latin. Muncul sudah sejak abad ke-16 sebagai teologi kenabian melawan penjajahan. Pelontar gagasan tentang teologi ini adalah Antonio de Montesinos dan Bartholome(us) de las Casas. Berakar dari teologi kenabian ini, muncullah teologi pembebasan pada tahun 1960an sebagai sebuah praksis pastoral pembebasan. Seperti sudah disinggung, arah dan orientasi teologi pembebasan adalah pemerdekaan kaum jelata dan tertindas oleh kekuasaan yang korup dan membelenggu. Karenanya, teologi pembebasan selalu berhadapan dengan “struktur kekuasaan” yang biasanya berwajah kekerasan struktural pula terhadap rakyat. Cita-citanya adalah mewujudkan perdamaian bagi rakyat dalam bentuk konkret mengenyam keadilan dan kesejahteraan.
Itulah sebabnya, dalam konteks teologi Katolik dan semangat perdamaian, teologi pembebasan atau teologi pemerdekaan sungguh sejalan seiring tidak berlawanan. Dapat ditegaskan bahwa teologi pemerdekaan adalah bentuk konkret gerakan teologi yang memang bermuara pada terwujudnya perdamaian, terutama bagi kaum papa jelata miskin tertindas.
Secara kontekstual, teologi semacam ini telah dikembangkan oleh para misionaris di Indonesia, misalnya oleh Romo van Lith. Romo van Lith telah mengembangkan argumentasi teologis persaudaraan semua orang untuk membela hak-hak orang pribumi melawah penjajah dan mendukung gerakan kemerdekaan. Secara berani, van Lith berargumentasi: “Dalam Gereja Kristus tidak ada orang Yahudi, tidak ada orang Romawi, tidak ada orang Yunani. Jadi tidak ada Belanda, tidak ada Jawa. Tata hidup (persaudaraan) yang sejak semula ada dalam Gereja sekarang berlaku juga di luar Gereja: Belanda (totok), Indo dan Jawa mulai saat ini akan hidup rukun sebagai saudara di dalam satu rumah.”
Dari kutipan tersebut kita mengalami dan merasakan betapa teologi pembebasan atau teologi pemerdekaan memang mempunyai cita-cita untuk mewujudkan perdamaian di dalam kehidupan bersama. Ada inklusivitas di tengah pluralitas. Ada sikap saling menghormati dan menjunjung tinggi semangat persaudaraan sebagai bentuk konkret hidup damai satu terhadap yang lain.
Tanggungjawab Iman Berdimensi Sosial
Semangat perdamaian dalam perspektif teologi Katolik merupakan bentuk tanggungjawab iman yang berdimensi sosial. Iman bukan hanya soal menjawab wahyu Allah secara individual, melainkan bergerak dalam kebersamaan. Iman bukan soal gerak-naik takwa kepada Allah secara vertikal, melainkan dihayati secara horizontal gerak-menyamping kepada sesama. Tentu saja, tanggungjawab ini bisa dilaksanakan secara individual, tetapi juga secara struktural-institusional. Seorang beriman bisa mewujudkan semangat perdamaian secara pribadi sebagai seorang manusia dengan sesamanya, tetapi juga secara serentak bersama umat beriman lain. Itulah sebabnya, tindakan tanggunjawab itu disebut tanggungjawab iman berdimensi sosial.
Gerak individual memang lebih bersifat personal. Sementara tanggungjawab iman yang berdimensi sosial mengandaikan adanya suatu gerakan yang bersifat struktural. Secara otomatis hal ini terjadi mengingat inti perjuangan demi mewujudkan perdamaian secara fundamental kerap kali berhadapan dengan struktur sosial yang korup dan tidak adil. Itulah yang dalam teologi Katolik disebut sebagai tatanan yang berdosa secara struktural, sebab struktur-struktur yang korup selalu tercemar oleh ”dosa sosial”.
Paus Yohanes Paulus II dengan sangat baik menjelaskan arti ”dosa sosial” dalam amanat apostoliknya yang berjudul Reconciliatio et Paenitentia (2 Desember 1984). Menurut Paus Yohanes Paulus II, dosa sosial memiliki tiga arti. Pertama, dosa sosial menunjuk pada pengaruh sosial dari dosa. Setiap tindakan berdosa yang dilakukan secara pribadi – bahkan ketika orang lain tidak tahu apa yang dilakukan oleh seseorang – selalu membawa dampak pengaruh pada orang lain sebagai akibat solidaritas manusiawi. Kedua, dosa sosial dapat diartikan sebagai dosa-dosa yang melawan sesama manusia terutama dosa yang melawan keadilan. Korupsi misalnya, masuk dalam kategori dosa sosial. Ketiga, betapa pun, dosa sosial merupakan kejahatan melawan Allah, sebab dosa sosial selalu berlawanan dengan rencana Allah yang menghendaki agar keadilan dan kesejahteraan dialami oleh semakin banyak orang, bukan hanya oleh individu atau kelompok.
Dosa sosial mewarnai dan merusak struktur-struktur kehidupan masyarakat. Karenanya, dosa sosial mewajah dalam segala macam struktur yang korup dan membuat struktur-struktur berdosa (sinful structures). Dalam struktur-struktur berdosa, segala tindakan berdosa dianggap wajar dan lazim. Kita bisa mendeteksi adanya struktur berdosa dalam kasus-kasus korupsi, kolusi dan nepotisme. Suap-menyuap manifestasi korupsi dianggap lazim dan wajar, padahal sesungguhnya, itu merupakan dosa dan bagian dari struktur berdosa. Pribadi-pribadi yang terlibat di dalamnya menganggap bahwa korupsi merupakan kewajaran, kelaziman, dan bahkan disebut ”budaya” karena sudah lumrah terjadi. Namun, struktur inilah yang ujung-ujungnya berbuah pada ketidakadilan, dan pada akhirnya membuat perdamaian jauh dari jangkauan.
Masih menurut Paus Yohanes Paulus II, dalam Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (SRS), struktur dosa biasasa berakad di dalam dosa pribadi, dan dengan demikian selalu dikaitkan dengan tindakan-tindakan konkret individu-individu yang menciptakan struktur-struktur ini, memperkuat dan membuat struktur-struktur itu sulit dihilangkan. Dengan demikian struktur-struktur itu bertumbuh menjadi lebih kuat, meluas dan menjadi sumber dosa-dosa lain, dan dengan demikian mempengaruhi tingkah laku orang-orang (lain) (SRS 36).
Di tengah lingkaran struktur berdosa, kian sulitlah mengembangkan keutamaan mewujudkan perdamaian dalam kehidupan. Karenanya, tanggungjawab iman berdimensi sosial mendapat tantangan tersendiri di dalamnya. Keutamaan sosial pun kian sulit diwujudkan. Itulah akibat buruk dari dosa sosial, dosa struktural dalam struktur-struktur (institusional yang) berdosa.
Menarik sekali mempertimbangkan usulan Gregory Baum tentang dosa sosial. Ia menyebut empat level dosa sosial. Pertama, dosa sosial terjelma dalam level ketidakadilan dan arus-arus dehumanisasi yang terwujud dalam berbagai macam institusi sosial, politik, ekonomi dan religius. Kedua, dosa sosial tampak dalam level simbol-simbol kultural-religius yang melegitimasikan dan mendesakkan situasi yang tidak adil dan korup. Ketiga, dosa sosial tampak pada kesadaran keliru yang tercipta oleh institusi-institusi dan ideologi-ideologi sedemikian rupa sehingga rakyat secara kolektif terlibat dalam tindakan-tindakan yang bersifat destruktif. Keempat, dosa sosial terungkap dalam keputusan kolektif yang lahir dari kesadaran yang telah rusak dan menyimpang, yang menambah ketidakadilan dalam masyarakat dan kian mengintensifkan arus dehumanisasi.
Justru karena itulah, maka tanggungjawab iman tidak melulu bersifat individual, melainkan memiliki dimensi sosial. Tanggungjawab iman yang berdimensi sosial terungkap dalam praksis solidaritas. Itulah sebabnya, Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa struktur berdosa harus dihadapi dengan solidaritas, yakni tekad yang kukuh dan bertahan hendak mengabdikan diri kepada kebaikan bersama. Kebaikan bersama adalah kebaikan demi sekalian orang dan setiap individu. Setiap orang memiliki tanggungjawab sosial dalam kehidupan bersama.
Dosa sosial sebagai termanifestasi dalam struktur-struktur berdosa juga mesti dihadapi dengan pertobatan sosial. Memang, pertobatan sosial mengandaikan pertobatan individual. Namun, pertobatan sosial bukan perkara yang gampang dilakukan sebab selalu berhadapan dengan kendala kekuasaan. Pertobatan sosial – dalam perspektif kultur Jawa tampak dalam upaya mengutamakan harmoni daripada konflik. Secara teologis, harmoni menjadi langkah awal untuk membangun perdamaian dalam masyarakat. Karenanya, kontrol sosial untuk mewujudkan harmoni selalu diperlukan dan harus diupayakan bersama, terutama terkait dengan politik kekuasaan.
