Tampilkan postingan dengan label peristiwa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label peristiwa. Tampilkan semua postingan

Kamis, 25 Februari 2010

Gereja yang Terbuka terhadap Tanda-tanda Zaman

Melakukan dialog agama bukanlah strategi atau sarana untuk memudahkan pendirian gereja. Namun, dialog agama dilakukan sebagai tuntutan iman dan sarana mendewasakan iman. Maka dialog agama dilakukan secara tulus dengan memakai bentuk-bentuk dialog yang memadai. Hal itu mengemuka dalam Pertemuan Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (Pernas Komisi HAK KWI), Bogor, 15-18/2. Tema yang ditawarkan panitia adalah ”Gereja yang Terbuka terhadap Tanda-tanda Zaman”.
Acara diawali dengan ekaristi yang dipimpin Ketua Komisi HAK KWI, Mgr. P.C. Mandagi MSC periode 2009-2012. Dalam homilinya, Mgr. Mandagi membagikan pengalamannya dalam penyelesaian konflik berbasis agama di Ambon. Cara yang dipakai adalah dengan mengedepankan dialog. Menurutnya, dengan dialog kerukunan antarumat beragama bisa terjadi meskipun sebelumnya berada dalam nuansa konflik.

Acara dibuka oleh utusan dari Kementrian Agama RI yang didampingi Dirjen Bimas Katolik, Stefanus Agus. Acara dilanjutkan dengan materi yang disampaikan Menteri Pertahanan dan Keamanan RI, Purnomo Yusgiantoro yang menyoroti keadaan hak asasi manusia di Indonesia terkait dengan kebebasan beragama dan beribadah. Bersamaan dengan itu hadir pula dua tokoh awam Katolik, J.B. Sumarlin dan Cosmas Batubara yang berbicara tentang kaderisasi.

Hari kedua, materi Spiritualitas Dialog yang disampaikan Mgr. P.C. Mandagi MSC membuka cakrawala pemikiran para peserta yang berdatangan dari seluruh Indonesia. Menurutnya, konflik antarumat beragama bisa dihindari dan diatasi bukan dengan saling balas dendam, melainkan dengan dialog antarumat beragama. Dalam kasus Ambon, dialog tercapai salah satunya melalui pertemuan Malino II.

”Dialog bukan sekedar pertukaran ide, pertukaran gagasan. Dialog harus menjadi sikap hidup, menjadi sebuah spiritualitas yang lahir dari iman saya dan lahir dari pengharapan saya, lahir dari kasih Allah kepada sesama. Itu harus menjadi spirit, sikap atau pembawaan,” kata Mgr. P.C. Mandagi MSC.

Perkembangan gerakan terorisme di Indonesia pun turut menjadi pembahasan yang menarik dalam pernas yang dibawakan oleh Gorris Mere. Dari sana, peserta bisa melihat peta gerakan teroris yang telah berlangsung dan celah-celah yang bisa dimasuki jaringan teroris.

Untuk melengkapi pembacaan politik masa kini, Sebastianus Salang selaku pengamat politik memberikan gambaran-gambaran keadaan politik yang sedang menghangat dan prediksi pemilihan umum 2014.

Peran media juga turut memberikan kontribusi yang positif bagi pembangunan semangat dialog agama. Rikard Bagun, sebagai pelaku media mengatakan bahwa media berfungsi sebagai corong dan penguat isu permasalahan. Maka peran media menjadi sangat penting dalam mengembangkan pluralisme.

Sedangkan Efendi Gazali sebagai pengamat komunikasi mengatakan bahwa pembangunan citra positif tentang gerakan pluralisme sangat penting. Maka menurutnya, dialog yang saling membangun perlu diciptakan. Dialog harus memperhatikan kepentingan dan melibatkan publik. Upaya-upaya yang dibangun adalah pembangunan untuk semua.

