Jumat, 28 Januari 2011

Ibadat Penutupan Pekan Doa untuk Kesatuan Umat Kristiani Sedunia


Pastor Aloys Budi Purnomo Pr membuka Ibadat Ekumene Penutupan Pekan Doa Sedunia untuk Kesatuan Umat Kristiani, di Gereja hati Kudus Yesus Tanah Mas, Semarang, petang (25/1). “Tuhan Yesus menengadah ke langit dan berkata,”Aku berdoa, untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku; supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku!”” kata Pastor Budi dengan khidmat.

Ibadat dibuka dengan iring-iringan misdinar, prodiakon dan disusul para pastor dan pendeta. Sementara itu lagu “Satu Hal yang Kurindu” dan “Berhembuslah Roh Kudus” dinyanyikan dengan merdu oleh PDKK Hati Kudus Yesus Tanah Mas dan PDKK Semarang.

Dalam memimpin ibadat, Romo Budi didampingi Pdt. Ronny C. Kristantoro (GIA Pringgading), Pdt. Napsun Setyono (GKJ Banyumanik, sekaligus ketua Persekutuan Gereja-gereja Kristen Semarang dan Jawa Tengah), Pdt. Situngkir (HKBP), Pdt. Juwarisman (GKJTU), Pdt. Rahmat Rajagukguk (GKI Gereformed), Pdt. Wipro Pradipto, Pastor Florentinus Hartanta Pr (Gereja Katolik Hati Kudus Yesus Tanah Mas) dan Pastor Paulus Triwahyu W Pr (Seminari TOR Sanjaya).

Prosesi ibadat diisi dengan keterlibatan dari gereja-gereja dan komunitas di kota Semarang. Di antaranya adalah Karawitan GKJTU Srondol, Kelompok Keroncong GIA Pringgading, Paduan Suara GKJ Banyumanik, KTM Distrik Semarang, PDKK Hati Kudus Yesus Tanah Mas, Mudika Hati Kudus Yesus Tanah Mas, Timja Adorasi Hati Kudus Yesus Tanah Mas, Koor Lingkungan St. Martinus, PKK Ekumene Kelurahan Panggung Lor, Guntur Ekumene Community dan lain-lain.

Lagu-lagu yang dibawakan pun beraneka ragam dari yang tenang seperti karawitan dengan tembang Jawa serta keroncong, hingga lagu yang gegap gempita. Semua hadir dengan kekhasan lagu masing-masing. Dari keragaman lagu itulah, tampak bahwa gereja pun beraneka ragam denominasi. Meskipun demikian perbedaan itu tetap disatukan dalam doa Yesus sendiri, ”Semoga mereka semua menjadi satu sehingga dunia percaya” (Yoh 17:21).

Narasi kekristenan
Ibadat penutupan PDS diisi dengan renungan dan perkenalan profil gereja-gereja yang terlibat dalam ibadat ekumene. Satu demi satu para pendeta memperkenalkan diri dan merefleksikan secara singkat tentang kesatuan umat kristiani.

Pdt. Napsun Setyono, menyatakan rasa bahagianya karena umat dari berbagai gereja bisa berhimpun dalam nama Yesus Sang Pemersatu. ”Kita adalah satu dalam Tubuh Kristus yang terus berarak-arakan menuju tanah Kanaan baru dengan berpengharapan atas cinta kasih. Semuanya, umat Allah boleh menjadi berkat bagi dunia ini, dan umat Tuhan yang di sini boleh menjadi berkat di Semarang ini,” tukasnya dengan suara yang lantang. Dia menyatakan bahwa kita adalah saksi-saksi Kristus yang jerih payahnya tidak pernah sia-sia.

Sementara itu, Pdt. Rahmat mengatakan pentingnya hidup dalam kebersamaan dan saling mengenal identitas. ”Kita menjelaskan identitas kita dan kita saling mengenal, maka dalam proses perkenalan itu wacana-wacana yang baru pun muncul dalam kehidupan bersama,” tuturnya dengan tenang. Dengan saling mengenal, menurutnya, hal itu menjadi sesuatu yang indah. Kalau tidak mengenal, sesuatu yang berbeda bisa menjadi hal yang menakutkan.

Lain halnya dengan Pdt. Situngkir, ia menyapa jemaat yang datang dengan salam Bataknya yang khas,”Horas!” Ia menceritakan bahwa gerejanya mempunyai visi inklusif, berdialog dan terbuka. Sebagai perantau di Semarang, ia merasa hidup di daerah sendiri.