Hari, Pesan dan Doa Perdamaian
Adalah Paus Paulus VI, yang dalam Gereja Katolik mengusulkan agar semangat perdamaian selalu dibangun dan dipupuk secara bersama. Paus Paulus VI pun menetapkan bahwa setiap tanggal 1 Januari merupakan hari perdamaian sedunia. Itu sudah dilakukan sejak 1 Januari 1968. Tradisi ini dilanjutkan dengan setia oleh Paus Yohanes Paulus II yang menjadi promotor perdamaian secara ulung semasa hidupnya. Tradisi baik yang dimulai oleh Gereja Katolik sejak Paus Paulus VI kemudian diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menetapkan tanggal 1 Januari sebagai Hari Perdamaian Dunia, sejak 1 Januari 2000.
Paus Yohanes Paulus II secara konsisten menempatkan Hari, Doa dan Pesan Perdamaian semasa masa pontifikatnya sebagai Paus. Maka benar, dalam kehidupannya, Paus Yohanes Paulus II telah menjadi promotor perdamaian. Selain dalam komitmennya menentang perang (di Afganistan, Irak, dan tempat lain), perannya sebagai promotor perdamaian amat jelas tampak dalam komitmennya melanjutkan inisiatif pendahulunya, Paus Paulus VI, untuk mengembangkan Hari Perdamaian Sedunia (HPS).
Peran Paus sebagai promotor perdamaian tampak dalam konsistensinya menerbitkan "pesan perdamaian" pada HPS (World Day of Peace Message/WDPM), bukan saja bagi umat Katolik, tetapi bagi seluruh manusia sedunia, apa pun agamanya. Sebagaimana dicatat Giampaolo Crepaldi , pesan perdamaian selalu mengungkapkan considerable corpus of teaching concerning the promotion of peace in a relation to particularly timely social questions.
Dari tahun ke tahun , sejak menjabat Paus, Yohanes Paulus II terus menggunakan HPS sebagai kesempatan mempromosikan damai dalam berbagai konteks sosial aktual. Pesan perdamaian yang pertama misalnya, jelas menunjukkan karakternya sebagai promotor perdamaian. Beliau menegaskan, untuk menggapai perdamaian, ajarkanlah perdamaian. Kita harus menolak kekerasan dan mengajukan alternatif yang kokoh demi perdamaian dengan bahasa perdamaian, bukan bahasa kebencian. Bahasa perdamaian akan menciptakan ruang bagi perdamaian. Sebab, kita semua harus membongkar lingkaran kekekerasan (WDPM, 1979, untuk selanjutnya, tahun yang saya sebut dalam kurung selalu menunjuk pesan perdamaian yang disampaikan Paus pada HPS tahun bersangkutan).
Perdamaian harus ditegakkan sebab perdamaian adalah anugerah Allah yang dipercayakan kepada kita. Untuk itu kita harus secara aktif mempromosikan perdamaian di tengah kehidupan. "To become active in promoting peace, a special place must be given in educational programs to actual situations in which peace is under threat" (1982).
Salah satu cara mempromosikan perdamaian dengan menghargai tiap pribadi dalam kehidupan bersama. Jika menghendaki perdamaian dalam kehidupan, baiklah kita menghormati hak asasi tiap pribadi. Tiap pribadi memiliki kebebasan otentik yang harus dihormati (1991).
Promosi perdamaian pertama-tama dan terutama terjadi dalam keluarga. Keluargalah yang harus mulai membangun perdamaian secara manusiawi. Keluarga merupakan primary agent of a future of peace. To educate to peace, the parents must be people of peace, workers for peace" (1994).
Memang perdamaian merupakan tanggung jawab seluruh komponen masyarakat: orangtua, guru, politisi, penguasa, dan seluruh umat beriman. Namun, secara khusus, Paus menyebut kaum perempuan sebagai guru perdamaian bagi anak manusia di seluruh dunia (1995).
Hal penting lain yang menjadi perhatian Paus dalam mempromosikan perdamaian adalah dialog antarkebudayaan demi terwujudnya peradaban kasih dan perdamaian. Dialog hanya terjadi bila manusia antarbudaya saling menghormati perbedaan satu terhadap yang lain. Itulah tanggung jawab besar abad ini dalam mempromosikan perdamaian (2001).
Paus Yohanes Paulus bukan saja rajin menulis pesan perdamaian setiap tahunnya. Ia juga memulai sesuatu yang baru dan konkret untuk mengembangkan semangat perdamaian dengan menyelenggarakan doa bagi perdamaian. Doa untuk perdamaian itu diselenggarakan sejak tahun 1986 di kota Asisi, kota Fransiskus Asisi berasal. Doa untuk perdamaian bahkan diikuti oleh berbagai tokoh agama yang ada di dunia dan menjadi tradisi baru baik untuk Gereja maupun agama-agama di dunia ini.
Dalam semuanya itu, teologi Katolik dan semangat perdamaian kian menyatu dan mewajah dalam praksis hidup sehari-hari. Teologi Katolik dan semangat perdamaian bukan hanya menjadi suatu kajian akademis, melainkan menjadi praksis hidup sehari-hari. Dengan demikian, semangat perdamaian bukan saja menjadi suatu kerangka teoretik pengharapan, melainkan menjadi penghayatan yang dipraktikkan dalam kehidupan yang nyata, bahkan secara lintasagama.
Secara liturgis, doa perdamaian bahkan masuk dalam kerangka Doa Syukur Agung dalam Perayaan Ekaristi yang didoakan secara istimewa sebagai sebuah peristiwa keselamatan. Ungkapan doa perdamaian dalam Tata Perayaan Ekaristi Liturgi Gereja Katolik tampak dalam Doa Syukur Agung yang ke-6. Doa Syukur Agung tersebut bertemakan “Allah Pangkal Damai”. Kalimat doa prefasinya berbunyi: “… Meskipun umat manusia terpecah belah oleh pertengkaran dan perselisihan, kami mengalami pula bahwa Engkau senantiasa membangkitkan hasrat untuk berdamai. Karena dorongan Roh-Mu, orang-orang yang bermusuhan berdamai kembali, yang berlawanan berjabat tangan, dan bangsa-bangsa mencari jalan untuk menggalang persatuan. Berkat kuasa-Mu juga, cinta mengalahkan kebencian, pengampunan menaklukkan balas dendam, dan saling kasih mengenyahkan perselisihan.”
Dalam doa tersebut juga dimohon kepada Allah agar “memberikan Roh-Nya kepada kami agar Ia menjauhkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan perpecahan”. Dimohon juga “semoga Ia membuat Gereja-Mu menjadi tanda persatuan dan saranan perdamaian di antara bangsa-bangsa…”
Komisi Keadilan dan Perdamaian
Untuk kian mengakarkan teologi Katolik dan semangat perdamaian dalam tanah kehidupan konkret, maka dari Vatikan hingga Konferensi-Konferensi Waligereja Sedunia dan tingkat Keuskupan, dibentuklah satu komisi khusus, yakni Komisi Keadilan dan Perdamaian. Dengan demikian diharapkan cita-cita menegakkan keadilan dan mewujudkan perdamaian kian konkret dan tetap dalam koordinasi yang bersifat global.
Komisi ini secara khusus bertugas untuk kian memajukan dan mewujudkan keadilan dan perdamaian di tingkat akar rumput. Komisi ini bertugas mempelajari dan memajukan upaya perdamaian dunia berdasarkan doktrin dan ajaran sosial gereja. Disamping itu juga mengumpulkan informasi dan penyelidikan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan keadilan, perdamaian, termasuk penegakkan hak azasi manusia dan kebebasan beragama.
Di Indonesia, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) mulai secara khusus membentuk Komis Keadilan dan Perdamaian (Commission for Justice and Peace) sejak tahun 1982. Semula hanya disebut Sekretariat Justice and Peace, tetapi kemudian menjadi komisi tersendiri yang kian fokus untuk menangani keadilan dan perdamaian, baikan secara internal maupun secara eksternal. Sekretariat Justice and Peace diubah menjadi Komisi Keadilan dan Perdamaian KWI sejak tahun 1985.
Secara khusus komisi ini bertugas membantu para Uskup di Indonesia memperkenalkan dan mengembangkan dimensi keadilan dan perdamaian dalam terang iman Katolik kepada seluruh umat dan masyarakat. Melalui program pendidikan, komisi ini mendorong umat Katolik untuk menggali nilai-nilai keadilan dan perdamaian dalam Kitab Suci, melakukan refleksi atas situasi masyarakat, dan mencari jalan untuk memromosikan budaya adil dan damai sebagai alternatif bagi kenyataan yang tidak adil dan penuh kekerasan. Komisi ini juga melatih calon penanggungjawab pastoral keadilan dan perdamaian dan tenaga advokasi.