Aspek hukum menjadi penting dalam melakukan advokasi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang terkait dengan hukum misalnya ketika komisi HAK menghadapi kasus pelanggaran pelaksanaan kebebasan beragama. Materi ini disampaikan oleh Denny Kailimang. Materi ini juga menunjukkan bahwa tim advokasi di tiap-tiap keuskupan mempunyai peranan penting mengingat banyak komisi HAK yang belum mempunyai tim advokasi.

Pastor Heru Prakosa SJ yang hadir sebagai observer mengatakan pentingnya membangun spiritualitas dialog di kalangan umat dan para calon serta pemimpin jemaat. Maka hal itu sangat dimungkinkan dengan mengadakan bulan dialog yang serupa dengan masa Adven atau Prapaskah. Untuk mewujudkan hal itu, kegiatan ini membutuhkan dukungan dari Gereja. Harapannya, ide ini bisa menjadi gerakan yang terpadu dan periodik bukan sekedar kegiatan. Ide serupa ini juga yang disarankan oleh Kardinal Jean-Louis Tauran beberapa saat lalu ketika melakukan kunjungan ke Indonesia.
Beberapa hal yang pantas mendapat perhatian adalah komunikasi. Komunikasi menjadi hal yang penting dalam membangun semangat dialog.

Sabtu, 13 Februari 2010

Misi Perdamaian Kardinal Tauran


Misi perdamaian dimulai. Kali ini Bapa Paus Benediktus XVI mengutus Presiden Dewan Kepausan Dialog Antar Agama Tahta Suci (PCID) Vatikan Kardinal Jean-Louis Tauran untuk mengunjungi Indonesia, negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.

Misi perdamaian dilaksanakan mulai tanggal 24 November hingga 2 Desember 2009. Kardinal Tauran mengunjungi beberapa kota di Indonesia seperti Jakarta, Denpasar, Makasar dan Yogyakarta. Selama lawatannya di Indonesia, Kardinal Tauran didampingi Duta Besar Vatikan untuk Indonesia Mgr Leopoldo Girelli dan Duta Besar Indonesia untuk Vatikan Suprapto Martosetomo. Mgr. J. Pujasumarta, Uskup Keuskupan Bandung pun menyertai kunjungan Kardinal Tauran bersama dengan Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (Komisi HAK KWI). Beberapa romo turut juga dalam kunjungan itu.

Selama kunjungannya tersebut, Kardinal Tauran juga dijadwalkan bertemu dengan tokoh-tokoh agama di Indonesia antara lain Ketua PB NU Hasyim Muzadi, Ketua Umum Muhammadyah Din Syamsuddin, Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) serta kunjungan ke Wahid Institute.

Dalam salah satu pertemuan di Jakarta, Kardinal mengatakan bahwa hubungan antar agama haruslah didasari toleransi, saling menghargai dan semangat untuk bekerja sama. Dalam hal ini, toleransi bukan sekadar untuk berusaha hidup berdampingan tanpa konflik namun rasa saling mengerti dan menyayangi berdasar cinta sesama. "Saling menghargai di sini bukan berarti harus mempercayai apa yang dipercayai orang lain, tapi menerima jalan yang dipilih orang lain. Dan kerja sama antar agama harus satu tujuan, melayani kemanusiaan, " katanya. Berbicara tentang misi, Kardinal Tauran mengatakan tujuan utama misi adalah memberikan pelayanan bagi kemanusiaan, bukan membuat orang berpindah agama. ”Apakah mereka mau pindah agama atau tidak mereka yang memutuskan," katanya.

Di Kuta, Bali, pada saat dialog antariman ”Peran Agama dalam Mewujudkan Perdamaian di Tengah Perbedaan” (28/11/09), Kardinal Tauran mengatakan bahwa hasil dialog antariman menjadi tanggungjawab bersama supaya sampai di tataran akar rumput demi terciptanya perdamaian sejati yang didasarkan pada tiga hal, yakni toleransi, saling menghormati, dan kerja sama.

