Tebat III berlangsung pada tanggal 13-14 November 1999 di Susteran Griya Paseban Semarang. Narasumber Rama Kuntara, Temanya “Pengembangan model/laku dalam neges kersa Dalem Gusti” Pengembangan penghayat mengikuti suara hati. Pergulatan hidupnya bagaikan gunung es.Yang tidak nampak dan kadang kurang disadari adalah pergumulan dengan budaya Islam, Budha, Animisme, dsb. Walaupun tetap misteri, tetapi hendaknya tak berhenti, harus terus menggali. Sebaiknya kelompok2 kebatinan Katolik mengembangkan laku glenikan (inilah yang disebut ngelmu klenik, karena diperoleh karena ketekunan dalam glenikan).
Malam itu Beberapa kelompok paguyuban men-sharing-kan paguyuban mereka, yakni : Paguyuban Coronca, Jemuwah Kliwonan/Sembah Jiwa, Tenaga Prana, Kawulo Ngayogyakarto, Bantala Aji.
Minggu, 27 September 2009
Tebat II
Tanggal 23-24 April 1999 di Padepokan Kopi Eva Bedono, Ambarawa Temu Kebatinan II (Tebat II) dilangsungkan. Temanya “Model manusia menurut aliran masing masing dalam terang iman”.Narasumbernya Rama Kuntara, diuraikan bahwa Tidak ada model baku yang diclaim/diakui sebagai paling benar. Model itu relatif, silahkan mengikuti suara hati. Manusia penuh misteri. Model selalu diwarnai budaya setempat. Kelompok kelompok Kebatinan Jawa Katoli yang merasa mendapatkan titik temu dalam ngelmunya, hendaknya bergabung guna peneguhan iman Katolik.
Tebat I
Tanggal 12-13 September 1998 di Pastoran Sanjaya Muntilan Temu Kebatinan I untuk pertama kali dilangsungkan. Tema “Struktur kebatinan manusia” oleh Rama Kuntara, dijelaskan dalam diri manusia ada unsur roh (sukma, jiwa) dan raga. Unsur tersebut menuju persatuan ke Roh Illahi, yang kita imani dengan menyebut : Bapa + Putera + Roh Kudus. Kita mengenal tanda dan sarana yang menyatukan yaitu sakramen. Dalam dunia kebatinan ada berbagai metode/ model menuju “pamoring” kawula Gusti. Model itu perlu ditlateni , sehingga ngelmunya kesampaian karena hanya dengan dilakoni (laku). Kebatinan Jawa merupakan ladang subur untuk pengembangan sabda Illahi, sebab ada keterbukaan jiwa rasa terhadap Tuhan.
Sabtu, 01 Agustus 2009
Menjadi Promotor Dialog Lintas Iman
Toleransi yang kita bangun secara sungguh-sungguh akan menimbulkan toleransi serupa dari siapapun kepada kita. Menuntut orang lain toleran kepada kita, sementara kita sendiri tidak pernah mau mengupayakannya, adalah tuntutan yang tidak bertanggungjawab. Hal itu disampaikan Dr. Anton Haryono, M.Hum. salah seorang narasumber pada acara Pelatihan Promotor Persaudaraan Sejati (Propers) 2009 di Salam (20-22/7/09).
Acara ini diselenggarakan oleh Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang (Komisi HAK KAS) bekerjasama dengan Lingkar Muda Yogyakarta. Acara selama tiga hari itu diisi dengan berbagai kegiatan seperti diskusi, refleksi dan mengunjungi pondok pesantren.
Sementara itu Ki Suwaldji, narasumber yang aktif di Forum Persaudaraan Umat Beriman Yogyakarta mengatakan bahwa salah satu prasyarat untuk melakukan dialog antarumat beriman adalah menyadari bahwa dialog merupakan salah satu wujud cinta kasih untuk membangun persaudaraan sejati seperti yang diperintahkan Tuhan. Dalam dialog, lanjutnya, mitra dialog diposisikan setara.
Acara pelatihan dibuat dalam rangka untuk menyiapkan orang-orang muda Katolik sebagai pelaku aktif dan perintis dialog lintas iman di daerah masing-masing, membangun dan meningkatkan kapasitas dasar kaum muda Katolik sebagai pelaku dialog lintas iman sekeuskupan, serta membangun kembali jiwa kader muda Katolik dalam terang semangat Katolisitas, Kemanusiaan, dan Keindonesiaan di antara para penggerak pastoral kaum muda KAS. Maka tema yang diangkat adalah “Being religious, being interfaith!”
