Senin, 09 November 2009

Tebat XVI: Meditasi dan Menapaki Jalan Kekatolikan


Doa meditasi selalu mengutamakan keheningan. Namun, keheningan itu bukan untuk mengumpulkan kekuatan pribadi dan menjadi digdaya sekti mandra guna melainkan keheningan untuk kian berjumpa dan bersatu dengan Tuhan Yesus Kristus. Pernyataan ini disampaikan oleh Pastor Aloys Budi Purnomo, Pr, Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang (KAS) pada saat membuka acara Temu Kebatinan (Tebat) XVI di Bedono, Ambarawa (3-4/10/09). Acara Tebat yang diadakan 2 kali setahun itu dihadiri oleh para peserta dari berbagai kevikepan di bawah KAS dan kota-kota lainnya seperti Jakarta, Cirebon dan Purwokerto.

Tebat sarat dengan muatan budaya Jawa. Maka, pada saat-saat tertentu dilantunkan tembang-tembang Macapat. Nuansanya pun menjadi sarat dengan budaya Jawa. Hal ini membuat peserta yang sebagian besar berlatar belakang budaya Jawa seakan menemukan rumahnya kembali, tidak hanya dalam kehidupan sehari-hari bahkan peserta merasakan aroma Jawa dalam berdoa. Nuansa yang diciptakan seperti ini menunjukkan bahwa Gereja mau menyapa dalam budaya-budaya setempat. ”Kita bersyukur bahwa tradisi Gereja Katolik sangat terbuka menerima kekayaan rohani yang berkembang di tengah kehidupan bersama,” tulis Pastor Budi dalam sambutannya.

Tebat diisi dengan berbagai macam rangkaian materi. Materi yang pertama adalah pengenalan Meditasi Kristiani yang disampaikan oleh Pastor Siriakus Maria Ndolu, O.Carm dan Pastor Than Tian Sing, MSF. Melalui paparannya, Pastor Siriakus Maria Ndolu O.Carm mengenalkan hal ikhwal Meditasi Kristiani. Meditasi Kristiani adalah doa kontemplatif yang dikenalkan oleh Pater John Main, OSB di Washington DC.

Meditasi ini dilakukan dua kali sehari selama 20-30 menit. Orang yang melakukan meditasi ini cukup mengucapkan mantra yang sederhana dan diulang-ulang. Tujuan pengucapan mantra terus-menerus adalah supaya kita dapat mengucapkan mantra dalam hati kita sepanjang periode meditasi. Kedua, mantra yang diucapkan secara terus-menerus akan berakar di dalam hati kita. Ketiga, mantra akan bergema atau terngiang-ngiang.

Sedangkan mantra yang dianjurkan adalah maranatha. Sebab, pertama, kata ini merupakan kata dari bahasa Aram yang dipakai oleh Yesus sendiri. Kedua, kata ini barangkali merupakan doa kristiani yang paling kuno. Ketiga, Santo Paulus menutup surat pertama Korintus dengan kata ini (I Kor 16:22). Keempat, St Yohanes menutup Kitab Wahyu dengan kata ini pula (Why 22:20). Kelimat, akhiran ”a” pada ”ma ra na tha” membantu pengucapan seirama pernafasan. Keenam, karena ini bahasa asing, maka membantu kita untuk tidak membayangkan sesuatu atau membayangkan wajah Yesus bila kata itu diterjemahkan menjadi ”Datanglah ya Tuhan Yesus”. Namun yang terpenting menurut Pastor Sirikus, Meditasi Kristiani bisa memberikan buah kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan hati, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri. Setelah peserta diberi penjelasan tentang Meditasi Kristiani, seluruh peserta diajak untuk melakukan meditasi itu dengan hening.


Materi kedua yang disampaikan pada Tebat kali itu adalah ”Dalam Yesus Mendalami Jatidiri” yang disampaikan oleh Prof. Dr. A. Sudiarja, SJ dan Paguyuban Taman Banyu Urip Yogyakarta. Sesi ini mengajak peserta supaya memaksimalkan talenta yang sudah dimiliki masing-masing yang merupakan anugerah Tuhan. Selanjutnya, peserta diajak untuk mempraktekkan hal-hal yang meyakinkan peserta bahwa jika kita yakin maka segalanya menjadi mungkin seperti menancapkan sedotan yang lembek ke dalam umbi kentang yang keras. Bahkan pada malam harinya peserta diajak untuk mendemonstrasikan kemampuan berjalan di atas api. Jika yakin, mereka tidak akan merasa sakit.