Sementara itu ketika di Yogyakarta, Senin (30/11/09), Kardinal Tauran mengunjungi tiga tempat penting yaitu Universitas Islam Negeri (UIN) Kalijaga Yogyakarta, Candi Borobudur dan Keraton Yogyakarta. Di UIN Kalijaga, dalam kuliah umum, Kardinal menegaskan bahwa umat Kristiani dan Muslim mewakili 55% dari penduduk dunia dan konsekuensinya, apabila mereka soleh dan taat pada agamanya, mereka dapat melakukan banyak hal lagi untuk kebaikan bersama, perdamaian dan keselarasan di dalam masyarakat dimana mereka berperan sebagai anggota.

Acara hari itu dilanjutkan ke Candi Borobudur Magelang. Menurut Pastor Aloys Budi Purnomo Pr, Ketua Komisi Hubungan Antaragama Keuskupan Agung Semarang, candi Borobudur sengaja dipilih sebagai bentuk representasi terhadap keberadaan umat Buddha dan berbagai kegiatan keagamaannya. Kardinal berkeinginan kuat, memilih untuk mengunjungi Candi Borobodur daripada singgah ke tempat wisata religi umat Katolik seperti Sendangsono di Kulonprogo atau Gua Maria Kerep di Ambarawa.

Sore harinya, Kardinal mengunjungi Keraton Yogyakarta. Sultan Hamengkubuwana X menerima dengan ramah utusan dari Vatikan itu. Tempat pertemuan mereka harum oleh bunga melati yang ditaburkan dalam ruangan itu. Seraya meminum minuman paduan rasa teh dan jahe, mereka terlibat pembicaaraan mengenai dialog antaragama.

Dalam dialog itu, Sultan mengatakan bahwa dirinya mempunyai tugas untuk merengkuh agama-agama dan ras-ras apapun yang ada di Yogyakarta. ”Saya punya kewajiban untuk melaksanakan tugas tersebut karena ini merupakan dasar dari hakikat keberadaan Kraton,” ungkap Sultan.


Asisten Pribadi Kardinal Jean-Louis Tauran, Rev Markus Solo SVD mengatakan, Kardinal Tauran sengaja menghabiskan waktu satu pekan di Indonesia. Menurutnya, Indonesia sengaja dipilih karena dikenal sebagai negara yang tetap mampu menjaga kerukunan dan keharmonisan di tengah kehidupan warga negaranya yang berbeda-beda suku, budaya, dan agama.


Sabtu, 01 Agustus 2009

Menjadi Promotor Dialog Lintas Iman

Toleransi yang kita bangun secara sungguh-sungguh akan menimbulkan toleransi serupa dari siapapun kepada kita. Menuntut orang lain toleran kepada kita, sementara kita sendiri tidak pernah mau mengupayakannya, adalah tuntutan yang tidak bertanggungjawab. Hal itu disampaikan Dr. Anton Haryono, M.Hum. salah seorang narasumber pada acara Pelatihan Promotor Persaudaraan Sejati (Propers) 2009 di Salam (20-22/7/09).

Acara ini diselenggarakan oleh Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang (Komisi HAK KAS) bekerjasama dengan Lingkar Muda Yogyakarta. Acara selama tiga hari itu diisi dengan berbagai kegiatan seperti diskusi, refleksi dan mengunjungi pondok pesantren.

Sementara itu Ki Suwaldji, narasumber yang aktif di Forum Persaudaraan Umat Beriman Yogyakarta mengatakan bahwa salah satu prasyarat untuk melakukan dialog antarumat beriman adalah menyadari bahwa dialog merupakan salah satu wujud cinta kasih untuk membangun persaudaraan sejati seperti yang diperintahkan Tuhan. Dalam dialog, lanjutnya, mitra dialog diposisikan setara.

Acara pelatihan dibuat dalam rangka untuk menyiapkan orang-orang muda Katolik sebagai pelaku aktif dan perintis dialog lintas iman di daerah masing-masing, membangun dan meningkatkan kapasitas dasar kaum muda Katolik sebagai pelaku dialog lintas iman sekeuskupan, serta membangun kembali jiwa kader muda Katolik dalam terang semangat Katolisitas, Kemanusiaan, dan Keindonesiaan di antara para penggerak pastoral kaum muda KAS. Maka tema yang diangkat adalah “Being religious, being interfaith!”