Keragaman gereja disoroti Pdt. Ronny. Pendeta muda itu menyampaikan bahwa di dalam internal kekristenan terdapat varian yang banyak. Ia mengatakan bahwa gerejanya memiliki corak ekumenis yang sejak awal telah bekerja sama dengan gereja-gereja lain membentuk sekolah YSKI. ”Sekarang kami bergerak lebih luas dengan membuka relasi-relasi lintas agama!” katanya. Menurutnya, hal itu merupakan lompatan-lompatan gereja. Ada kesadaran bahwa gereja dipanggil untuk melakukan banyak hal secara nyata di dunia ini, tidak hanya memikirkan surga.

Pdt. Juwarisman dari GKJTU mengatakan bahwa gerejanya sekalipun kecil, namun ingin bermakna bagi dunia. ”Dalam hal ini kami mencoba membangun center pakerti dan pemberian kredit di tempat-tempat bencana!” katanya. Keterlibatan gerejanya dalam mengembangkan hidup masyarakat dilakukan dengan turut mempromosikan hidup jujur, tulus, disiplin, memberi penghargaan terhadap orang lain dan hidup rendah hati. ”Itulah gereja kami, meskipun kecil, tapi kami ingin berpartisipasi untuk bermakna,” tegasnya.

Kisah memberi pelayanan yang serupa pun diceritakan Pdt. Wipro. Ia mengisahkan pelayanannya di sebuah daerah kumuh di kota Semarang dan suku-suku pedalaman seperti di Lampung dan Palembang. ”Saya sering keluar masuk gereja-gereja. Saya sering khotbah di gereja-gereja!” katanya.

Ibadat dihadiri umat Katolik maupun Kristen Protestan dari berbagai gereja. Para frater dan suster pun datang mengikuti ibadat tersebut.

Sejarah PDS
Ibadat diselenggarakan dalam rangka menutup rangkaian Pekan Doa Sedunia (PDS) untuk Persatuan Umat Kristiani yang diselenggarakan sejak 18-25 Januari tahun ini. Acara diselenggarakan Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang (KOMHAK-KAS).

PDS diselenggarakan tiap 18-25 Januari setiap tahunnya. Pekan doa tersebut adalah buah kerja sama ekumenis antara Dewan Kepausan untuk Kesatuan Umat Kristiani (Gereja Kristen Katolik Roma) di Vatikan, Roma dan Komisi Iman dan Hukum Dewan Gereja-Gereja Sedunia (Gereja Kristen Protestan) di Genewa, Swiss; Tradisi ini sudah dimulai secara ekumenis sejak tahun 1908, hingga sekarang ini. Jadi telah berusia 1 abad (100 tahun) lebih.

PDS 2011 bertema ”Mereka bertekun dalam pengajaran para rasul, persekutuan, Ekaristi dan doa”. Menurut Ketua KOMHAKKAS, Pastor Budi, selama PDS, umat kristiani diajak untuk mewartakan dan memberi kesaksian bahwa kesatuan dalam kesetiaan pada pengajaran para rasul, persekutuan, pemecahan roti (ekaristi) dan doa, akan memampukan kita bersama untuk mengalahkan kejahatan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam PDS, umat kristiani diajak untuk turut mendoakan kesatuan umat kristiani dalam gereja maupun komunitas masing-masing dengan tema harian yang berbeda-beda setiap harinya selama sepekan.

Kamis, 25 Februari 2010

Olah Batin Menggapai Kebahagiaan Sejati Selaras Kersa Dalem Gusti

Para peserta duduk bersila. Tangan kanannya ditempelkan di hati. Kedua matanya terpejam. Sementara itu pembimbing latihan memberikan instruksi-instruksi yang harus diikuti para peserta (Bedono, 20-21/2/2010). Kegiatan itu adalah salah satu sesi acara Temu Kebatinan (Tebat) bertema “Olah Batin Menggapai Kebahagiaan Sejati Selaras Kersa Dalem Gusti”. Mencapai Kebahagiaan Sejati melalui Olah Rasa dengan Hati. Materi ini dibawakan oleh Kelompok Sosialisasi Hati (KSH), Jakarta.

Sesi yang dibawakan pada malam hari itu bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi hati. Tuhan menganugerahkan otak dan hati. Namun, kecenderungan yang terjadi, masyarakat lebih suka memakai otak. Pada dasarnya manusia selalu ingin mencapai kebahagiaan. Akibat terlalu dominan memakai otak, maka manusia menjadi tidak seimbang. Menurut tim KSH, orang yang mencari kebahagiaan dengan otaknya hanya akan mencapai kebahagiaan sementara. Efek samping dominasi kerja otak seperti banyak pikiran, khawatir, takut, kecewa, curiga, sedih, mudah tersinggung, tidak sabaran, dan tidak puas dalam segala hal. Akibat dari semua itu adalah seseorang tidak dapat menikmati hidup.