Peserta yang berjumlah sekitar 40 orang itu juga diajak untuk memahami terminologi agama yang selama ini dianutnya. Peserta diajak untuk memaknai kembali pemahaman mereka mengenai agama. Banyak jawaban yang beraneka ragam ketika berbicara tentang agama. Hal itu ternyata saling memperkaya definisi agama di antara mereka.
Untuk menambah pengalaman dialog secara nyata, pada hari kedua, peserta mengunjungi Pondok Pesantren Kyai Pandanaran di daerah Sleman. Di sana peserta berdialog dengan santri dan pengasuh pondok pesantren. Mereka bertanya tentang keislaman yang belum dipahami secara penuh. Pengasuh pondok pun menjawab pertanyaan peserta dengan terbuka. Seorang peserta bertanya tentang sikap mereka menanggapi isu terorisme yang memakai jargon agama. H. Jazilus Sakhok, salah seorang pengasuh pondok pesantren pun menjawab bahwa orang yang seagama, seperti teroris itu tidak seiman dengan mereka. Namun, orang yang berbeda agama, menurutnya, seperti Katolik bahkan bisa menjadi seiman.
Seusai dialog dengan pengasuh pondok pesantren, peserta mengunjungi tempat tinggal para santri. Mereka mengamati kehidupan keseharian para santri. Mereka pun terlibat dalam pembicaraan seperti cara santri belajar membaca dan menghafalkan Al Quran dari awal hingga akhir.
Sedangkan pada malam harinya, peserta diajak untuk mendalami dokumen Gereja Katolik berjudul Nostra Aetate (Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama Nonkristiani) yang disampaikan oleh Pastor Aloys Budi Purnomo, Pr (Ketua Komisi HAK KAS). “Gereja Katolik tidak menolak sesuatu pun yang dalam agama-agama ini benar dan kudus. Dengan penghormatan tulus ia memandang cara-cara bertindak dan hidup itu, norma-norma dan ajaran yang meskipun dalam banyak hal berbeda dengan apa yang dianutnya dan dikemukakannya sendiri; tetapi tak jarang mencerminkan pantulan Kebenaran, yang menerangi semua orang,” kata Pastor Budi.
Sementara itu, Indro Suprobo, menekankan bahwa gerakan dialog lintas iman merupakan pendidikan kritis demi keadilan di Indonesia. Dialog iman, menurutnya, dimaksudkan untuk membongkar relasi-relasi antara Negara dengan agama, agama dengan agama, dan agama dengan agama (kepercayaan) lokal. Menurutnya, pendidikan kritis membuat orang lebih dewasa dalam menyikapi masalah. Dialog iman adalah dialog politik yang memakai terminologi agama atau spiritualitas sebagai gerakan politik.
Memasuki akhir acara, peserta diajak untuk memahami situasi pokok yang sedang terjadi di kevikepan masing-masing. Dari situasi pokok itulah peserta diajak untuk membuat komitmen pribadi dan rencana tindak lanjut yang bisa diterapkan di tempat masing-masing.
Acara ini diselenggarakan oleh Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang (Komisi HAK KAS) bekerjasama dengan Lingkar Muda Yogyakarta. Acara selama tiga hari itu diisi dengan berbagai kegiatan seperti diskusi, refleksi dan mengunjungi pondok pesantren.
Sementara itu Ki Suwaldji, narasumber yang aktif di Forum Persaudaraan Umat Beriman Yogyakarta mengatakan bahwa salah satu prasyarat untuk melakukan dialog antarumat beriman adalah menyadari bahwa dialog merupakan salah satu wujud cinta kasih untuk membangun persaudaraan sejati seperti yang diperintahkan Tuhan. Dalam dialog, lanjutnya, mitra dialog diposisikan setara.
Acara pelatihan dibuat dalam rangka untuk menyiapkan orang-orang muda Katolik sebagai pelaku aktif dan perintis dialog lintas iman di daerah masing-masing, membangun dan meningkatkan kapasitas dasar kaum muda Katolik sebagai pelaku dialog lintas iman sekeuskupan, serta membangun kembali jiwa kader muda Katolik dalam terang semangat Katolisitas, Kemanusiaan, dan Keindonesiaan di antara para penggerak pastoral kaum muda KAS. Maka tema yang diangkat adalah “Being religious, being interfaith!”
Peserta yang berjumlah sekitar 40 orang itu juga diajak untuk memahami terminologi agama yang selama ini dianutnya. Peserta diajak untuk memaknai kembali pemahaman mereka mengenai agama. Banyak jawaban yang beraneka ragam ketika berbicara tentang agama. Hal itu ternyata saling memperkaya definisi agama di antara mereka.