Harapannya, dengan kinerja yang kian fokus dan baik, maka Komisi Keadilan dan Perdamaian sungguh-sungguh dapat merepresentasikan teologi Katolik dan semangat perdamaian di tengah-tengah kehidupan yang konkret. Bahkan, sekarang ini, hampir setiap Keuskupan di seluruh Indonesia telah terbentuk Komis Keadilan dan Perdamaian di tingkat Keuskupan (Gereja Lokal).
PENUTUP
Mengakhiri refleksi ini, izinkanlah saya menampilkan kembali doa St. Fransiskus Asisi, guna memohon perdamaian dan agar kita baik secara pribadi maupun bersama-sama dapat menjadi tanda dan sarana perdamaian bagi sesama dan bagi dunia.
Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai, bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa cinta kasih. Bila terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa pengampunan. Bila terjadi perselisihan, jadikanlah aku pembawa kerukunan. Bila terjadi kebimbangan, jadikanlah aku pembawa kepastian. Bila terjadi kesesatan, jadikanlah aku pembawa kebenaran. Bila terjadi kecemasan, jadikanlah aku pembawa harapan. Bila terjadi kesedihan, jadikanlah aku sumber kegembiraan. Bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang. Tuhan, semoga aku lebih inhin menghibur daripada dihibur, memahami daripada dipahami, mencintai daripada dicintai; sebab dengan memberi kami menerima, dengan mengampuni kami diampuni, dengan mati suci kami bangkit lagi untuk hidup selama-lamanya. Amin.
Mari kita serukan doa perdamaian itu bukan dari puncak keangkuhan dan kesombongan kita, melainkan seperti yang dilantunkan pemazmur, ”dari jurang yang dalam aku berseru kepada-Mu, ya Tuhan! Tuhan, dengarkanlah suaraku! Biarlah telinga-Mu menaruh perhatian kepada suara permohonanku!” Ya, permohonan kita untuk perdamaian dunia!
Ya, kita berseru memohon perdamaian kepada Allah sendiri, dari jurang yang dalam! Bukan dari puncak keangkuhan dan kesombongan! Dari jurang yang dalam, yakni dari keberadaan kita sebagai manusia yang rapuh, ringkih dan berdosa, kita berseru kepada Tuhan untuk perdamaian.
Semoga kita pun dapat senantiasa mewujudkan (semangat) perdamaian dalam kehidupan kita sehari-hari! Tuhan memberkati!
DAFTAR PUSTAKA
Banawiratma, SJ, J.B. & J. Müller, SJ, Berteologi Sosial Lintas Ilmu, Yogyakarta:
Kanisius, 1995
Budi Purnomo Pr, Aloys, Jalan-Jalan Toleransi Menuju Kasih dan Keadilan, Kanisius,
Yogyakarta, 2002
Budi Purnomo Pr, Aloys, Paus Paulus II, Promotor Perdamaian, Jakarta: Kompas, 2003
Budi Purnomo Pr, Aloys, Membangun Teologi Inklusif-Pluralistik, Penerbit Buku
Kompas, Jakarta, 2003
Budi Purnomo Pr, Aloys, Iman dan Agama Yang Membumi, Yayasan Pustaka Nusatama,
Yogyakarta, 2005
Budi Purnomo Pr, Aloys, Rakyat (Bukan)Tumbal (Kekuasaan & Kekerasan), Penerbit
Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2007
Budi Susanto S.J., (ed.), Teologi dan Praksis Komunitas Post Modern, Yogyakarta:
Kanisius, 1994.
Curran, Charles E., Catholic Social Teaching, 1891-Present, Washington: Georgetown
University Press, 2007
Dokpen KWI, Konsili Vatikan II, terjemahan R. Hardawiryana, SJ, Jakarta: Obor, 1993
Giampaolog Crepaldi, Pontifical Council for Justice and Pease, Vatican: 2001
Gregory Baum, Theology and Society, New York: Paulist Press, 1987
Henri Nouwen, The Road to Peace: Writting on Peace & Justice, New York: Orbis
Books, 2004
Heuken SJ, A., Ensiklopedi Gereja Jilid V, Jakarta: Cipta Loka Caraka, 2005
John Paul II, The Pope Speaks 28 Vatican, 1983
Ratzinger, Josef Cardinal (Pope Benedict XVI), Introduction to Christianity, San
Francisco: Ignatius Press, 2004
Pope John XXIII, Ensiklik Pacem in Terris, Vatican, 1963
Riwayat singkat penulis:
ALOYS BUDI PURNOMO PR, M.Hum lahir di Wonogiri, 14 Februari 1968. Imam Diosesan Keuskupan Agung Semarang. Penulis sejumlah buku spiritualitas dan refleksi teologis kontekstual sosial-politik (sejak tahun 1998-2008 sudah lebih dari 60 judul buku) di berbagai penerbit (Penerbit Bina Media: Medan, Dioma: Malang, Gramedia: Jakarta, Kanisius: Yogyakarta, dan Pustaka Nusatama: Yogyakarta). Aktif menulis di Harian Kompas (sejak tahun 1992). Kadang-kadang menulis di Harian Suara Merdeka, Wawasan, dan Solo Pos. Sekarang bertugas sebagai Pemimpin Redaksi Majalah (bulanan) INSPIRASI, Lentera yang Membebaskan (sejak September 2004) dan Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang (sejak Mei 2008).
Saya dengan sengaja tidak menggunakan kata “kedamaian” sebagaimana dipakai panitia. Secara normatif universal, yang sering dipakai bukan “kedamaian” melainkan “perdamaian” (peace). “Kedamaian” lebih menunjuk pada sifat hati yang tenang dan teduh secara pasif-personal, sedangkan “perdamaian” lebih dinamis menunjuk pada perjuangan terkait dengan keadilan dan lebih bersifat aktif-sosial. Maka, untuk seterusnya, dalam refleksi ini, kata “perdamaian” yang saya pergunakan sebagai ganti “kedamaian”.
Adalah seorang suci, bernama Fransiskus Asisi (1182-1226). Seorang seorang suci, ia juga menjadi tokoh perdamaian dalam Gereja Katolik. Ia mengunjungi Sultan Almalik-al-Kalim di Mesir pada tahun 1219. Ia dikenal sebagai pelindung alam terhadap pencemaran dan dihormati banyak orang bukan-Katolik sebagai pembawa perdamaian. Ia mewariskan kalimat yang sangat terkenal: Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai. Kalimat itu menjadi inspirasi doa perdamaian yang sangat indah dan masih didoakan jutaan orang sedunia dalam berbagai bahasa.
Dalam bahasa Indonesia, doa perdamaian yang berinspirasikan warisan kalimat damai Santo Fransiskus Asisi berbunyi demikian: Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai, bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa cinta kasih. Bila terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa pengampunan. Bila terjadi perselisihan, jadikanlah aku pembawa kerukunan. Bila terjadi kebimbangan, jadikanlah aku pembawa kepastian. Bila terjadi kesesatan, jadikanlah aku pembawa kebenaran. Bila terjadi kecemasan, jadikanlah aku pembawa harapan. Bila terjadi kesedihan, jadikanlah aku sumber kegembiraan. Bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang. Tuhan, semoga aku lebih inhin menghibur daripada dihibur, memahami daripada dipahami, mencintai daripada dicintai; sebab dengan memberi kami menerima, dengan mengampuni kami diampuni, dengan mati suci kami bangkit lagi untuk hidup selama-lamanya. Amin.
Dalam semangat dan dilandasi doa itulah, refleksi berikut ini saya buat, semoga berguna bagi semua pihak yang berkepentingan dan kian terwujudlah perdamaian untuk umat manusia seluruh muka bumi ini. Selamat menikmati sajian ini.
PENDAHULUAN
Secara fundamental, teologi dalam perspektif agama (Gereja) Katolik adalah ilmu (tentang) iman. Iman yang dipertanggungjawabkan dengan akal budi (fides querens intelectum), itulah inti teologi. Maka, setiap pertanggungjawaban iman dalam kehidupan merupakan tindakan berteologi. Namun, dalam teologi, iman yang dipertanggungjawabkan bukanlah iman individual (perseorangan) melainkan iman yang dihayati dan diamalkan bersama dalam kehidupan. Oleh karena itu, dalam pandangan Gereja Katolik, teologi selalu mempunyai hubungan dengan Gereja sebagai persekutuan jemaat/umat beriman. Teologi tidak pernah lepas dari kehidupan umat. Karenanya, bahasan mengenai teologi Katolik dan semangat perdamaian selalu tidak lepas dari yang disebut penghayatan dan pengamalan iman dalam konteks hidup sehari-hari.
Pada bagian ini, akan saya uraikan serba singkat pengertian teologi Katolik dan bagaimana teologi itu dikembangkan dalam semangat inklusif. Karenanya, teologi Katolik berkembang menjadi teologi yang terbuka, bukan teologi yang kaku dan rigid dan membelenggu. Pandangan teologi Katolik bergerak sesuai dengan situasi zaman yang dilewatinya, juga sesuai dengan konteks tempat yang dilibatinya.