Menurut Kasandra Hermawan, MM, seorang fasilitator KSH, hati merupakan kunci spiritual. Sebagai kunci spiritual, hati bisa menyadari dan menerima berkat Tuhan. Dengan hati, kita bisa menyadari hidup dan beribadah kepada Tuhan.
Hati merupakan pusat rasa tenang, damai, nyaman, indah, bahagia yang bersumber dari kasih Tuhan. Hati menentukan hubungan kita dengan Sang Pencipta. Melalui hati, kebahagiaan sejati bisa kita raih.

Hati yang fungsinya dioptimalkan memungkinkan seseorang untuk semakin bisa mengasihi sesama, saling mengerti dan menerima, tidak mudah khawatir, kecewa, jengkel, sedih, membuat relasi menjadi semakin akrab, hidup lebih optimis dan semangat serta merasa semakin dekat dengan Tuhan.

KSH mengajak para peserta untuk mau melatih mengoptimalkan hati karena hal itu memungkinkan orang mencapai kebahagiaan sejati. Dengan melatih, hati menjadi lebih indah dan mampu melakukan apapun dengan lebih ikhlas.

Intinya, dengan memanfaatkan hati, seseorang akan mengalami kesehatan fisik, mental, emosional, sosial dan spiritual. Hati yang diolah memungkinkan seseorang mempunyai produktifitas yang baik, kualitas hubungan antar manusia membaik. Bahkan keselarasan berbagai aspek hidup sehari-hari seperti bisnis, pendidikan, sosial, maupun pribadi menjadi semakin berkualitas.

Yang terpenting adalah melatih mengoptimalkan fungsi hati sangat mudah dilakukan. Latihan dapat dilakukan sewaktu-waktu dan bisa dilakukan di banyak tempat. Buah-buah yang langsung dirasakan adalah ketenangan, kedamaian, kenyamanan, keindahan dan kebahagiaan.

Sebelum sesi olah rasa dengan hati, Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang, Pastor Aloys Budi Purnomo Pr memberikan peneguhan dengan mengajak peserta untuk mendaraskan Sabda Bahagia (Matius 5:1-12). Sabda itu dimaksudkan supaya peserta senantiasa berbahagia meskipun mengalami beraneka rupa permasalahan.

Hari kedua, panitia Temu Kebatinan menghadirkan Sinuhun Paku Buwono XIII Tedjo Wulan. Tedjo Wulan menyampaikan perjalanan spiritualnya yang dramatis. Menurutnya, kebatinan itu gaib, tidak bisa dilihat tetapi bisa dirasakan. Perjalanan spiritualnya dilakukan sejak ditinggal orangtuanya. Dia bermaksud mencari kehendak Tuhan dan makna kehidupan. Menurutnya, banyak orang tahu menjalani hidup tetapi tidak tahu jalan hidup. Maka, menurutnya, orang hidup harus tahu makna jalan kehidupan. Dalam hidup menurutnya ada tiga substansi penting yang harus terintegrasi yaitu leluhur, alam dan Tuhan.

Selanjutnya, Tedjo Wulan juga berbicara mengenai kepemimpinan. Menurutnya, untuk menjadi pemimpin, seseorang harus mandita (melakukan laku pendeta/guru). Dalam melakukan mandita, seseorang harus mendalami tingkat spiritual yang tertinggi yang ditandai antara lain dengan suci penglihatannya, suci pendengarannya, suci pengucapannya, suci tubuhnya maupun rohaninya.
Tebat selama ini selalu bernuansa budaya Jawa.



Gereja yang Terbuka terhadap Tanda-tanda Zaman

Melakukan dialog agama bukanlah strategi atau sarana untuk memudahkan pendirian gereja. Namun, dialog agama dilakukan sebagai tuntutan iman dan sarana mendewasakan iman. Maka dialog agama dilakukan secara tulus dengan memakai bentuk-bentuk dialog yang memadai. Hal itu mengemuka dalam Pertemuan Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (Pernas Komisi HAK KWI), Bogor, 15-18/2. Tema yang ditawarkan panitia adalah ”Gereja yang Terbuka terhadap Tanda-tanda Zaman”.
Acara diawali dengan ekaristi yang dipimpin Ketua Komisi HAK KWI, Mgr. P.C. Mandagi MSC periode 2009-2012. Dalam homilinya, Mgr. Mandagi membagikan pengalamannya dalam penyelesaian konflik berbasis agama di Ambon. Cara yang dipakai adalah dengan mengedepankan dialog. Menurutnya, dengan dialog kerukunan antarumat beragama bisa terjadi meskipun sebelumnya berada dalam nuansa konflik.