Untuk menambah pengalaman dialog secara nyata, pada hari kedua, peserta mengunjungi Pondok Pesantren Kyai Pandanaran di daerah Sleman. Di sana peserta berdialog dengan santri dan pengasuh pondok pesantren. Mereka bertanya tentang keislaman yang belum dipahami secara penuh. Pengasuh pondok pun menjawab pertanyaan peserta dengan terbuka. Seorang peserta bertanya tentang sikap mereka menanggapi isu terorisme yang memakai jargon agama. H. Jazilus Sakhok, salah seorang pengasuh pondok pesantren pun menjawab bahwa orang yang seagama, seperti teroris itu tidak seiman dengan mereka. Namun, orang yang berbeda agama, menurutnya, seperti Katolik bahkan bisa menjadi seiman.
Seusai dialog dengan pengasuh pondok pesantren, peserta mengunjungi tempat tinggal para santri. Mereka mengamati kehidupan keseharian para santri. Mereka pun terlibat dalam pembicaraan seperti cara santri belajar membaca dan menghafalkan Al Quran dari awal hingga akhir.
Sedangkan pada malam harinya, peserta diajak untuk mendalami dokumen Gereja Katolik berjudul Nostra Aetate (Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama Nonkristiani) yang disampaikan oleh Pastor Aloys Budi Purnomo, Pr (Ketua Komisi HAK KAS). “Gereja Katolik tidak menolak sesuatu pun yang dalam agama-agama ini benar dan kudus. Dengan penghormatan tulus ia memandang cara-cara bertindak dan hidup itu, norma-norma dan ajaran yang meskipun dalam banyak hal berbeda dengan apa yang dianutnya dan dikemukakannya sendiri; tetapi tak jarang mencerminkan pantulan Kebenaran, yang menerangi semua orang,” kata Pastor Budi.
Sementara itu, Indro Suprobo, menekankan bahwa gerakan dialog lintas iman merupakan pendidikan kritis demi keadilan di Indonesia. Dialog iman, menurutnya, dimaksudkan untuk membongkar relasi-relasi antara Negara dengan agama, agama dengan agama, dan agama dengan agama (kepercayaan) lokal. Menurutnya, pendidikan kritis membuat orang lebih dewasa dalam menyikapi masalah. Dialog iman adalah dialog politik yang memakai terminologi agama atau spiritualitas sebagai gerakan politik.
Memasuki akhir acara, peserta diajak untuk memahami situasi pokok yang sedang terjadi di kevikepan masing-masing. Dari situasi pokok itulah peserta diajak untuk membuat komitmen pribadi dan rencana tindak lanjut yang bisa diterapkan di tempat masing-masing.
Langganan:
Postingan (Atom)
Entri Populer
-
Oleh Aloys Budi Purnomo Pr, M.Hum Saya dengan sengaja tidak menggunakan kata “kedamaian” sebagaimana dipakai panitia. Secara normatif unive...
-
Fiat Voluntas Tua! (Terjadilah padaku menurut kehendak-Mu) merupakan ungkapan terkenal dari Maria. Umat Katolik tentu sangat mengenal Mar...
-
Tanggapan Gereja-Gereja terhadap Pekan Doa Sedunia untuk Kesatuan Umat Kristiani (PDS KUK) 2013 sangat luar biasa. Selain mendoakan sela...
-
Oleh Aloys Budi Purnomo Pr ADA dua kisah naratif yang inspiratif untuk merawat kebhinnekaan. Mgr. Johannes Pujasumarta, Uskup Keuskupan Agun...
-
Malam satu suro (18/12/09). Bau asap dupa menyengat di Gereja Hati Kudus Yesus Tanah Mas (HKYTM) Semarang. Di sana sudah tersedia tumpeng, j...
-
Romo J Sudrijanta, SJ memberikan penjelasan tentang Meditasi tanpa Objek Para peserta mengaku kesulitan ketika mempraktikkan meditasi...
-
PROFIL KOMISI HUBUNGAN ANTARAGAMA DAN KEPERCAYAAN KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG Oleh Aloys Budi Purnomo Pr Ketua Komisi Hubungan Antaragama ...
-
Dengan berjalan pelan, para pendeta dan pastor me nuju altar Gereja Hati Kudus Yesus Tanah Mas Semarang. Sementara itu lagu Taize “Tinggalla...
-
“APA YANG TUHAN TUNTUT DARI KITA?’ ( Bdk . Mi k h a 6:6-8) Pekan Doa Sedunia untuk Kesatuan Umat Kristiani 18-25 Januari 20...