Pengertian Teologi Katolik
Dalam pandangan Gereja Katolik, teologi selalu terkait dengan komunitas atau persekutuan hidup beriman. Maka, fungsi teologi Katolik adalah untuk menghayati iman dan menjadi saksi Injil Yesus Kristus dalam situasi masyarakat konkret. Karenanya, di samping persekutuan hidup beriman, masih ada medan teologi Katolik, yakni persekutuan hidup bermasyarakat.
Inilah yang sudah disadari dalam Konsili Vatikan II (KV II, 1962-1965) melalui Gaudium et Spes (GS), Konstitusi Pastoral mengenai Gereja dalam Dunia Dewasa Ini. Dalam GS sudah disadari bahwa Allah menyapa, menjumpai dan memanggil Gereja Katolik berada dalam dunia dan sejarahnya, dalam kenyataan hidup yang nyata. Dunia dan sejarahnya adalah tempat Allah hadir secara sungguh-sungguh. Dunia dan sejarahnya adalah tempat Allah berbicara kepada umat-Nya. Karenanya, dunia dan sejarahnya merupakan locus theologicus buat teologi Katolik.
Dengan sangat jelas, GS 1 merumuskan, ”Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasa manusia dewasa ini, terutama yang miskin dan terlantar, adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan murid-murid Kristus pula.” Dalam arti itu, maka Gereja tampil di dunia dan masyarakat sebagai tanda dan sarana keselamatan. Gereja hadir sebagai sakramen keselamatan bagi dunia dan masyarakatnya.
Maka, pengertian teologi Katolik adalah pertanggungjawaban penghayatan iman umat Katolik di tengah-tengah kehidupan yang konkret. Pertanggungjawaban itu bisa bersifat akademis, di kampus universitas. Tetapi, pertanggungjawaban itu terutama dalam konteks kehidupan yang nyata dengan segala persoalan yang ada. Dasar pertanggungjawabannya adalah iman akan Yesus Kristus yang telah menyelamatkan semua orang, tanpa pandang bulu agama, suku, rasa, ideologi, kebudayaan dan latar belakang apa pun. St. Paulus merumuskan teologi Katolik saat berkata, ”kasih karunia Allah yang menyelamatkan semua manusia sudah nyata” (Titus 2:11). Allah menyelamatkan semua orang dan semua manusia, maka Gereja Katolik harus sungguh menjadi sakramen keselamatan dengan perkataan dan perbuatan, melalui pergulatan dan usaha pembebasan manusia, pembebasan sepenuhnya dan seutuhnya bagi semua orang, terutama mereka yang miskin dan terlantar.
Yesus Kristus sebagai Pusat
Teologi Katolik dan semangat perdamaian dilandaskan dan berpusat pada kehidupan Yesus Kristus sebagai tanda damai-sejahtera dari Allah Bapa. Pada prinsipnya, seluruh teologi Katolik tidak bisa dilepaskan dari pribadi Yesus Kristus. Paus Benediktus XVI menegaskan bahwa Yesus Kristus adalah the basic form of the Christological profession of faith , dan dengan demikian menjadai landasan setiap pemikiran teologis Katolik.
Teologi tidak bisa dilepaskan dari pribadi Yesus Kristus, sebab secara harafiah, teologi sendiri berarti ilmu atau ajaran (dari bahasa Yunani logia-logos) tentang Tuhan (theos). Maka, teologi merupakan refleksi tentang iman kepada Tuhan (Yesus Kristus) sebagai jawaban atas wahyu dari Allah dalam terang Roh Kudus. Pokok teologi adalah Allah yang mewahyukan diri dalam Yesus Kristus oleh kuasa Roh Kudus. Titik temu antara Allah dan Roh Kudus adalah Yesus Kristus. Dengan pokok utama itu, tujuan teologi adalah mengerti isi iman dengan pertanggungjawaban nalar sehingga memperdalam penghayatan iman (bdk. 1 Petrus 3:15).
Maka, teologi berpusat pada pribadi dan hidup Yesus Kristus dengan seluruh karya, pelayanan, pengajaran dan kehidupan-Nya yang memuncak pada sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya. Pribadi Yesus Kristus dan segala peristiwa yang menyertai-Nya, itulah pusat teologi Katolik. Meminjam rumusan St. Agustinus, teologi Katolik adalah ratio sive sermo de divinitate, yakni pemikiran atau ajaran tentang ke-Tuhan-anan, sehingga seperti dikatakan oleh St. Anselmus, umat beriman menghayati credo ut intelligam, beriman supaya mengerti, karena fides supposit rationem, iman mengandaikan akal budi.
Dalam konteks semangat perdamaian, dalam Yesus Kristuslah, semangat perdamaian itu memang sudah terbukti, terwujud dan memuncak. Yesus Kristuslah yang dengan darah-Nya, melalui sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya, memperdamaikan dunia dengan Allah. Yesus bersabda, ”Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Matius 5:9). Yesus sendiri telah membawa damai itu, karena Dialah Putera Allah yang Mahatinggi (Lukas 1:32). Itulah sebabnya, gema lagu pujia para malaikat surgawi saat mengiringi warta kelahiran-Nya ke dunia berbunyi, ”Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Lukas 2:34). Siapakah yang pada akhirnya disebut sebagai ”yang berkenan kepada-Nya?”, tidak lain adalah Yesus Kristus sendiri. Itulah sebabnya saat Yesus Kristus dipermandikan di sungai Yordan terdengarlah suara dari surga, ”Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan” (Lukas 3:22b).
Teologi yang Terbuka
Dalam dunia pendidikan umum, kita mengenal Ivan Illich yang menerbitkan buku Deschooling Society. Ivan Illich bercita-cita membangun pendidikan umum dengan membebaskan anak-anak dari struktur baku dan kaku sekolah. Atas dasar pemikiran Ivan Illich, Tom Jacobs, SJ mengusulkan perlunya teologi yang tidak bersifat akademis, yakni teologi yang “bebas dari sekolah” .
Itulah yang ingin saya sebut sebagai deschooling theology. Deschooling theology tentu saja tidak pernah lepas dari basik akademis. Namun, ia tidak melulu teknis-akademis. Maka boleh dibilang, deschoolong theology dapat disebut teologi yang dikembangkan di luar civitas akademika, atau teologi non-akademis. Ia lebih banyak berangkat dari konteks kehidupan. Justru konteks kehidupan menjadi medan pengembangan teologi non-akademis. Maka, teologi pun menjadi lebih terbuka!
Dalam sejarah Gereja Katolik, pengembangan teologi non-akademis yang terbuka sebetulnya merupakan buah dari gebrakan Konsili Vatikan II (KV II, 1962-1965). Gereja Katolik menjadi sedemikian terbuka dan mengemukakan pandangan-pandangan yang radikal progresif. Sebut saja, misalnya, paradigma yang terungkap dalam dokumen yang disebut Nostra Aetate, Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama bukan Kristiani. Dalam Nostra Aetate (NA) dengan terang dan jelas dirumuskan pandangan radikal progresif itu, “Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang.” (NA 2, alenia 2)).
Lebih lanjut, Gereja Katolik menegaskan, “maka Gereja mendorong para puteri-puteranya, supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agama-agama lain, sambil memberi kesaksian tentang iman serta perihidup Kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta-kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya, yang terdapat pada mereka!” (NA 2, alenia 3).
Pernyataan tersebut sungguh radikal-progresif sebab hingga KV II, paradigma yang dikemukakan adalah paradigma triumpalistik, Gereja merasa benar dan selamat sendiri, sampai-sampai muncul ungkapan “Di luar Gereja tidak ada keselamatan!” Karenanya, NA menjadi bukti radikalitas progresif sikap Gereja Katolik terhadap agama-agama lain, terhadap dunia, terhadap kebudayaan yang ada dalam kehidupan.
Apa alasannya, sehingga KV II berani sedemikian radikal progresif membongkar paradigma baru itu? Alasan utama dipertanggungjawabkan oleh Paus Yohanes XXIII, yang mempunyai prakarsa mengundang para Uskup sedunia untuk menyelenggarakan sidang KV II. Beliau mengharapkan bahwa KV II menjadi kesempatan bagi Gereja semesta untuk mengevaluasi kehidupan serta pelaksanaan misinya. Dalam rangka itu, tiga sasaran utama hendak dicapai, yakni, pertama, pembaharuan rohani dalam terang Injil. Kedua, penyesuaian dengan masa sekarang (aggiornamento) untuk menanggapi tantangan-tantangan zaman modern. Ketiga, pemulihan persekutuan penuh antara segenap umat Kristiani.