Acara dibuka oleh utusan dari Kementrian Agama RI yang didampingi Dirjen Bimas Katolik, Stefanus Agus. Acara dilanjutkan dengan materi yang disampaikan Menteri Pertahanan dan Keamanan RI, Purnomo Yusgiantoro yang menyoroti keadaan hak asasi manusia di Indonesia terkait dengan kebebasan beragama dan beribadah. Bersamaan dengan itu hadir pula dua tokoh awam Katolik, J.B. Sumarlin dan Cosmas Batubara yang berbicara tentang kaderisasi.

Hari kedua, materi Spiritualitas Dialog yang disampaikan Mgr. P.C. Mandagi MSC membuka cakrawala pemikiran para peserta yang berdatangan dari seluruh Indonesia. Menurutnya, konflik antarumat beragama bisa dihindari dan diatasi bukan dengan saling balas dendam, melainkan dengan dialog antarumat beragama. Dalam kasus Ambon, dialog tercapai salah satunya melalui pertemuan Malino II.

”Dialog bukan sekedar pertukaran ide, pertukaran gagasan. Dialog harus menjadi sikap hidup, menjadi sebuah spiritualitas yang lahir dari iman saya dan lahir dari pengharapan saya, lahir dari kasih Allah kepada sesama. Itu harus menjadi spirit, sikap atau pembawaan,” kata Mgr. P.C. Mandagi MSC.

Perkembangan gerakan terorisme di Indonesia pun turut menjadi pembahasan yang menarik dalam pernas yang dibawakan oleh Gorris Mere. Dari sana, peserta bisa melihat peta gerakan teroris yang telah berlangsung dan celah-celah yang bisa dimasuki jaringan teroris.

Untuk melengkapi pembacaan politik masa kini, Sebastianus Salang selaku pengamat politik memberikan gambaran-gambaran keadaan politik yang sedang menghangat dan prediksi pemilihan umum 2014.

Peran media juga turut memberikan kontribusi yang positif bagi pembangunan semangat dialog agama. Rikard Bagun, sebagai pelaku media mengatakan bahwa media berfungsi sebagai corong dan penguat isu permasalahan. Maka peran media menjadi sangat penting dalam mengembangkan pluralisme.

Sedangkan Efendi Gazali sebagai pengamat komunikasi mengatakan bahwa pembangunan citra positif tentang gerakan pluralisme sangat penting. Maka menurutnya, dialog yang saling membangun perlu diciptakan. Dialog harus memperhatikan kepentingan dan melibatkan publik. Upaya-upaya yang dibangun adalah pembangunan untuk semua.

Aspek hukum menjadi penting dalam melakukan advokasi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang terkait dengan hukum misalnya ketika komisi HAK menghadapi kasus pelanggaran pelaksanaan kebebasan beragama. Materi ini disampaikan oleh Denny Kailimang. Materi ini juga menunjukkan bahwa tim advokasi di tiap-tiap keuskupan mempunyai peranan penting mengingat banyak komisi HAK yang belum mempunyai tim advokasi.

Pastor Heru Prakosa SJ yang hadir sebagai observer mengatakan pentingnya membangun spiritualitas dialog di kalangan umat dan para calon serta pemimpin jemaat. Maka hal itu sangat dimungkinkan dengan mengadakan bulan dialog yang serupa dengan masa Adven atau Prapaskah. Untuk mewujudkan hal itu, kegiatan ini membutuhkan dukungan dari Gereja. Harapannya, ide ini bisa menjadi gerakan yang terpadu dan periodik bukan sekedar kegiatan. Ide serupa ini juga yang disarankan oleh Kardinal Jean-Louis Tauran beberapa saat lalu ketika melakukan kunjungan ke Indonesia.
Beberapa hal yang pantas mendapat perhatian adalah komunikasi. Komunikasi menjadi hal yang penting dalam membangun semangat dialog.

Sabtu, 13 Februari 2010

Misi Perdamaian Kardinal Tauran


Misi perdamaian dimulai. Kali ini Bapa Paus Benediktus XVI mengutus Presiden Dewan Kepausan Dialog Antar Agama Tahta Suci (PCID) Vatikan Kardinal Jean-Louis Tauran untuk mengunjungi Indonesia, negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.