Peserta yang berjumlah sekitar 40 orang itu juga diajak untuk memahami terminologi agama yang selama ini dianutnya. Peserta diajak untuk memaknai kembali pemahaman mereka mengenai agama. Banyak jawaban yang beraneka ragam ketika berbicara tentang agama. Hal itu ternyata saling memperkaya definisi agama di antara mereka.
Untuk menambah pengalaman dialog secara nyata, pada hari kedua, peserta mengunjungi Pondok Pesantren Kyai Pandanaran di daerah Sleman. Di sana peserta berdialog dengan santri dan pengasuh pondok pesantren. Mereka bertanya tentang keislaman yang belum dipahami secara penuh. Pengasuh pondok pun menjawab pertanyaan peserta dengan terbuka. Seorang peserta bertanya tentang sikap mereka menanggapi isu terorisme yang memakai jargon agama. H. Jazilus Sakhok, salah seorang pengasuh pondok pesantren pun menjawab bahwa orang yang seagama, seperti teroris itu tidak seiman dengan mereka. Namun, orang yang berbeda agama, menurutnya, seperti Katolik bahkan bisa menjadi seiman.

Seusai dialog dengan pengasuh pondok pesantren, peserta mengunjungi tempat tinggal para santri. Mereka mengamati kehidupan keseharian para santri. Mereka pun terlibat dalam pembicaraan seperti cara santri belajar membaca dan menghafalkan Al Quran dari awal hingga akhir.

Sedangkan pada malam harinya, peserta diajak untuk mendalami dokumen Gereja Katolik berjudul Nostra Aetate (Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama Nonkristiani) yang disampaikan oleh Pastor Aloys Budi Purnomo, Pr (Ketua Komisi HAK KAS). “Gereja Katolik tidak menolak sesuatu pun yang dalam agama-agama ini benar dan kudus. Dengan penghormatan tulus ia memandang cara-cara bertindak dan hidup itu, norma-norma dan ajaran yang meskipun dalam banyak hal berbeda dengan apa yang dianutnya dan dikemukakannya sendiri; tetapi tak jarang mencerminkan pantulan Kebenaran, yang menerangi semua orang,” kata Pastor Budi.

Sementara itu, Indro Suprobo, menekankan bahwa gerakan dialog lintas iman merupakan pendidikan kritis demi keadilan di Indonesia. Dialog iman, menurutnya, dimaksudkan untuk membongkar relasi-relasi antara Negara dengan agama, agama dengan agama, dan agama dengan agama (kepercayaan) lokal. Menurutnya, pendidikan kritis membuat orang lebih dewasa dalam menyikapi masalah. Dialog iman adalah dialog politik yang memakai terminologi agama atau spiritualitas sebagai gerakan politik.

Memasuki akhir acara, peserta diajak untuk memahami situasi pokok yang sedang terjadi di kevikepan masing-masing. Dari situasi pokok itulah peserta diajak untuk membuat komitmen pribadi dan rencana tindak lanjut yang bisa diterapkan di tempat masing-masing.

Rabu, 27 Mei 2009

Menimba Pengalaman Mistik Santo Paulus


Iman yang ditanamkan melalui budaya setempat akan mengakar lebih kuat. Hal inilah yang dilakukan dalam Temu Kebatinan (Tebat) XV yang diselenggarakan oleh Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang (Komisi HAK KAS) di Bedono, Ambarawa (2-3/5/09).

Sesuai dengan tahun Santo Paulus yang dicanangkan oleh Paus Banediktus XVI dari 28 Juni 2008-29 Juni 2009, maka tema yang diambil dalam Tebat XV adalah “Olah Batin Menimba Pengalaman Mistik Santo Paulus”. Acara yang dihadiri peserta dari berbagai keuskupan seperti Purwokerto, Bandung dan Surabaya serta tuan rumah Semarang itu juga menghadirkan narasumber, Pastor A. Hari Kustono, Pr dan Pastor G.P. Sindhunata, SJ.