Dengan alasan itulah maka lahirlah suatu deschooling theology yang terbuka. Gereja pun mengembangkan gagasa-gagasan yang cukup terbuka secara teologis mengenai jatidirinya, mengenai tugas perutusannya dan mengenai pihak-pihak lain (baca: agama dan kebudayaan lain). Keterbukaan yang dibangun oleh Gereja Katolik melalui KV II membawa dampak dan pengaruhnya juga terhadap teologi.
Salah satu harapan untuk mengembangkan teologi Katolik yang terbuka dikumandangkan oleh Paus Yohanes Paulus II. Menurut Paus Yohanes Paulus II, teologi tidak dapat membatasi diri pada tugas menjaga khazanah ajaran, yang diwarisi dari zaman lampau. Sebaliknya, teologi harus mencari pemahaman dan pengungkapan iman yang memungkinkan penerimaannya dalam cara berpikir dan berbicara zaman sekarang. Usaha untuk menemukan pemahaman baru bagi pewartaan Kristiani dalam suatu dialektik antara kontinyuitas serta inovasi dan sebaliknya harus menjadi kriteria yang membimbing refleksi teologis.
Salah satu contoh konkret bagaimana teologi yang terbuka dikembangkan oleh Paus Yohanes Paulus II adalah saat secara mengejutkan (dunia) beliau berinisiatif untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf atas sikap Gereja Katolik yang pernah menghukum Galileo Galilei. Memang, kesalahan dalam kasus Galileo Galilei sudah lama disadari dan dibentuk tim khusus untuk meninjau ulang kasus tersebut sejak tahun 1981. Namun, baru pada tanggal 31 Oktober 1992, Paus Yohanes Paulus II secara terbuka mengakui kesalahan itu.
TEOLOGI DAN SEMANGAT PERDAMAIAN
Ada banyak kesempatan dan perkembangan yang dilalui Gereja Katolik dalam mengembangkan teologi dan semangat perdamaian. Pada bagian ini akan saya sebutkan beberapa pokok penting yang sangat berpengaruh dalam teologi Katolik mengenai semangat dan cita-cita perdamaian yang hendak diwujudkan.
“Gaudium et Spes”
Dalam pandangan Gereja Katolik, teologi dan semangat perdamaian, secara pastoral dikupas panjang lebar dalam Gaudium et Spes (GS) pada bab 5, no. 77-82 dengan sub judul “Usaha demi Perdamaian dan Pembentukan Persekutuan Bangsa-Bangsa”. Latar belakang perumusan pastoral adalah tanda-tanda zaman bahwa dunia dilanda kesengsaraan dan kesukaran akibat perang yang sedang berkecamuk maupun karena ancaman perang yang selalu gampang terjadi di mana pun dan kapan pun (GS 77).
Karenanya, teologi Katolik secara fundamental sangat menjunjung tinggi semangat perdamaian. Menurut GS 78, damai tidak melulu berarti tidak ada perang. Damai juga tidak pula dapat diartikan sekedar menjaga keseimbangan saja antara kekuatan-kekuatan yang berlawanan. Demikian juga damai tidak terwujud oleh pengembangan kekuasaan yang diktator.
Perdamaian pada hakikatnya merupakan buah karya keadilan. Karenanya, perdamaian selalu erat terkait dengan keadilan. Allah, Sang Pencipta semesta alam, sejak awal mula menghendaki agar masyarakat manusia hidup dalam perdamaian dan keadilan. Apa yang telah ditetapkan Allah harus terus-menerus diupayakan oleh manusia, sehingga perdamaian kian hari kian terwujud dalam kehidupan.
Hakikat perdamaian erat terkait pula dengan kesejahteraan umum. Maka, usaha menciptakan perdamaian menuntut supaya setiap orang tiada hentinya mengendalikan nafsu-nafsunya, dan memerlukan kewaspadaan pihak penguasa yang berwewenang berlaku adil. Perdamaian di dunia tidak akan pernah tercapai apabila kesejahteraan pribadi-pribadi tidak dijamin. Dalam arti ini, maka kerelaan untuk saling berbagi kekayaan jiwa maupun daya cipta adalah penting. Dengannya, kesungguhan menghayati persaudaraan secara nyata merupakan syarat mutlak terwujudnya perdamaian. Dengan demikian, perdamaian merupakan perwujudan cinta kasih dan keadilan.
Dalam pandangan teologi Katolik, khususnya dalam perspektif teologi Gaudium et Spes, ”damai di dunia ini, yang lahir dari cinta kasih terhadap sesama, merupakan cermin dan buah damai Kristus, yang berasal dari Allah Bapa” (GS 78). Dasarnya adalah peristiwa salib. Yesus Kristus, Putera Allah, telah mendampaikan semua orang dengan Allah melalui salib-Nya. Karenanya, semangat perdamaian dalam teologi Katolik tidak pernah bisa dilepaskan dari peristiwa salib Kristus. Umat Kristiani dipanggil dan diutus untuk memohon dan mewujudkan perdamaian di dunia.
Mencegah dan Menghindari Perang
Bagi teologi Katolik, perang adalah ancaman serius terhadap tegak dan terwujudnya perdamaian. Karenanya, semangat perdamaian mesti diwujudkan dalam sikap tegas mencegah dan menghindari perang. Gereja Katolik menyadari, sungguhpun perang-perang terakhir bagi dunia telah mendatangkan kerugian sangat besar, baik secara moral maupun material, namun bagi bangsa tertentu, perang rupanya masih terus menjadi kenyataan. Perang bahkan digelar dengan mengerahkan segala macam senjata teknologi tinggi dengan keganasan dan pertempuran yang tak beradab. Perang belumlah enyah di hidup manusia (GS 79).
Perang masih menjadi ancaman. Kengerian dan kejahatan perang bahkan meningkat secara luar biasa akibat bertambahnya senjata-senjata teknologi tinggi yang membawa dampak kehancuran yang lebih dahsyat untuk manusia dan alam semesta. Paus Yohanes XXIII sangat menentang penggunaan kekuatan senjata (bom) atom yang membahayakan kehidupan. Secara teologis ditegaskan dalam teologi Katolik bahwa semua kegiatan perang yang menimbulkan kehancuran merupakan tindak kejahatan melawan Allah dan manusia yang harus dikecam dengan keras (GS 80). Perang berlawanan dengan semangat perdamaian, maka perang dalam bentuk apa pun harus dicegah dan dihindari.
Untuk mencegah dan menghindari perang, maka kita pun harus menghilangkan dan mengubur dalam-dalam permusuhan, penghinaan, sikap curiga, kebencian rasial dan ideologi yang memecah-belah manusia serta menimbulkan pertentangan. ”Tidak ada gunanya mereka bersusah-payah membangun perdamaian, selama (masih ada) permusuhan, penghinaan, sikap curiga, kebencian rasial dan ideologi yang memecah-belah rakyat dan menimbulkan pertentangan” (GS 82).
”Pacem in Terris”
Merefleksikan teologi Katolik dan semangat perdamaian tidaklah lengkap bila tidak menyinggung Pacem in Terris. Teologi Katolik tentang (semangat) perdamaian sangat eksplisit dicanangkan oleh Paus Yohanes XXIII dalam Ensikliknya yang berjudul Pacem in Terris (PT, Perdamaian [di] Dunia). Ensiklik ini berisi tentang usaha mencapai perdamaian semesta dalam kebenaran, keadilan, cinta kasih dan kebebasan. Ditegaskan bahwa pedamaian di dunia di sepanjang zaman didambakan dan diusahakan oleh umat manusia. Akan tetapi, perdamaian tidak akan pernah tercapai, tidak akan pernah terjamin, apabila tata dunia yang ditetapkan Allah tidak dipatuhi oleh manusia dengan seksama (PT 1).
Secara mendasar, dalam Pacem in Terris Paus Yohanes XXIII mengemukakan bahwa masalah perdamaian bukan hanya perkara tidak ada perang, melainkan erat terkait dengan keadilan. Apabila masalah kemiskinan dan ketidakadilan tidak diatasi, mustahillah dunia ini dapat mengalami hidup secara damai.
Atas dasar hukum kodrat yang tertulis dalam hati manusia, Paus Yohanes XXIII memikirkan dan mengembangkan tatanan moral untuk menuntun kehidupan manusia menuju perdamaian dalam empat segmen, yakni ketertiban antara manusia, hubungan antara individu dan negara, hubungan antarnegara dan komunitas dunia. Secara progresif, Paus Yohanes XXIII menempatkan hak-hak asasi manusia sebagai yang utama dalam mewujudkan perdamaian di dunia. Beliau juga membuat distingsi antara ajaran ideologi yang palsu dan gerakan-gerakan sejati yang menanggapi masalah sosial dan ekonomi.