Acara pada malam itu ditutup Pastoral Glenikan. Dalam sesi ini para peserta yang mempunyai kemampuan bisa menyumbangkan kemampuannya misalnya pijat refleksi, konsultasi, atau pengobatan alternatif lainnya. Hal ini juga mengajak peserta yang mempunyai kemampuan atau talenta supaya saling berbagi kepada yang lainnya.
Minggu pagi, Tebat membedah buku The Catholic Way tulisan Mgr. Ignatius Suharyo. Buku dibedah oleh Prof. Dr. Bakdi Soemanto. Bakdi berkomentar bahwa orang bisa membaca The Catholic Way "sekedar" sebagai buku penyegar iman, karena di sana-sini banyak menyajikan uraian dari katekismus. Tetapi, menurutnya, satu kegiatan membaca dengan kegiatan membaca lainnya tidak sama. “Hal ini, persis seperti orang mendengarkan kotbah. Mendengarkan dan mendengarkan selalu lain dan berubah,” katanya. Bakdi juga menambahkan bahwa semakin jauh membaca buku tersebut, pembaca akan semakin tahu betapa pentingnya buku The Catholic Way. Salah satu contoh yang ditinjukkan dalam buku itu adalah pentingnya menyadari “kemajemukan” budaya. Lebih lanjut Bakdi mengatakan bahwa buku The Catholic Way merupakan pergumulan pribadi yang dialami oleh Monsinyur Suharyo, ketika beliau dihadapkan kepada kenyataan dunia yang sama sekali tidak damai, terkadang tidak ada uluran tangan persaudaraan dan penuh kekerasan.

Lebih lanjut menurutnya, ada bagian yang sangat menggugah dari buku itu yaitu pentingnya membaca tanda-tanda zaman. ”Tanda-tanda zaman itu adalah simbol lingkungan sosial, politik, ekonomi, budaya dan alam. Lingkungan itu terus-menerus berubah. Menyadari akan lingkungan yang memberikan penanda tertentu tentang yang akan datang, berarti manjing ing sajroning kahanan,” katanya. Bakdi juga mengapresiasi bahwa The Catholic Way mengingatkan kembali tentang kekatolikan, keindonesian, dan kristianitas. The Catholic Way menurutnya juga merupakan konsep lanjutan dari Mgr. Soegijapranata, SJ. ”Dalam konteks sekarang kekatolikan dan keindonesiaan jadi penting karena keindonesiaan jadi identitas. Nasionalisme merupakan gugatan terhadap globalisme,” imbuhnya.

Tebat diakhiri dengan ekaristi yang dipimpin Pastor Siriakus Maria Ndolu, Ocarm. Dalam homilinya Pastor Siriakus berpesan kalau kita ingin masuk Kerajaan Surga, hendaknya kita menjadikan diri kita seperti seorang anak kecil. Menjadi anak kecil berarti mengecilkan diri dari kemegahan kita. Pastor Siriakus mengisahkan perjalanan Bima yang ingin mendapatkan air kehidupan yang adalah jatidirinya yang sesungguhnya.

Namun, dalam perjalanannya ia tak kunjung mendapatkannya. Lalu dalam sebuah perjalanan ia bertemu dengan Dewaruci yang berwujud seperti dirinya namun berukuran sangat kecil. Dewaruci berkata kepada Bima kalau Bima ingin menemukan air kehidupan, ia harus masuk ke dalam Dewaruci melalui telinganya. Maka satu-satunya cara yang bisa dilakukan Bima adalah mengecilkan dirinya. Di sanalah ia menemukan air kehidupan yang adalah Tuhan sendiri, bertemunya makhluk dengan Sang Khalik. Demikian halnya pada saat kita meditasi. ”Kita hanya berpegang pada satu kata yang sangat sederhana dan kecil. Kata itu adalah mantra Anda. Itulah kata yang menjadi pegangan hidup seorang kristiani, seorang yang kecil di hadapan Tuhan,” kata Pastor Siriakus.
Namun, menurutnya, menjadi sederhana itu sulit. ”Ketika orang disuruh duduk diam, kita terlalu mudah berkata-kata. Kita terlalu mudah omong. Orang ingin omong, orang ingin berpikir. Padahal dalam meditasi kita belajar untuk menjadi sederhana,” katanya. Maka orang yang dekat dengan Tuhan adalah orang yang bisa menjadi sederhana.