Pada sambutan pembukaannya Pastor Aloys Budi Purnomo, Pr selaku ketua Komisi HAK KAS mengatakan bahwa banyak pengalaman rohani dari Santo Paulus yang bisa digali. Menurutnya, pengalaman yang sangat mistik dari Santo Paulus adalah ketika dia menuliskan, “Aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku! (Gal. 2:20)”. Kalimat mistik ini sangat kuat sehingga Paulus bersatu dengan Kristus. Tetapi, persatuan itu bukan persatuan yang lebur, bukan pengalaman mistik yang mengawang-awang. “Tapi justru bergerak konkret menyucikan dunia ini karena kita dipanggil dan diutus oleh Yesus,” katanya.

Sedangkan Pastor A. Hari Kustono, Pr memaparkan perjalanan mistik Santo Paulus. Ia memaparkan perjalanan Santo Paulus sebelum berjumpa Yesus di dekat Damsyik, ketika berjumpa Yesus dan setelah berjumpa dengan Yesus. Sebelum bertemu Yesus, Paulus adalah orang yang menganggap kelompok Kristen sebagai bidaah. Maka, sebagai seorang fundamentalis Yahudi, ia mengejar-ngejar, menangkap, bahkan menganiaya jemaat Kristen. Hingga pada suatu ketika ia berniat akan menangkap orang-orang Kristen di Damsyik. Sebelum sampai Damsyik, ia berjumpa dengan Yesus. Singkat kata peristiwa itu membuat dirinya berubah dan ketika dia sampai di Damsyik, ia justru dibaptis sebagai orang Kristen. Pengalaman Damsyik telah mengubah cara pandangnya terhadap Allah, terhadap Yesus dan karya-Nya, serta terhadap dirinya sendiri sehingga ia memasuki jalan mistik yang dapat diuraikan menjadi tiga tahap yaitu Via Purgativa (pembersihan), Via Illuminativa (penerangan), dan Via Unitiva (penyatuan.

Sementara itu, Pastor G.P. Sindhunata, SJ memaparkan materi dalam bahasa Jawa Manunggaling Kawula Gusti Ing Katresnan. Menurut Sindhunata, SJ, berdasarkan yang diajarkan Santo Paulus, manusia harus mengosongkan diri jika ingin bersatu dengan Tuhan. Namun, pengosongan diri itu tidak sekedar menjadi kosong, tetapi dengan memberikan diri sampai habis kepada sesama seperti yang dilakukan Kristus.

Sudah menjadi tradisi dari awal, Tebat pada malam hari diisi dengan acara Glenikan Pastoral. Pada sesi ini, orang-orang yang mempunyai talenta bisa mengekspresikan kemampuannya seperti penyembuhan, pemijatan refleksi, maupun eksplorasi kemampuan-kemampuan lainnya. Banyak peserta yang mempunyai keluhan penyakit turut berkonsultasi. Sesi ini juga membuka kesempatan bagi mereka yang ingin belajar dan mengembangkan kemampuan yang terpendam.

Tebat yang biasanya diikuti oleh para orangtua, kali ini banyak orang muda yang justru turut terlibat di dalamnya. Dengan demikian banyak orang muda yang mulai terlibat dalam pelestarian budaya Jawa mengingat Tebat ini sarat dengan nuansa Jawa, misalnya ada lantunan tembang-tembang Macapat, dupa, maupun bunga. Dengan demikian hal ini selaras dengan yang dikatakan oleh Pastor Sindhunata, SJ pada akhir acara bahwa menanamkan iman laksana menanam pohon. “Dengan sabar kita harus ngrumat, menyirami, merabuk, sampai akhirnya dia tumbuh ngrembuyung, menghijau, memberi buah, menaungi, memberi kesegaran dan memberi keteduhan,” katanya.

Entri Populer