Paus Yohanes XXIII menegaskan, ”tidak pernah dunia akan menjadi kediaman damai, selama damai belum menetap di hati semua dan setiap orang, selama tiap orang belum memelihara dalam dirinya tata-tertib yang oleh Allah dikehendaki supaya dilestarikan.” (PT 165). Pada bagian terakhir beliau berharap dan berdoa, ”Semoga Kristus mengobarkan keinginan semua orang untuk mendobrak palang-perintang yang menceraikan mereka, untuk meneguhkan ikatan-ikatan cinta kasih timbal-balik, untuk belajar saling memahami, dan mengampuni siapa pun yang bersalah kepada mereka. Supaya turunlah damai atas kawanan yang dipercayakan kepada penggembalaan anda, demi kesejahteraan khas mereka yang paling jelata dan paling membutuhkan bantuan serta pembelaan...” (PT 171, 172).
Teologi Pemerdekaan
Secara umum-akademis dikenal dalam teologi Katolik salah satu bentuk teologi kontekstual yang disebut teologi pembebasan. Paradigma lama dan salah kaprah sering memandang teologi pembebasan sebagai teologi yang sesat, karena teologi pembebasan dianggap terlalu mengedepankan aksi kekerasan. Sesungguhnya, tidaklah demikian. Bahkan pada rezim Orde Baru, pembahasan dan pembelajaran tentang teologi pembebasan pun sempat kena cekal! Dilarang, karena bisa menimbulkan bahaya provokatif-destruktif.
Sesungguhnya, teologi pembebasan justru berpangkal pada keprihatinan dan gerakan pemerdekaan di Indonesia maupun cita-cita kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial. Teologi pembebasan bergerak dalam perspektif rakyat miskin dan tertindas yang mendambakan pemerdekaan. Maka orientasinya dalah pembebasan rakyat miskin dan tertindas agar memperoleh keadilan dan kesejahteraan. Jadi orientasinya adalah orientasi kerakyatan. Karenanya, tidak salah bahwa teologi pembebasan dalam konteks Indonesia disebut teologi pemerdekaan.
Di tilik dari sejarah, teologi pembebasan berakar pada situasi sosial politik ekonomi di Amerika Latin. Muncul sudah sejak abad ke-16 sebagai teologi kenabian melawan penjajahan. Pelontar gagasan tentang teologi ini adalah Antonio de Montesinos dan Bartholome(us) de las Casas. Berakar dari teologi kenabian ini, muncullah teologi pembebasan pada tahun 1960an sebagai sebuah praksis pastoral pembebasan. Seperti sudah disinggung, arah dan orientasi teologi pembebasan adalah pemerdekaan kaum jelata dan tertindas oleh kekuasaan yang korup dan membelenggu. Karenanya, teologi pembebasan selalu berhadapan dengan “struktur kekuasaan” yang biasanya berwajah kekerasan struktural pula terhadap rakyat. Cita-citanya adalah mewujudkan perdamaian bagi rakyat dalam bentuk konkret mengenyam keadilan dan kesejahteraan.
Itulah sebabnya, dalam konteks teologi Katolik dan semangat perdamaian, teologi pembebasan atau teologi pemerdekaan sungguh sejalan seiring tidak berlawanan. Dapat ditegaskan bahwa teologi pemerdekaan adalah bentuk konkret gerakan teologi yang memang bermuara pada terwujudnya perdamaian, terutama bagi kaum papa jelata miskin tertindas.
Secara kontekstual, teologi semacam ini telah dikembangkan oleh para misionaris di Indonesia, misalnya oleh Romo van Lith. Romo van Lith telah mengembangkan argumentasi teologis persaudaraan semua orang untuk membela hak-hak orang pribumi melawah penjajah dan mendukung gerakan kemerdekaan. Secara berani, van Lith berargumentasi: “Dalam Gereja Kristus tidak ada orang Yahudi, tidak ada orang Romawi, tidak ada orang Yunani. Jadi tidak ada Belanda, tidak ada Jawa. Tata hidup (persaudaraan) yang sejak semula ada dalam Gereja sekarang berlaku juga di luar Gereja: Belanda (totok), Indo dan Jawa mulai saat ini akan hidup rukun sebagai saudara di dalam satu rumah.”
Dari kutipan tersebut kita mengalami dan merasakan betapa teologi pembebasan atau teologi pemerdekaan memang mempunyai cita-cita untuk mewujudkan perdamaian di dalam kehidupan bersama. Ada inklusivitas di tengah pluralitas. Ada sikap saling menghormati dan menjunjung tinggi semangat persaudaraan sebagai bentuk konkret hidup damai satu terhadap yang lain.
Tanggungjawab Iman Berdimensi Sosial
Semangat perdamaian dalam perspektif teologi Katolik merupakan bentuk tanggungjawab iman yang berdimensi sosial. Iman bukan hanya soal menjawab wahyu Allah secara individual, melainkan bergerak dalam kebersamaan. Iman bukan soal gerak-naik takwa kepada Allah secara vertikal, melainkan dihayati secara horizontal gerak-menyamping kepada sesama. Tentu saja, tanggungjawab ini bisa dilaksanakan secara individual, tetapi juga secara struktural-institusional. Seorang beriman bisa mewujudkan semangat perdamaian secara pribadi sebagai seorang manusia dengan sesamanya, tetapi juga secara serentak bersama umat beriman lain. Itulah sebabnya, tindakan tanggunjawab itu disebut tanggungjawab iman berdimensi sosial.
Gerak individual memang lebih bersifat personal. Sementara tanggungjawab iman yang berdimensi sosial mengandaikan adanya suatu gerakan yang bersifat struktural. Secara otomatis hal ini terjadi mengingat inti perjuangan demi mewujudkan perdamaian secara fundamental kerap kali berhadapan dengan struktur sosial yang korup dan tidak adil. Itulah yang dalam teologi Katolik disebut sebagai tatanan yang berdosa secara struktural, sebab struktur-struktur yang korup selalu tercemar oleh ”dosa sosial”.
Paus Yohanes Paulus II dengan sangat baik menjelaskan arti ”dosa sosial” dalam amanat apostoliknya yang berjudul Reconciliatio et Paenitentia (2 Desember 1984). Menurut Paus Yohanes Paulus II, dosa sosial memiliki tiga arti. Pertama, dosa sosial menunjuk pada pengaruh sosial dari dosa. Setiap tindakan berdosa yang dilakukan secara pribadi – bahkan ketika orang lain tidak tahu apa yang dilakukan oleh seseorang – selalu membawa dampak pengaruh pada orang lain sebagai akibat solidaritas manusiawi. Kedua, dosa sosial dapat diartikan sebagai dosa-dosa yang melawan sesama manusia terutama dosa yang melawan keadilan. Korupsi misalnya, masuk dalam kategori dosa sosial. Ketiga, betapa pun, dosa sosial merupakan kejahatan melawan Allah, sebab dosa sosial selalu berlawanan dengan rencana Allah yang menghendaki agar keadilan dan kesejahteraan dialami oleh semakin banyak orang, bukan hanya oleh individu atau kelompok.
Dosa sosial mewarnai dan merusak struktur-struktur kehidupan masyarakat. Karenanya, dosa sosial mewajah dalam segala macam struktur yang korup dan membuat struktur-struktur berdosa (sinful structures). Dalam struktur-struktur berdosa, segala tindakan berdosa dianggap wajar dan lazim. Kita bisa mendeteksi adanya struktur berdosa dalam kasus-kasus korupsi, kolusi dan nepotisme. Suap-menyuap manifestasi korupsi dianggap lazim dan wajar, padahal sesungguhnya, itu merupakan dosa dan bagian dari struktur berdosa. Pribadi-pribadi yang terlibat di dalamnya menganggap bahwa korupsi merupakan kewajaran, kelaziman, dan bahkan disebut ”budaya” karena sudah lumrah terjadi. Namun, struktur inilah yang ujung-ujungnya berbuah pada ketidakadilan, dan pada akhirnya membuat perdamaian jauh dari jangkauan.
Masih menurut Paus Yohanes Paulus II, dalam Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (SRS), struktur dosa biasasa berakad di dalam dosa pribadi, dan dengan demikian selalu dikaitkan dengan tindakan-tindakan konkret individu-individu yang menciptakan struktur-struktur ini, memperkuat dan membuat struktur-struktur itu sulit dihilangkan. Dengan demikian struktur-struktur itu bertumbuh menjadi lebih kuat, meluas dan menjadi sumber dosa-dosa lain, dan dengan demikian mempengaruhi tingkah laku orang-orang (lain) (SRS 36).
Di tengah lingkaran struktur berdosa, kian sulitlah mengembangkan keutamaan mewujudkan perdamaian dalam kehidupan. Karenanya, tanggungjawab iman berdimensi sosial mendapat tantangan tersendiri di dalamnya. Keutamaan sosial pun kian sulit diwujudkan. Itulah akibat buruk dari dosa sosial, dosa struktural dalam struktur-struktur (institusional yang) berdosa.