Kamis, 08 Oktober 2009

Tebat VI

Tebat VI diadakan pada tanggal 12-13 Oktober 2002 di Padepokan Kopi Eva, Bedono, Ambarawa. Tema yang diangkat adalah “Pencerahan Kebatinan Jawa Dalam Terang Iman” dengan nara sumber Rama Ign. Kuntara Wiryamartana SJ, yang menyampaikan makalah “Simbol-simbol Jawa yang Masuk Dalam Adat Tata Cara Katolik”. Simbol Jawa mana saja yang sudah dimasukan dalam adat tatacara Katolik? Yakni adalah pada waktu slametan “Metu–Manten–Mati”. Apa lagi yang akan masuk? Pada dasarnya budaya Jawa yang sudah sangat dipengaruhi Wirid (Wejangan) Islam, oleh orang Jawa Katolik ditumpangi dengan ibadat, kitab Suci, Misa, dsb.

Tujuan dimasukkannya simbol-simbol itu agar sebagai orang Katolik kita bisa selalu lumrah dalam hidup bermasyarakat, misalnya pada bulan Ruwah pergi ziarah/sowan pesarean, atau pada peringatan arwah (3,7,40,100 hari, mendhak 1, 2 sampai dengan nyewu). Sekali lagi biar sebagai wong Jawa “dadi lumrahe wong” sebab apabila dari sisi Gereja , mendoakan arwah selalu dilakukan setiap hari dalam Misa Harian(Bojana Ekaristi).

Demikian juga tentang Ruwatan, dilakukan karena adanya keprihatinan dari para orang tua terhadap masa depan anak. Jadi bila diadakan Misa dengan ujub ruwatan, semata-mata karena pelayanan pastoral Gereja terhadap keprihatinan para orang tua terhadap putra-putrinya.

Arti keprihatinan di sini sangat luas. Keprihatinan ada yang sudah “dibawa” sejak kelahiran anak, ataupun karena dari perbuatannya. Maka hendaknya kita membiarkan mereka bila melakukan/ikut ruwatan, tidak perlu disalahkan atau dilarang. Bukankah ungkapan keprihatinan orang itu juga bermacam-macam bentuknya. Maka hendaknya dilihat saja secara positif sebagai sebuah “ungkapan sikap” yang muncul dari keprihatinan orang tua. Khusus dalam Misa dengan ruwatan, Rama atau Imam juga memakai mantram seperti para dalang bila melakukan ruwatan. Mantram yang dibacakan adalah bacaan dalam Injil, yaitu Injil Yohanes bab 17 ”Doa Yesus kepada para murid”.

Banyak komentar atau pertanyaan muncul dari para peserta. Rama Kuntara mengatakan bahwa yang boleh atau berhak meruwat di kalangan Katolik adalah siapa saja yang dituakan oleh orang yang punya hajat. Kalau dengan Misa tentu saja Misa dipersembahkan oleh rama atau imam (yang ngruwat bisa oleh rama atau oleh mereka yang dituakan). Perihal tafsir umat yang berbeda-beda terhadap budaya lokal yang masuk dalam tatacara dan ibadat Katolik harus kita hargai, karena ini adalah sebuah proses. Sesungguhnya, baik agama maupun budaya (misalnya ruwatan) adalah sama-sama budaya, sehingga sangat mungkin untuk dipadukan.

Perlu disadari bahwa sebelum kita semua menjadi Katolik terlebih dahulu kita adalah orang Jawa yang suku Jawa, orang Batak yang dari Batak, Cina yang keturunan Cina dsb, sehingga setelah menjadi Katolik pun kita yang orang Jawa harus tetap Jawa. Yang harus kita perhatikan adalah kita harus mampu membedakan mana yang isi, dan mana yang kulit. Rama Subanar menambahkan bahwa budaya memiliki tiga hal pokok yakni cita-cita, idealnya atau filosofinya, dan ada pelakunya atau organisasi yang mengejawantahkan, ada ekspresinya atau ubarampe yang menjadi sarana pengejawantahan/simbol. Semua ini nampak sekali dalam setiap upacara Metu-Manten-Mati.
Materi kedua disampaikan oleh Rm. Sindhunata, SJ dengan thema “Mistik dan Budaya Jawa”. Makalah yang disajikan berjudul “Matahari Terbit dari Barat”, sebuah hasil wawancara Romo Sindhunata dengan Ki Dalang Manteb Sudarsono.