Misi perdamaian dilaksanakan mulai tanggal 24 November hingga 2 Desember 2009. Kardinal Tauran mengunjungi beberapa kota di Indonesia seperti Jakarta, Denpasar, Makasar dan Yogyakarta. Selama lawatannya di Indonesia, Kardinal Tauran didampingi Duta Besar Vatikan untuk Indonesia Mgr Leopoldo Girelli dan Duta Besar Indonesia untuk Vatikan Suprapto Martosetomo. Mgr. J. Pujasumarta, Uskup Keuskupan Bandung pun menyertai kunjungan Kardinal Tauran bersama dengan Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (Komisi HAK KWI). Beberapa romo turut juga dalam kunjungan itu.

Selama kunjungannya tersebut, Kardinal Tauran juga dijadwalkan bertemu dengan tokoh-tokoh agama di Indonesia antara lain Ketua PB NU Hasyim Muzadi, Ketua Umum Muhammadyah Din Syamsuddin, Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) serta kunjungan ke Wahid Institute.

Dalam salah satu pertemuan di Jakarta, Kardinal mengatakan bahwa hubungan antar agama haruslah didasari toleransi, saling menghargai dan semangat untuk bekerja sama. Dalam hal ini, toleransi bukan sekadar untuk berusaha hidup berdampingan tanpa konflik namun rasa saling mengerti dan menyayangi berdasar cinta sesama. "Saling menghargai di sini bukan berarti harus mempercayai apa yang dipercayai orang lain, tapi menerima jalan yang dipilih orang lain. Dan kerja sama antar agama harus satu tujuan, melayani kemanusiaan, " katanya. Berbicara tentang misi, Kardinal Tauran mengatakan tujuan utama misi adalah memberikan pelayanan bagi kemanusiaan, bukan membuat orang berpindah agama. ”Apakah mereka mau pindah agama atau tidak mereka yang memutuskan," katanya.

Di Kuta, Bali, pada saat dialog antariman ”Peran Agama dalam Mewujudkan Perdamaian di Tengah Perbedaan” (28/11/09), Kardinal Tauran mengatakan bahwa hasil dialog antariman menjadi tanggungjawab bersama supaya sampai di tataran akar rumput demi terciptanya perdamaian sejati yang didasarkan pada tiga hal, yakni toleransi, saling menghormati, dan kerja sama.

Sementara itu ketika di Yogyakarta, Senin (30/11/09), Kardinal Tauran mengunjungi tiga tempat penting yaitu Universitas Islam Negeri (UIN) Kalijaga Yogyakarta, Candi Borobudur dan Keraton Yogyakarta. Di UIN Kalijaga, dalam kuliah umum, Kardinal menegaskan bahwa umat Kristiani dan Muslim mewakili 55% dari penduduk dunia dan konsekuensinya, apabila mereka soleh dan taat pada agamanya, mereka dapat melakukan banyak hal lagi untuk kebaikan bersama, perdamaian dan keselarasan di dalam masyarakat dimana mereka berperan sebagai anggota.

Acara hari itu dilanjutkan ke Candi Borobudur Magelang. Menurut Pastor Aloys Budi Purnomo Pr, Ketua Komisi Hubungan Antaragama Keuskupan Agung Semarang, candi Borobudur sengaja dipilih sebagai bentuk representasi terhadap keberadaan umat Buddha dan berbagai kegiatan keagamaannya. Kardinal berkeinginan kuat, memilih untuk mengunjungi Candi Borobodur daripada singgah ke tempat wisata religi umat Katolik seperti Sendangsono di Kulonprogo atau Gua Maria Kerep di Ambarawa.

Sore harinya, Kardinal mengunjungi Keraton Yogyakarta. Sultan Hamengkubuwana X menerima dengan ramah utusan dari Vatikan itu. Tempat pertemuan mereka harum oleh bunga melati yang ditaburkan dalam ruangan itu. Seraya meminum minuman paduan rasa teh dan jahe, mereka terlibat pembicaaraan mengenai dialog antaragama.

Dalam dialog itu, Sultan mengatakan bahwa dirinya mempunyai tugas untuk merengkuh agama-agama dan ras-ras apapun yang ada di Yogyakarta. ”Saya punya kewajiban untuk melaksanakan tugas tersebut karena ini merupakan dasar dari hakikat keberadaan Kraton,” ungkap Sultan.


Asisten Pribadi Kardinal Jean-Louis Tauran, Rev Markus Solo SVD mengatakan, Kardinal Tauran sengaja menghabiskan waktu satu pekan di Indonesia. Menurutnya, Indonesia sengaja dipilih karena dikenal sebagai negara yang tetap mampu menjaga kerukunan dan keharmonisan di tengah kehidupan warga negaranya yang berbeda-beda suku, budaya, dan agama.


Entri Populer