Menarik sekali mempertimbangkan usulan Gregory Baum tentang dosa sosial. Ia menyebut empat level dosa sosial. Pertama, dosa sosial terjelma dalam level ketidakadilan dan arus-arus dehumanisasi yang terwujud dalam berbagai macam institusi sosial, politik, ekonomi dan religius. Kedua, dosa sosial tampak dalam level simbol-simbol kultural-religius yang melegitimasikan dan mendesakkan situasi yang tidak adil dan korup. Ketiga, dosa sosial tampak pada kesadaran keliru yang tercipta oleh institusi-institusi dan ideologi-ideologi sedemikian rupa sehingga rakyat secara kolektif terlibat dalam tindakan-tindakan yang bersifat destruktif. Keempat, dosa sosial terungkap dalam keputusan kolektif yang lahir dari kesadaran yang telah rusak dan menyimpang, yang menambah ketidakadilan dalam masyarakat dan kian mengintensifkan arus dehumanisasi.
Justru karena itulah, maka tanggungjawab iman tidak melulu bersifat individual, melainkan memiliki dimensi sosial. Tanggungjawab iman yang berdimensi sosial terungkap dalam praksis solidaritas. Itulah sebabnya, Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa struktur berdosa harus dihadapi dengan solidaritas, yakni tekad yang kukuh dan bertahan hendak mengabdikan diri kepada kebaikan bersama. Kebaikan bersama adalah kebaikan demi sekalian orang dan setiap individu. Setiap orang memiliki tanggungjawab sosial dalam kehidupan bersama.
Dosa sosial sebagai termanifestasi dalam struktur-struktur berdosa juga mesti dihadapi dengan pertobatan sosial. Memang, pertobatan sosial mengandaikan pertobatan individual. Namun, pertobatan sosial bukan perkara yang gampang dilakukan sebab selalu berhadapan dengan kendala kekuasaan. Pertobatan sosial – dalam perspektif kultur Jawa tampak dalam upaya mengutamakan harmoni daripada konflik. Secara teologis, harmoni menjadi langkah awal untuk membangun perdamaian dalam masyarakat. Karenanya, kontrol sosial untuk mewujudkan harmoni selalu diperlukan dan harus diupayakan bersama, terutama terkait dengan politik kekuasaan.
Hari, Pesan dan Doa Perdamaian
Adalah Paus Paulus VI, yang dalam Gereja Katolik mengusulkan agar semangat perdamaian selalu dibangun dan dipupuk secara bersama. Paus Paulus VI pun menetapkan bahwa setiap tanggal 1 Januari merupakan hari perdamaian sedunia. Itu sudah dilakukan sejak 1 Januari 1968. Tradisi ini dilanjutkan dengan setia oleh Paus Yohanes Paulus II yang menjadi promotor perdamaian secara ulung semasa hidupnya. Tradisi baik yang dimulai oleh Gereja Katolik sejak Paus Paulus VI kemudian diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menetapkan tanggal 1 Januari sebagai Hari Perdamaian Dunia, sejak 1 Januari 2000.
Paus Yohanes Paulus II secara konsisten menempatkan Hari, Doa dan Pesan Perdamaian semasa masa pontifikatnya sebagai Paus. Maka benar, dalam kehidupannya, Paus Yohanes Paulus II telah menjadi promotor perdamaian. Selain dalam komitmennya menentang perang (di Afganistan, Irak, dan tempat lain), perannya sebagai promotor perdamaian amat jelas tampak dalam komitmennya melanjutkan inisiatif pendahulunya, Paus Paulus VI, untuk mengembangkan Hari Perdamaian Sedunia (HPS).
Peran Paus sebagai promotor perdamaian tampak dalam konsistensinya menerbitkan "pesan perdamaian" pada HPS (World Day of Peace Message/WDPM), bukan saja bagi umat Katolik, tetapi bagi seluruh manusia sedunia, apa pun agamanya. Sebagaimana dicatat Giampaolo Crepaldi , pesan perdamaian selalu mengungkapkan considerable corpus of teaching concerning the promotion of peace in a relation to particularly timely social questions.
Dari tahun ke tahun , sejak menjabat Paus, Yohanes Paulus II terus menggunakan HPS sebagai kesempatan mempromosikan damai dalam berbagai konteks sosial aktual. Pesan perdamaian yang pertama misalnya, jelas menunjukkan karakternya sebagai promotor perdamaian. Beliau menegaskan, untuk menggapai perdamaian, ajarkanlah perdamaian. Kita harus menolak kekerasan dan mengajukan alternatif yang kokoh demi perdamaian dengan bahasa perdamaian, bukan bahasa kebencian. Bahasa perdamaian akan menciptakan ruang bagi perdamaian. Sebab, kita semua harus membongkar lingkaran kekekerasan (WDPM, 1979, untuk selanjutnya, tahun yang saya sebut dalam kurung selalu menunjuk pesan perdamaian yang disampaikan Paus pada HPS tahun bersangkutan).
Perdamaian harus ditegakkan sebab perdamaian adalah anugerah Allah yang dipercayakan kepada kita. Untuk itu kita harus secara aktif mempromosikan perdamaian di tengah kehidupan. "To become active in promoting peace, a special place must be given in educational programs to actual situations in which peace is under threat" (1982).
Salah satu cara mempromosikan perdamaian dengan menghargai tiap pribadi dalam kehidupan bersama. Jika menghendaki perdamaian dalam kehidupan, baiklah kita menghormati hak asasi tiap pribadi. Tiap pribadi memiliki kebebasan otentik yang harus dihormati (1991).
Promosi perdamaian pertama-tama dan terutama terjadi dalam keluarga. Keluargalah yang harus mulai membangun perdamaian secara manusiawi. Keluarga merupakan primary agent of a future of peace. To educate to peace, the parents must be people of peace, workers for peace" (1994).
Memang perdamaian merupakan tanggung jawab seluruh komponen masyarakat: orangtua, guru, politisi, penguasa, dan seluruh umat beriman. Namun, secara khusus, Paus menyebut kaum perempuan sebagai guru perdamaian bagi anak manusia di seluruh dunia (1995).
Hal penting lain yang menjadi perhatian Paus dalam mempromosikan perdamaian adalah dialog antarkebudayaan demi terwujudnya peradaban kasih dan perdamaian. Dialog hanya terjadi bila manusia antarbudaya saling menghormati perbedaan satu terhadap yang lain. Itulah tanggung jawab besar abad ini dalam mempromosikan perdamaian (2001).
Paus Yohanes Paulus bukan saja rajin menulis pesan perdamaian setiap tahunnya. Ia juga memulai sesuatu yang baru dan konkret untuk mengembangkan semangat perdamaian dengan menyelenggarakan doa bagi perdamaian. Doa untuk perdamaian itu diselenggarakan sejak tahun 1986 di kota Asisi, kota Fransiskus Asisi berasal. Doa untuk perdamaian bahkan diikuti oleh berbagai tokoh agama yang ada di dunia dan menjadi tradisi baru baik untuk Gereja maupun agama-agama di dunia ini.
Dalam semuanya itu, teologi Katolik dan semangat perdamaian kian menyatu dan mewajah dalam praksis hidup sehari-hari. Teologi Katolik dan semangat perdamaian bukan hanya menjadi suatu kajian akademis, melainkan menjadi praksis hidup sehari-hari. Dengan demikian, semangat perdamaian bukan saja menjadi suatu kerangka teoretik pengharapan, melainkan menjadi penghayatan yang dipraktikkan dalam kehidupan yang nyata, bahkan secara lintasagama.
Secara liturgis, doa perdamaian bahkan masuk dalam kerangka Doa Syukur Agung dalam Perayaan Ekaristi yang didoakan secara istimewa sebagai sebuah peristiwa keselamatan. Ungkapan doa perdamaian dalam Tata Perayaan Ekaristi Liturgi Gereja Katolik tampak dalam Doa Syukur Agung yang ke-6. Doa Syukur Agung tersebut bertemakan “Allah Pangkal Damai”. Kalimat doa prefasinya berbunyi: “… Meskipun umat manusia terpecah belah oleh pertengkaran dan perselisihan, kami mengalami pula bahwa Engkau senantiasa membangkitkan hasrat untuk berdamai. Karena dorongan Roh-Mu, orang-orang yang bermusuhan berdamai kembali, yang berlawanan berjabat tangan, dan bangsa-bangsa mencari jalan untuk menggalang persatuan. Berkat kuasa-Mu juga, cinta mengalahkan kebencian, pengampunan menaklukkan balas dendam, dan saling kasih mengenyahkan perselisihan.”
Dalam doa tersebut juga dimohon kepada Allah agar “memberikan Roh-Nya kepada kami agar Ia menjauhkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan perpecahan”. Dimohon juga “semoga Ia membuat Gereja-Mu menjadi tanda persatuan dan saranan perdamaian di antara bangsa-bangsa…”
Komisi Keadilan dan Perdamaian
Untuk kian mengakarkan teologi Katolik dan semangat perdamaian dalam tanah kehidupan konkret, maka dari Vatikan hingga Konferensi-Konferensi Waligereja Sedunia dan tingkat Keuskupan, dibentuklah satu komisi khusus, yakni Komisi Keadilan dan Perdamaian. Dengan demikian diharapkan cita-cita menegakkan keadilan dan mewujudkan perdamaian kian konkret dan tetap dalam koordinasi yang bersifat global.