Romo Sindhunata menyampaikan kisah perjalanan spiritual pribadi Rama Sindhunata sejak dia masih frater. Pada dasarnya laku orang Jawa umumnya adalah “nganut neting rasa” atau mengikuti kata hatinya, perasaanya. Dalam sesi itu, Rama Sindhunata bercerita tentang ia ngangsu kawruh dan laku kemana saja, berguru kepada siapa saja seperti wong ampuh, antara lain, Ki Dalang Joyo Kandar dari Borobudur, juga memperoleh beberapa sipat kandel dan “Aji Jono Woyo” yang berkhasiat sukses menggarong, tetapi tidak pernah ditamatkan oleh Rama Sindhu.
Dari hal-hal yang disampaikan oleh Rama Sindhunata, ada beberapa bagian yang dapat dijadikan pelajaran, yakni:

Pertama, “Apabila agama meninggalkan budaya, itu adalah fatal”, contohnya adalah perumpamaan orang yang menanamkan iman kepada seseorang bagai menanam tiang listrik beton dengan semen. Hasilnya tiang dapat berdiri kokoh tetapi gersang dan panas. Lain halnya dengan orang menanam pohon yang kecil, selalu didhangir, dienik-enik, sehingga tumbuh rimbun, menyegarkan, serta bisa untuk berteduh setiap orang yang membutuhkan.

Kedua,Ada perbedaan hasil dan sikap dalam memandang budaya Jawa, antara orang yang terlibat dengan budaya Jawa secara tiba tiba dengan mereka yang melalui proses panjang dalam hidupnya.

Ketiga, Iman itu sesuatu yang tidak pernah jelas, bagai orang berjalan dalam kegelapan, selalu muk-mukan, inilah yang disebut sebuah misteri. Hendaknya, dalam hidup ini, kita selalu mengikuti “Ngelmu kodhok, teko-teko ndodhok”, yang artinya selalu rendah hati, andhap ashor. Apabila dia adalah “kodok ijo” (lambang orang yang baik), dia pun siap ditangkap untuk disembelih dan disantap, tetapi kalau dia adalah “kodok mbengkerok”, pasti hanya dihindari orang/ditendang karena dinilai tidak berguna.

Keempat, sampai batas ketidakberdayaan manusia, yakinlah pasti Gusti akan mengambil alih persoalan dan mengabulkan permohonan, menyelamatkan dari jurang kesengsaraan! Dalam beriman itu kita harus selalu baru, tumbuh berkembang. Maka jangan mudah merasa puas apabila sudah memiliki gereja, mempunyai panduan ibadat, mempunyai liturgi, dan mempunyai Rama, dsb.

Kelima,pada saat laku untuk neges kersa Dalem lan ngemban dhawuh Dalem jangan mengisolir diri, jangan merasa puas dan merasa diri paling benar.

Keenam, hendaknya selalu berani untuk tetap beriman pada Kristus walau dalam laku hidupnya tidak memperoleh apa-apa atau bahkan tidak memperoleh tanda-tanda apapun di dalam hidupnya.

Kedelapan, bahwa hidup mistiklah yang akan menentukan hidup Gereja ke depan untuk tetap jaya, bukan karena yang lain-lain.

Kesembilan, pengalaman hidup fantastis sangat berguna untuk menggenapi lelakoning urip. Namun, terkadang kita tidak memperoleh materi apa-apa dalam hidup beriman, hidup kita tetap gelap, tidak jelas. Itulah sebuah misteri. Namun, walaupun demikian, semuanya tetap indah. Masihkah beriman, walaupun pada saat tidak ada tanda-tanda yang membuat jelas?

Senin, 05 Oktober 2009

Tebat V

Tanggal 14-15 Oktober 2001 di Padepokan Kopi Eva Bedono, Ambarawa. Acara ini diisi dengan sharing dari paguyuban-paguyuban: Manunggal Sejati dari Semarang, Kebatinan Santo Yohanes dari Magelang , Kawatan dari Solo, Bantala Aji dari Bantul, Kawula Ngayogyakarto, Tri Suci dari Pringwulung Yogyakarta, Paguyuban Tri Luhur dari Keuskupan Purwokerto. Dalam Tebat ini juga hadir Bapak Uskup Agung Keuskupan Agung Semarang, Mgr. I. Suharyo untuk memberikan peneguhan. Kalau dalam Tebat biasanya diikuti antara 100–175 orang peserta, kali ini terjadi lonjakan fantastis, tercatat hadir 319 orang, dari Kevikepan Semarang 184, Kedu 17, Surakarta 44, DIY 48, dari luar KAS 26 orang peserta. Bukan main ya? Sembah nuwun Gusti, sembah nuwun Monsinyur!


Tebat IV

Tanggal 30 September -1 Oktober 2000 di Padepokan Kopi Eva Bedono, Ambarawa. Tema: “Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryamentaram”. Dibabar oleh Rama Kuntara Wiryamartana, SJ, yang mengurai lewat denah pegangan guna pemahaman, yaitu gambar “Kramadangsa” : Siapa aku ini? Ada 4 dimensi, yakni 1. Juru Catat 2. Catatan-Catatan 3.Kramadangsa 4. Manungsa tanpa ciri yang merupakan gambaran jiwa sehat 100 persen.


Entri Populer