Komisi ini secara khusus bertugas untuk kian memajukan dan mewujudkan keadilan dan perdamaian di tingkat akar rumput. Komisi ini bertugas mempelajari dan memajukan upaya perdamaian dunia berdasarkan doktrin dan ajaran sosial gereja. Disamping itu juga mengumpulkan informasi dan penyelidikan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan keadilan, perdamaian, termasuk penegakkan hak azasi manusia dan kebebasan beragama.
Di Indonesia, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) mulai secara khusus membentuk Komis Keadilan dan Perdamaian (Commission for Justice and Peace) sejak tahun 1982. Semula hanya disebut Sekretariat Justice and Peace, tetapi kemudian menjadi komisi tersendiri yang kian fokus untuk menangani keadilan dan perdamaian, baikan secara internal maupun secara eksternal. Sekretariat Justice and Peace diubah menjadi Komisi Keadilan dan Perdamaian KWI sejak tahun 1985.
Secara khusus komisi ini bertugas membantu para Uskup di Indonesia memperkenalkan dan mengembangkan dimensi keadilan dan perdamaian dalam terang iman Katolik kepada seluruh umat dan masyarakat. Melalui program pendidikan, komisi ini mendorong umat Katolik untuk menggali nilai-nilai keadilan dan perdamaian dalam Kitab Suci, melakukan refleksi atas situasi masyarakat, dan mencari jalan untuk memromosikan budaya adil dan damai sebagai alternatif bagi kenyataan yang tidak adil dan penuh kekerasan. Komisi ini juga melatih calon penanggungjawab pastoral keadilan dan perdamaian dan tenaga advokasi.
Harapannya, dengan kinerja yang kian fokus dan baik, maka Komisi Keadilan dan Perdamaian sungguh-sungguh dapat merepresentasikan teologi Katolik dan semangat perdamaian di tengah-tengah kehidupan yang konkret. Bahkan, sekarang ini, hampir setiap Keuskupan di seluruh Indonesia telah terbentuk Komis Keadilan dan Perdamaian di tingkat Keuskupan (Gereja Lokal).
PENUTUP
Mengakhiri refleksi ini, izinkanlah saya menampilkan kembali doa St. Fransiskus Asisi, guna memohon perdamaian dan agar kita baik secara pribadi maupun bersama-sama dapat menjadi tanda dan sarana perdamaian bagi sesama dan bagi dunia.
Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai, bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa cinta kasih. Bila terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa pengampunan. Bila terjadi perselisihan, jadikanlah aku pembawa kerukunan. Bila terjadi kebimbangan, jadikanlah aku pembawa kepastian. Bila terjadi kesesatan, jadikanlah aku pembawa kebenaran. Bila terjadi kecemasan, jadikanlah aku pembawa harapan. Bila terjadi kesedihan, jadikanlah aku sumber kegembiraan. Bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang. Tuhan, semoga aku lebih inhin menghibur daripada dihibur, memahami daripada dipahami, mencintai daripada dicintai; sebab dengan memberi kami menerima, dengan mengampuni kami diampuni, dengan mati suci kami bangkit lagi untuk hidup selama-lamanya. Amin.
Mari kita serukan doa perdamaian itu bukan dari puncak keangkuhan dan kesombongan kita, melainkan seperti yang dilantunkan pemazmur, ”dari jurang yang dalam aku berseru kepada-Mu, ya Tuhan! Tuhan, dengarkanlah suaraku! Biarlah telinga-Mu menaruh perhatian kepada suara permohonanku!” Ya, permohonan kita untuk perdamaian dunia!
Ya, kita berseru memohon perdamaian kepada Allah sendiri, dari jurang yang dalam! Bukan dari puncak keangkuhan dan kesombongan! Dari jurang yang dalam, yakni dari keberadaan kita sebagai manusia yang rapuh, ringkih dan berdosa, kita berseru kepada Tuhan untuk perdamaian.
Semoga kita pun dapat senantiasa mewujudkan (semangat) perdamaian dalam kehidupan kita sehari-hari! Tuhan memberkati!
DAFTAR PUSTAKA
Banawiratma, SJ, J.B. & J. Müller, SJ, Berteologi Sosial Lintas Ilmu, Yogyakarta:
Kanisius, 1995
Budi Purnomo Pr, Aloys, Jalan-Jalan Toleransi Menuju Kasih dan Keadilan, Kanisius,
Yogyakarta, 2002
Budi Purnomo Pr, Aloys, Paus Paulus II, Promotor Perdamaian, Jakarta: Kompas, 2003
Budi Purnomo Pr, Aloys, Membangun Teologi Inklusif-Pluralistik, Penerbit Buku
Kompas, Jakarta, 2003
Budi Purnomo Pr, Aloys, Iman dan Agama Yang Membumi, Yayasan Pustaka Nusatama,
Yogyakarta, 2005
Budi Purnomo Pr, Aloys, Rakyat (Bukan)Tumbal (Kekuasaan & Kekerasan), Penerbit
Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2007
Budi Susanto S.J., (ed.), Teologi dan Praksis Komunitas Post Modern, Yogyakarta:
Kanisius, 1994.
Curran, Charles E., Catholic Social Teaching, 1891-Present, Washington: Georgetown
University Press, 2007
Dokpen KWI, Konsili Vatikan II, terjemahan R. Hardawiryana, SJ, Jakarta: Obor, 1993
Giampaolog Crepaldi, Pontifical Council for Justice and Pease, Vatican: 2001
Gregory Baum, Theology and Society, New York: Paulist Press, 1987
Henri Nouwen, The Road to Peace: Writting on Peace & Justice, New York: Orbis
Books, 2004
Heuken SJ, A., Ensiklopedi Gereja Jilid V, Jakarta: Cipta Loka Caraka, 2005
John Paul II, The Pope Speaks 28 Vatican, 1983
Ratzinger, Josef Cardinal (Pope Benedict XVI), Introduction to Christianity, San
Francisco: Ignatius Press, 2004
Pope John XXIII, Ensiklik Pacem in Terris, Vatican, 1963
Riwayat singkat penulis:
ALOYS BUDI PURNOMO PR, M.Hum lahir di Wonogiri, 14 Februari 1968. Imam Diosesan Keuskupan Agung Semarang. Penulis sejumlah buku spiritualitas dan refleksi teologis kontekstual sosial-politik (sejak tahun 1998-2008 sudah lebih dari 60 judul buku) di berbagai penerbit (Penerbit Bina Media: Medan, Dioma: Malang, Gramedia: Jakarta, Kanisius: Yogyakarta, dan Pustaka Nusatama: Yogyakarta). Aktif menulis di Harian Kompas (sejak tahun 1992). Kadang-kadang menulis di Harian Suara Merdeka, Wawasan, dan Solo Pos. Sekarang bertugas sebagai Pemimpin Redaksi Majalah (bulanan) INSPIRASI, Lentera yang Membebaskan (sejak September 2004) dan Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang (sejak Mei 2008).
Langganan:
Postingan (Atom)
Entri Populer
-
Oleh Aloys Budi Purnomo Pr, M.Hum Saya dengan sengaja tidak menggunakan kata “kedamaian” sebagaimana dipakai panitia. Secara normatif unive...
-
Fiat Voluntas Tua! (Terjadilah padaku menurut kehendak-Mu) merupakan ungkapan terkenal dari Maria. Umat Katolik tentu sangat mengenal Mar...
-
Tanggapan Gereja-Gereja terhadap Pekan Doa Sedunia untuk Kesatuan Umat Kristiani (PDS KUK) 2013 sangat luar biasa. Selain mendoakan sela...
-
Oleh Aloys Budi Purnomo Pr ADA dua kisah naratif yang inspiratif untuk merawat kebhinnekaan. Mgr. Johannes Pujasumarta, Uskup Keuskupan Agun...
-
Malam satu suro (18/12/09). Bau asap dupa menyengat di Gereja Hati Kudus Yesus Tanah Mas (HKYTM) Semarang. Di sana sudah tersedia tumpeng, j...
-
Romo J Sudrijanta, SJ memberikan penjelasan tentang Meditasi tanpa Objek Para peserta mengaku kesulitan ketika mempraktikkan meditasi...
-
PROFIL KOMISI HUBUNGAN ANTARAGAMA DAN KEPERCAYAAN KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG Oleh Aloys Budi Purnomo Pr Ketua Komisi Hubungan Antaragama ...
-
Dengan berjalan pelan, para pendeta dan pastor me nuju altar Gereja Hati Kudus Yesus Tanah Mas Semarang. Sementara itu lagu Taize “Tinggalla...
-
“APA YANG TUHAN TUNTUT DARI KITA?’ ( Bdk . Mi k h a 6:6-8) Pekan Doa Sedunia untuk Kesatuan Umat Kristiani 18-25 Januari 20...